~Orang jatuh cinta memang begitu, suka sekali melakukan hal-hal yang absurd~
Hari itu, Jidan tidak diizinkan oleh Jidan menemui keponakan Nyonya besar. Cika dan Risa yang bertugas di depan untuk melayani pengunjung yang datang ke kebun. Sementara Sagita justru diberi pekerjaan mengecat batu."Kalau ternyata keponakannya Nyonya Besar itu tampan. Apa boleh untuk Cika, aja Kak?" Cika bertanya pada Jidan."Ambil. Angkut sekalian sama akar-akarnya.""Terima kasih Kak Jidan." Cika bertepuk tangan dengan gembira. Sementara itu, Risa hanya menggeleng menyaksikan betapa absurdnya tingkah Cika."Terus kalau keponakan Nyonya Besar itu jelek gimana? Angkut juga dong Cik. Angkut sampai ke akar-akarnya.""Ya kalau jelek aku kasih ke kamu aja Ris. Siapa tahu bisa kamu cat warna-warni kaya batu-batu kecil kita. Bisa buat pajangan di rumah kamu di kampung sana."Risa hanya mengepalkan tangannya ke arah Cika. Cika m~Buang jauh-jauh ekspektasi yang ada, terkadang ekspektasi hanya menimbulkan rasa kecewa~"Dimana Kak Jidan, Kak?" Sagita bertanya pada Yoga. Yoga hanya menaikkan kedua bahunya secara bersamaan. Dia memang tidak tahu kemana Jidan. Yoga bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk ke masjid yang paling dekat dengan kebun itu."Cik, Ris. Kalian lihat Kak Jidan?"Cika dan Risa menggeleng. Mereka bersiap untuk pulang, tidak tahu dimana Jidan berada. Sagita menghela napas. Tidak biasanya saat Maghrib begini Jidan tidak terlihat. Namun, Sagita berusaha untuk berpikir positif siapa tahu jika Jidan sudah pergi ke masjid untuk sholat Maghrib lebih awal."Kakak lagi berantem ya sama Kak Jidan?" Cika bertanya dengan nada serius."Enggak kok. Cuman ngerasa tumben aja dari tadi enggak kelihatan. Yaudah yok! Kita pulang."Mereka bertiga memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah Sagita segera berbenah dan setelah i
~Wanita merdeka, mereka yang tahu kemana harus melangkah ~"Eh Kak Juminem ngapain ke sini?" Cika berteriak dan matanya ke arah Sagita. Risa cepat-cepat memutar otaknya, dia mengerti maksud Cika apa. Tamtam memperhatikan Sagita dari atas sampai ke bawah. Sagita tampak bingung. Cika sengaja melakukan hal itu agar Tamtam tidak tahu jika yang baru datang menghampiri mereka adalah wanita yang dia cari."Juminem! Kamu itu gimana sih? Kan belum siap ngecat batunya. Harus sampai siap loh!"Cika berkata seperti itu sambil menarik tangan Sagita. Sagita bingung namun dia tetap menurut dengan kehendak Cika."Ada apa Cik? Siapa Juminem? Kalian kenapa?" Sagita bertanya banyak hal. Cika membawa Sagita ke tempat dimana Jidan berada."Itu keponakan Bos Don!" Cika menunjuk ke arah Tamtam."Apa?" Jidan dan Sagita kompak kaget."Makanya aku langsung narik kakak tadi. Dan manggil Kakak Juminem. Soalnya kami tadi
~Terkadang, tidak semua permintaan tolong harus dikabulkan~Seharian Jidan hanya mondar-mandir di kebun. Wajahnya terlihat tidak tenang. Tadi pagi, ia barusan bertengkar dengan Yoga. Jidan menganggap jika Yoga yang membuat Sagita yakin untuk pergi."Cik! Ris! Nanti kakak yang antar kalian untuk pulang."Cika dan Risa saling tatap mendengar perkataan Jidan. Dalam hati mereka sama-sama bergumam, tumben sekali. Biasanya Jidan tidak pernah mengantarkan mereka."Pasti karena mau ketemu sama Kak Sagita." Cika berbisik pada Risa. Risa hanya mengangguk. Ia setuju dengan Cika.Begitu sampai di rumah Sagita, Jidan langsung meminta Cika dan Risa memanggil Sagita. Sagita keluar dan menemui Jidan."Kak." Sagita memanggil Jidan yang sudah duduk di beranda rumah."Kakak mau minum apa?""Enggak Sagita. Saya ke sini bukan mau minta minum. Kakak mau tanya, kenapa kamu mau ke Australia? Kenapa kamu enggak
~Orangtua tidak akan sampai hati melihat anaknya menderita. Mereka akan berusaha agar anaknya selalu bahagia. Apapun akan dilakukan atas dasar cinta dan ketulusan untuk seorang anak~Sagita mengintip dari balik jendela. Dia melihat kedua orangtua Danar masih setia menunggu di depan rumah. Padahal jelas, hari sudah larut malam. Sagita melihat ke arah jam yang ada di tembok. Pada jam dinding itu jelas jarum jam ada di angka 11. Sagita semakin resah. Ia memang kesal dengan keduanya, namun hatinya juga tidak tega."Kak! Ayo tidur! Biarkan saja mereka di luar. Nanti kalau capek palingan pulang sendiri." Cika berkata pada Sagita."Apa kamu tega Cik?""Lah, yang nyuruh mereka tetep nunggu di luar siapa? Enggak ada yang nyuruh, kan? Mereka melakukan itu atas dasar kemauan mereka sendiri Kak Git.""Tapi tetap saja kasihan."Cika hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menguap dan memilih untuk tidur. Kini tinggal Sagit
~Dalam sebuah pertikaian, anak cucu Adam sering sekali menganggap dirinya adalah korban~Mata Sagita hanya menangkap dinding bewarna putih. Pelan sekali ia melewati lorong tersebut. Selangkah demi selangkah, ia mulai meniti anak tangga satu persatu. Hingga tiba Sagita di lorong anyelir dan sampai di ruangan nomor A72. Sagita menarik napas pelan. Ia mengetuk pintu ruangan itu.Tok! Tok! Tok!Seseorang dengan sigap membuka pintu ruangan tersebut. Senyuman mengembang menyambut kehadiran Sagita. Walau senyum itu terlihat tetap tidak bergairah karena sang pemilik senyum harus bergadang tadi malam."Akhirnya kamu datang juga Sagita. Terima kasih banyak Nak. Tadi pagi, Ibu sudah membisikkan ke telinga Danar kalau kamu akan datang. Mendengar hal itu mata Danar langsung terbuka. Air matanya langsung mengalir, dia pasti merasa sangat senang."Sagita mengangguk atas perkataan ibunya Danar. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan
~Terus terang adalah sesuatu yang terkandang tidak diperlukan~Sagita keluar dari dalam ruangan dimana Danar dirawat. Tidak ada tanda-tanda Danar akan sadar dalam waktu dekat. Sagita tidak mungkin berlama-lama ada di dalam. Pertama, itu hanya semakin menyakiti hatinya dan kedua, ia tidak ingin Cika dan Risa khawatir mencarinya.Sagita melangkah melewati lorong rumah sakit. Sayangnya, baru saja akan menuju halaman parkir, ia dipanggil oleh Bapaknya Danar."Sagita.""Eh Pak! Kenapa Pak?" tanya Sagita heran."Danar sudah bangun. Dia sudah sadar. Ayo masuk lagi. Bicara dengan Danar."Jantung Sagita berdebar saat Bapaknya Danar berbicara seperti itu. Ia tidak tahu apa yang ada di hatinya. Sagita tidak tahu kenapa ia malah berdebar. Sagita memilih untuk kembali. Ia melihat Danar sudah membuka matanya."Sagita." Danar berkata dengan suara lemah. Sagita mendekat ke Danar. Ia bisa melihat dengan jelas
~Orang yang sudah cinta buta, bahkan tidak bisa membedakan mana monster dan mana ultraman. Di mata mereka semuanya adalah sama.~"Ah! Bohong itu! Kamu percaya sama orangtuanya Danar? Jelas-jelas selama ini mereka udah buat kamu menderita. Bisa-bisanya kamu percaya kalau Danar itu sekarat dibuat Delia. Kamu apa enggak kasiha lihat Delia?"Yoga mendengus kesal mendengar perkataan Sagita. Siang itu saat jam makan siang kantor, Sagita tahu rutinitas Yoga. Yoga pasti akan keluar kantornya untuk makan siang. Dan waktu itulah yang dimanfaatkan oleh Yoga."Kak! Bukanya Sagita iri. Sagita cuman mau yang terbaik untuk Kak Yoga. Kalau memang benar apa yang dikatakan oleh orangtua Danar, bagaimana nasib kakak selanjutnya? Kalau benar Kakak dan Delia bersama, bagaimana kalau pada akhirnya Kakak menderita?""Danar itu memang brengsek! Wajar kalau dia menderita dibuat oleh Delia. Kalau kakak? Kak Yoga kamu ini pria baik-baik. Yang namanya
~Doa ibu adalah doa yang tak ternilai harganya~"Pot ini pesanan Pak Samsul, pot yang itu pesanan Pak Amir. Gimana sih? Kamu kebalik Risa.""Kamu yang kebalik Cika. Ini punya Pak Amir bukan punya Pak Samsul."Cika dan Risa sedari tadi terus berdebat. Banyak sekali yang mereka perdebatkan seharian di kebun. Jidan hanya memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Ia hanya bisa menghela napas."Kamu sedang ada masalah ya sama Sagita?" Mama Jidan datang menghampiri anaknya yang wajahnya super gundah gulana itu."Enggak kok Ma. Enggak ada masalah apa-apa sama Sagita.""Ah! Masa? Enggak ada masalah apa-apa, tapi kok Sagita enggak ke kebun beberapa hari ini? Lihat tuh! Cika sama Risa serba kerepotan kalau enggak ada Sagita. Biasa, emang Sagita yang urus sih. Sekarang enggak ada Sagita, semuanya serba ruwet. Emang Sagita ya kemana? Dia enggak sakit, kan?""Enggak Ma. Sagita enggak sakit. Dia cuman ada urusan