Share

Bab 13 Dia Cukup Energik

Kata-kata yang awalnya ingin Arson lontarkan dengan sinis berhenti tiba-tiba setelah melihat mata Adela yang memerah.

Dia bukan orang yang agresif dalam hal wanita.

Mungkin hari ini dia kesal karena apa yang terjadi pada Anson.

Arson bermain-main dengan kunci mobil sebentar dan saat berbicara lagi, suasana hatinya sudah tenang dan dia berkata "Lupakan" dengan lembut, lalu menyalakan mobil sebelum berkata, "Aku akan mengantarmu pulang."

Adela tidak tahu mengapa suasana hati Arson berubah begitu cepat.

Akan tetapi, Adela lega karena pria ini tidak lagi mempermasalahkan hal itu.

Adela dan Arson telah bersama selama tiga tahun, tetapi nyatanya dia jarang naik mobilnya. Satu-satunya tempat pertemuan mereka adalah kasur di vila di Jalan Palmer miliknya.

Mungkin pria dan wanita yang pernah berhubungan intim agak berbeda.

Adela tidak tahu dia adalah wanita keberapa, tetapi Arson adalah satu-satunya pria yang pernah dia miliki.

Pemahaman fisiologis manusia dan pengalaman hal semacam itu berasal darinya.

Sekarang Adela merasa sangat tidak nyaman berduaan di mobil yang agak sempit ini dan terus memiringkan kepalanya untuk melihat ke luar jendela.

Saat ini telepon berdering.

Itu nomor Anson.

Adela melirik Arson yang mengemudi di sampingnya dan menekan tombol jawab, "Bu Adela, kamu benar sekali. Kekejaman kakakku terkadang keterlaluan ...."

Anson merasa semakin tercekik saat memikirkannya dan menelepon Adela untuk berkeluh kesah.

Pada akhirnya, dia masih memohon, "Bu Adela, bagaimana kalau kamu bicara dengan kakakku? Aku berjanji akan belajar dengan serius dan berhenti mencari masalah, tapi bisakah dia membiarkanku keluar bermain selama liburan?"

Adela ingin mengakhiri panggilan, tetapi sudah terlambat. Kata-kata Anson terdengar di telinga Arson kata demi kata.

Termasuk Anson mengatakan kalau dirinya "kejam".

"Siapa itu Pak Arson? Apakah dia akan mendengarkanku?" Adela menahan diri dan membantahnya.

Pertama, Adela ingin memberi tahu Anson kalau dia tidak begitu penting bagi Arson. Kalau menganggapnya penting, Anson salah.

Kedua, Adela juga ingin memberi tahu Arson di samping kalau dia sadar diri dan tidak akan memiliki khayalan tidak realistis lainnya.

"Ada lagi, Anson. Sepertinya kamu lupa tunangan Pak Arson itu orang lain."

Bahkan menjadi perantara sekalipun, dia juga tidak boleh mencarinya.

Adela mengakhiri panggilan sebelum Anson bisa menjawab.

Adela sendiri tidak menyadarinya, tetapi dia masih agak emosional ketika menyebut tunangan Pak Arson.

Dia tidak ingin dirinya terungkap.

Sebenarnya dia peduli dan cemburu.

"Aku kejam?" Arson mendengus.

Benar saja, Arson hanya mengingat kata tersebut.

Adela mengerucutkan bibirnya tanpa tidak menanggapi yang artinya adalah menyetujui dalam diam.

Setelah terdiam cukup lama, Adela perlahan berbicara kepada Arson dan berkata dengan bijaksana, "Pak Arson, Anson masih kecil dan masih belum begitu mengerti, tapi kuharap kamu bisa membantuku menyampaikannya kepadanya. Kelak usahakan untuk jangan menghubungiku. Aku cuma orang nggak penting dan sama sekali nggak bisa membantunya."

Dia tidak suka diganggu oleh Anson atau tidak suka terlibat dengan orang yang berada di belakang Anson?

Mereka semua tahu alasan sebenarnya.

"Maaf, aku nggak bisa menyetujuinya." Arson menatap lurus ke depan dan melanjutkan mengemudi.

"Apa?" Adela terkejut dan memalingkan wajahnya.

"Aku nggak akan memberitahunya. Katakan saja sendiri apa yang kamu pikirkan padanya." Suasana yang awalnya tidak harmonis langsung jatuh ke titik beku setelah kata-kata Arson.

Adela, "..."

Kalau pria ini tidak mau, itu artinya dia tidak akan memberi muka dan membiarkan semua masalah berakhir di sini.

Adela menundukkan kepalanya dan rambutnya yang tergerai diselipkan ke belakang telinganya.

Sambil menunggu bus, Arson meliriknya.

Ujung telinga dan pipi yang memerah terlihat di antara rambut hitam.

Arson ingat kalau Adela ini pemalu.

Terutama di atas kasur.

Apa boleh buat, dia harus mematikan lampu setiap kali melakukannya.

Tanpa mematikan lampu, matanya memerah dan terlihat seperti ingin menangis.

Kalau Adela bersikeras, Arson tidak punya pilihan selain mematikan lampu.

Di saat seperti itu, pria harus selalu mengikuti arahan wanita.

Mungkin yang paling tidak terkendali adalah malam terakhir mereka.

Adela seperti siluman pengisap darah.

Dia cukup energik.

Adela merasakan tatapan Arson yang semakin membara.

Adela menegakkan kepala dengan linglung. Bulu matanya tanpa sadar bergetar dan agak gugup, tetapi pada akhirnya dia perlahan memalingkan wajahnya ....

Begitu menoleh, Adela melihat wajah Arson sudah dekat dengannya.

Aura tidak asing di tubuhnya membuatnya tanpa sadar bergerak mundur.

Akan tetapi, pria itu meraih bagian belakang kepalanya.

Jari-jarinya, tatapan yang tajam dan aromanya tanpa sadar membuat kakinya lemas.

"Kamu! Lepaskan ...." Adela hampir menangis.

"Jangan bergerak."

Suaranya rendah dan menggoda, nafsu yang membara pun mulai berkobar.

Dengan perasaan seolah maut akan datang perlahan, Adela begitu ketakutan hingga memejamkan matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status