“Kamu yakin, nggak papa jalan dengan—” “Kita pulang ajalah, Mas.” Kiya berdecak karena Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut. Dari sebelum perjalanan, sampai di parkiran mall, dan kini, Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut saat mereka bertiga baru saja melewati pintu gedung pusat perbelanjaan megah tersebut. “Aku cuma khawatir—” “Saya nggak masalah,” Kiya kembali menyela ucapan Gilang. Pria itu masih saja tidak percaya dengan dirinya sendiri, dan tidak yakin dengan Kiya. “Maaf kalau saya potong lagi omongan Mas Gilang. Tapi, dengernya capek, loh, Mas.” Gilang tersenyum tipis dan menghela. Ia mencoba tidak mengacuhkan Kiya yang sudah menekuk wajah, lalu beralih pada bocah yang sudah jalan lebih dulu dan tampak berhenti di depan sebuah outlet yang menjual es krim. “Duta sepertinya mau beli es krim.” Tanpa menunggu Kiya, Gilang menapakkan tongkatnya dan berjalan pelan menghampiri bocah itu. Saat sudah berdiri di samping Duta, Gilang merangkulnya. “Mau es krim?” “Mau!” Dut
“Mas.” Kiya menghabiskan jarak dengan Gilang, sembari mengawasi Duta. “Kamu sudah gila? Barusan itu … maksudnya, Mas Gilang … “ Napas Kiya terbuang pelan. Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya barusan, karena yang akan dikatakannya pastilah tidaklah mungkin. Gilang pasti hanya bercanda, untuk mempermainkan Kiya.Karena itulah, Kiya kembali mundur dan menjaga jarak. Ia tersenyum, lalu terkekeh menanggapi kalimat yang sudah dilontarkan oleh Gilang. “Dahlah, Mas. Ayo cari tempat makan.”“Ki.” Gilang segera meraih siku Kiya, yang baru selangkah menjauh darinya. “Aku serius dengan omonganku barusan. Dan aku yakin kamu juga ngerti dengan maksudku.”Kiya menggeleng. “Jangan becanda. Tapi, jujur aku lebih suka Mas Gilang yang mulai bisa becanda seperti sekarang. Aku jadi ingat Mas Gilang yang dulu, yang—”“Aku lagi nggak becanda.” Gilang melepaskan tangan Kiya, lalu terdiam menunggu respons gadis itu. Kiya seharusnya tahu, Gilang saat ini tidak sedang dalam mode bercanda.“Mas, aku nggak bis
“Calon … suami?” Garry menatap Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pandangannya lalu terpusat pada tongkat, yang ada di genggaman tangan kanan pria itu. Garry pun tersenyum tipis, tidak bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada pria yang ada di hadapannya. Namun, bila dilihat dari setelah dan penampilan pria itu, Garry bisa melihat semua itu adalah barang bermerek. Atau … mungkin saja barang tersebut adalah barang tiruan, karena Garry tidak melihat kendaraan roda empat terparkir di sekitar mereka. Kedua orang tersebut, pastilah baru saja keluar dari taksi dan akan berlanjut ke rumah Kiya. “Kiya?” Garry kembali menatap Kiya dan memperhatikan ekspresinya. “Kenapa?” tanya Gilang berusaha sedikit sopan, karena ia tidak mau terlibat masalah di luar rumah. Gilang benar-benar harus menjaga imagenya di depan Adi, dan seluruh anggota keluarga bila hendak memimpin Jurnal nantinya. “Ada masalah?” Kiya menghela panjang dan masih berdiri di samping Gilang. Merasa pusing sendiri, karena
“Menikah?”Setelah satu kata itu terucap, Raissa lantas bengong menatap putrinya. Sependek ingatan Raissa, Kiya tidak pernah mengatakan sedang menjalin hubungan dengan pria mana pun. Apalagi dengan Gilang, adik dari wanita yang sudah menjadi bos Kiya selama ini.Raissa bergeser sedikit, lalu melihat Gilang. Ternyata, adik laki-laki Elok ternyata sangat tampan. Namun, entah mengapa di mata Raissa, pria itu tampak seperti playboy kawakan. Raissa segera menggeleng samar, menyingkirkan pemikiran yang sempat singgah di kepala. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya saja.“Bu-bunda, begini.” Kiya terpaksa menggantung kalimatnya, karena melihat Duta masuk ke ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah. Putranya sudah tampak segar, dengan rambut basah dan memakai pakaian bola. “Duta, ada ayah di depan gang. Datangi sebentar.”“Ayah sudah pulang?” Wajah ceria Duta semakin semringah ketika mendengar Garry datang dan menunggunya di depan gang. Ayahnya itu, pa
“Duta …” Kiya mengetuk pintu kamar yang baru saja ditutup kasar oleh putranya. Saat menekan handle pintunya, ternyata Duta sudah menguncinya dari dalam. “Duta, buka kuncinya, dan jangan buat Bunda marah.” “Ki—” “Duta …” Gilang terdiam, saat Raissa muncul dari dapur dan ikut memanggil nama cucunya. Hati Kiya saja belum bisa Gilang dapatkan, kini ia juga harus berurusan dengan Duta. Gilang menduga, semua hal ini terjadi gara-gara Garry. Entah apa yang dikatakan Garry, sampai bisa mempengaruhi Duta seperti itu. “Duta, buka pintunya,” lanjut Raissa menggeser posisi Kiya, lalu mengetuk pintu. Ia sempat mendengar ucapan Duta yang cukup keras saat tengah menggoreng telur dadar. Karena itu, Raissa menunggu telurnya matang terlebih dahulu, mengangkatnya, barulah keluar untuk menemui sang cucu. “Nenek mau masuk.” Tidak sampai menunggu lama, suara kunci terdengar dari dalam dan pintu pun terbuka. Raissa dengan segera menahan tubuh Kiya, sembari menggeleng. “Biar Bunda yang bicara sama Duta.
“Ayah bilang apa sama kamu?”Kendati Kiya sudah mengetahui ceritanya dari Raissa, tetapi ia tidak lega bila tidak mendengar langsung dari Duta. Sampai detik ini, Kiya belum menghubungi Garry sama sekali, karena ia hendak mendengar pemahaman Duta terlebih dahulu. Kiya juga belum mengirimkan nomor Garry kepada Gilang, karena menurutnya hal tersebut tidaklah penting.Duta duduk bersedekap di kursi belajarnya, dengan tertunduk. “Bunda mau nikah sama om Gilang.”“Terus, kenapa sampai marah-marah kayak tadi?”“Aku nggak mau Bunda nikah sama om Gilang,” jelas Duta sudah tidak seemosi seperti ketika di depan Gilang. “Aku mau, Bunda nikah lagi sama ayah.”Kalau bukan karena ucapan Gilang, hal seperti ini tidak akan terjadi. Padahal, Kiya sudah menolak lamaran pria itu, dan menjelaskan dirinya tidak mau menikah dengan Gilang.“Bunda nggak pernah ngelarang kamu bicara apa aja sama Bunda, tapi, Bunda nggak suka kalau kamu sampai teriak-teriak kayak tadi.” Kiya beranjak dari tempat tidur, lalu dud
“Mas.” Elok terkekeh geli melihat wajah bingung Lex, yang masih saja terlihat datar. “Sudah, ayo! Kita-jalan-jalan dulu, sambil nunggu Kasih datang.”Lex menghela. “Aku bisa tuntut dokter tadi, kalau terjadi sesuatu sama kamu.”Jika tidak mengingat mereka sedang berada di rumah sakit, maka Elok akan semakin melepas tawanya. “Mas, ini cuma kontraksi. Ibu hamil yang mau melahirkan, pasti kontraksi. Jadi, apa yang mau dituntut? Dokternya nggak salah. Aku baru bukaan satu, jadi wajar kalau disuruh jalan-jalan dulu. Santai, Mas, tenang. Aku sudah pernah melahirkan dan—”“Dan ini pengalaman pertamaku.” Lex memutus, sambil menyentuh perut Elok dan mengusapnya. “Kalau kamu sakit, apa dia di dalam nggak ikut sakit? Apa anakku bisa baik-baik aja di dalam sana? Bagaimana kalau dia ikut sakit juga? Atau, bagaimana kalau kita minta operasi, El? Biar kalian berdua nggak kesakitan? Kalau kita jalan-jalan atas saran dokter tadi, kamu pasti kecapekan. Kalau kecapekan, bagaimana mau melahirkan normal?
“Tolong kasih aku waktu, Mas,” pinta Kiya tidak mampu menjawab pertanyaan Gilang saat itu juga. Bukan karena Duta yang tidak ingin Gilang menjadi ayah barunya, tetapi, lebih kepada perasaan Kiya yang belum mencintai Gilang.“Aku lagi ngasih kamu waktu sekarang.” Gilang baru sadar, Kiya hanya memiliki dua buah kamar. Jika kamar yang bersebelahan dengan dapur adalah milik Duta, lantas siapa yang menempati kamar di sebelahnya?Mungkin, ada satu kamar lagi yang berada di dapur, dan Gilang tidak melihatnya? Atau, kamar di rumah Kiya memang berjumlah dua saja, dan gadis itu selama ini tidur bersama Duta?“Aku kasih waktu, sampai Duta mau nerima aku,” lanjut Gilang kembali mengalihkan tatapannya pada Kiya. “Habis itu, aku nggak terima penolakan lagi.”“Itu namanya maksa, Mas.” Kiya menggeleng kecil, dan sudah tidak tahu lagi bagaimana bicara dengan Gilang. Pria itu, ternyata cukup gigih dan keras kepala. Kiya juga sudah bisa menebak, kedatangan Gilang bersama Kasih dikarenakan penolakan Duta