“Sadarlah, Tuan! Anda sebenarnya ragu untuk meneruskan hubungan ini. Diam-diam, Anda memupuk harapan untuk bisa dekat dengan Nona Johnson,” desah Mia dengan suara yang teramat mengiris. Julian terpaksa menahan napas untuk meredakan kepedihan hati.
“Karena itu, berhentilah mengarang kebohongan yang tidak masuk akal. Turuti keinginan Tuan Herbert untuk mendapatkan menantu terbaik. Lanjutkanlah perjodohan Anda dengan Nona Johnson!”
Alih-alih menjawab, Julian malah beranjak dari kursi. Dengan gerak lambat, ia mulai menekuk lutut di hadapan sang gadis. Menyaksikan hal yang tak terduga semacam itu, air mata sontak berhenti mengalir.
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Mia dengan suara pelan dan tertekan.
“Aku mohon ... maafkan aku,” ucap Julian dengan kepala tertunduk. “Maaf karena telah mengambil langkah yang tidak semestinya.”
Sambil menggeleng, sang gadis mendesah. “Jangan memohon kepadaku. Aku bukanlah Tuhan.”
“Tapi hidupku bergantung padamu,
Dengan mata yang tak henti menumpahkan kesedihan, Mia mengulangi pernyataan tulusnya. “Maafkan aku karena telah bersikap egois. Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri. Padahal, Tuan jauh lebih menderita.” Mendengar ratapan sang kekasih, kekesalan Julian mendadak lenyap, tergantikan oleh rasa iba yang tak kalah menyesakkan. Sembari mendesah samar, pria itu akhirnya berpindah ke ruang kosong di samping sang gadis. “Mia,” panggilnya sambil menyentuh pundak yang bergetar hebat. “Maafkan aku, Tuan,” ucap sang gadis seraya menyembunyikan wajah di bawah bayang-bayang kepala. Ia malu menunjukkan kerutan di alis yang gagal diuraikan, ataupun hidung yang merah akibat terdesak penyesalan. Dengan lembut, Julian menangkup pipi sang kekasih. Perlahan-lahan, ia mengarahkan pandangan gadis itu untuk bertemu dengan matanya. “Aku tidak apa-apa. Asalkan kau tidak kabur lagi dariku, aku baik-baik saja,” angguk pria itu meyakinkan. “Tapi, aku sudah keterl
Mendapati sang gadis sedang merenung, Julian pun mendesah samar. Ia sadar bahwa perkataannya telah mengacaukan kegembiraan. “Hei, kau tidak perlu khawatir, Mia. Selama kita bersama, tidak akan ada yang terluka. Sekalipun penjahat itu menyerang, aku pasti bisa mengalahkannya.” “Apakah kau yakin? Penjahat itu sangat kuat dan tubuhnya ... jauh lebih besar,” ucap sang gadis diselimut keraguan. Sambil membelai rambut sang kekasih, Julian menarik sebelah sudut bibir. “Apakah kau tahu? Kekuatan pria bisa berlipat ganda saat melindungi seseorang yang dicintainya. Aku memilikimu, sedangkan penjahat itu tidak memiliki siapa-siapa. Aku tentu menang darinya.” “Benarkah?” desah Mia seolah tak percaya. “Ya, kau bisa menemukan artikel tentang pembuktiannya di internet,” celetuk Julian ringan. Tak ingin sang kekasih larut dalam keresahan, pria itu sontak menarik napas panjang dan mengembuskannya cepat. “Bukankah udara di sini sangat segar?” tanyanya,
Begitu memasuki kamar hotel, Julian bergegas memeriksa setiap sudut ruang. Dengan teliti, ia memastikan bahwa tidak seorang pun yang bersembunyi di sana, termasuk dalam lemari, bak mandi, dan juga di balik tirai. Balkon yang menghadap gunung juga tidak luput dari pengamatan. Setelah pemeriksaan selesai, barulah ia mengunci pintu dan mengganjalnya dengan kursi. “Apakah kita harus melanjutkan perjalanan yang menegangkan ini? Rasanya sama sekali tidak seperti liburan,” gumam sang gadis sembari menyeret koper ke sisi lemari. Kerutan kecil telah bersarang di pangkal alisnya sejak panggilan video Gabriella berakhir. “Sekarang tidak ada tempat yang aman, Mia. Sekalipun kembali ke Quebracha, kita juga tidak akan fokus bekerja. Rasa was-was pasti akan menghambat kinerja kita,” timpal Julian sembari mengelus lengan sekretarisnya. Setelah menarik napas panjang, mencoba memadamkan keresahan yang memberatkan jantung, sang sekretaris mengangguk. “Benar,” desahnya kecewa. K
“Apakah kau kedinginan?” bisik Julian sembari merapatkan selimut yang membungkus tubuh mereka. Sedetik kemudian, gadis dalam dekapannya menggeleng dan mengeratkan pelukan. “Tidak. Aku tidak pernah kedinginan saat berada di dekatmu.” “Tapi kita menghabiskan waktu terlalu lama di bathtub,” gumam sang pria, menyelipkan rasa bersalah. “Tidak masalah. Itu menyenangkan,” timpal Mia, sebelum mengulum senyum. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya bisa berbicara sesantai itu dengan sang CEO. “Begitukah?” desah sang pria seraya mengusap lengan kekasihnya agar tidak lagi dingin. “Baguslah.” Sembari menarik napas dalam-dalam, Mia mengulas kenangan yang sejak tadi berseliweran dalam benaknya. “Apakah kau masih ingat dengan semua ulahku dan Tuan Max?” tanya gadis itu setelah gagal menghitung kejahilannya. “Tentu saja. Aku heran kenapa kau mau menuruti perintah Max,” desah Julian setengah menggerutu. “Karena itu seru,” sahut
Begitu membuka mata, Mia langsung disapa oleh sisi ranjang yang hampa. Selang beberapa kedipan, gadis itu pun menegakkan kepala dan mulai mencari-cari. Setelah memeriksa ke beberapa arah, ia akhirnya menemukan sang kekasih sedang termenung di kursi yang menghadapnya. “Pagi sekali kau sudah bangun?” tanya Mia dengan suara serak. Meski pelupuk matanya masih berat, ia tetap beranjak meninggalkan bantal. Mendapat perhatian yang tak terduga, Julian pun tersentak. Begitu melihat sang gadis tersenyum padanya, pria itu ikut menaikkan sudut bibir. “Ya, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi.” “Sejak kapan?” selidik Mia sembari menoleh ke jam dinding. “Sejam yang lalu,” sahut pria yang melihat ke arah yang sama. Sambil mengerutkan alis, sang gadis turun dari tempat tidur. Selang beberapa langkah, ia tiba di hadapan Julian dan mengusap kantong mata pria itu dengan lembut. “Apakah kau benar-benar tidak bisa tidur atau sengaja ingin berjaga-jaga?
“Pantas saja Mia sangat peduli kepada Sebastian. Ternyata, mereka memang pernah dekat,” batin Julian di balik raut datarnya. Sembari menghela napas, pria itu melayangkan pandang ke arah bukit-bukit hijau yang memagari rerumputan. Lagi-lagi, pemandangan yang seharusnya mengundang decak kagum, gagal menyita perhatiannya. Jendela kaca yang dipasang di sepanjang gerbong seolah kurang besar untuk memuaskan mata sang CEO. “Bukankah ini sangat indah?” bisik Mia sembari menyandarkan kepala pada pundak sang pria. Dalam sekejap, Julian memaksakan senyum dan mengusap tangan yang kini tak bosan bertengger pada lekuk sikunya. “Ya. Ini sangat menyegarkan,” timpal pria itu menggunakan logika. “Jika Cayden datang ke sini, dia pasti ingin berlari di padang rumput itu mengejar domba-domba. Atau mungkin, dia akan berguling-guling dan membuat ibunya kewalahan,” gumam sang gadis sebelum tersenyum manis. Menyaksikan kebahagiaan sang kekasih, rasa bersalah p
“Wah,” desah gadis yang tak bisa memalingkan mata dari gunung berbentuk piramida dengan selimut salju di puncaknya. “Bukankah itu sangat indah?” gumamnya sambil menempelkan telapak tangan pada dinding kaca di hadapannya. “Bagaimana, Mia? Apakah gunung itu sama persis dengan yang ada di bungkus cokelat favoritmu?” bisik Julian sembari membungkus punggung sang kekasih dengan tubuhnya. “Ya,” angguk gadis itu dengan mata berkaca-kaca. “Orang yang menggagasnya pasti sangat cerdas.” Sambil tertawa kecil, Julian mengecup kepala sang kekasih. “Apakah kau sudah tidak sabar ingin naik ke atas sana?” “Ya. Sepertinya, malam ini aku tidak akan bisa tidur karena saking antusiasnya,” timpal gadis yang masih belum melepas puncak lancip Matterhorn dari pandangan. “Bagaimana kalau kita tunda saja keberangkatan kita ke Gornergrat? Besok pagi, kita langsung ke atas sana,” usul Julian, sontak membuat Mia berbalik menghadapnya. “Apakah kau serius?” d
Dengan tangan yang gemetar, Julian memperlihatkan isi kotak kepada sang gadis. Setelah menghela napas, mengurangi kegugupan yang menggelitik hati, ia berkata, “Mia Sanders, mengenalmu adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Kuharap, kau tidak keberatan untuk terus menjadi alasanku tersenyum di pagi hari, bersemangat saat bekerja, dan berdebar saat malam tiba.”Dengan mata berkaca-kaca dan mulut yang kebingungan memilih kata, Mia menggeleng-geleng tak percaya. Tidak tahu harus melakukan apa, gadis itu akhirnya menghela napas pendek dan memiringkan kepala, menatap Julian dengan penuh keharuan.“Aku tahu lamaran ini memang sedikit terlambat. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa Julian Evans sungguh ingin menjadi laki-laki yang terbaik untukmu. Aku rela menjadi apa saja untuk membuatmu bahagia. Pria yang romantis, penuh perhatian, pemberani, dan dapat diandalkan. Aku akan selalu berusaha, Mia.”Melihat kesungguhan Julian, sang gadis pun