~Orangtua tidak akan sampai hati melihat anaknya menderita. Mereka akan berusaha agar anaknya selalu bahagia. Apapun akan dilakukan atas dasar cinta dan ketulusan untuk seorang anak~
Sagita mengintip dari balik jendela. Dia melihat kedua orangtua Danar masih setia menunggu di depan rumah. Padahal jelas, hari sudah larut malam. Sagita melihat ke arah jam yang ada di tembok. Pada jam dinding itu jelas jarum jam ada di angka 11. Sagita semakin resah. Ia memang kesal dengan keduanya, namun hatinya juga tidak tega."Kak! Ayo tidur! Biarkan saja mereka di luar. Nanti kalau capek palingan pulang sendiri." Cika berkata pada Sagita."Apa kamu tega Cik?""Lah, yang nyuruh mereka tetep nunggu di luar siapa? Enggak ada yang nyuruh, kan? Mereka melakukan itu atas dasar kemauan mereka sendiri Kak Git.""Tapi tetap saja kasihan."Cika hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menguap dan memilih untuk tidur. Kini tinggal Sagit~Dalam sebuah pertikaian, anak cucu Adam sering sekali menganggap dirinya adalah korban~Mata Sagita hanya menangkap dinding bewarna putih. Pelan sekali ia melewati lorong tersebut. Selangkah demi selangkah, ia mulai meniti anak tangga satu persatu. Hingga tiba Sagita di lorong anyelir dan sampai di ruangan nomor A72. Sagita menarik napas pelan. Ia mengetuk pintu ruangan itu.Tok! Tok! Tok!Seseorang dengan sigap membuka pintu ruangan tersebut. Senyuman mengembang menyambut kehadiran Sagita. Walau senyum itu terlihat tetap tidak bergairah karena sang pemilik senyum harus bergadang tadi malam."Akhirnya kamu datang juga Sagita. Terima kasih banyak Nak. Tadi pagi, Ibu sudah membisikkan ke telinga Danar kalau kamu akan datang. Mendengar hal itu mata Danar langsung terbuka. Air matanya langsung mengalir, dia pasti merasa sangat senang."Sagita mengangguk atas perkataan ibunya Danar. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan
~Terus terang adalah sesuatu yang terkandang tidak diperlukan~Sagita keluar dari dalam ruangan dimana Danar dirawat. Tidak ada tanda-tanda Danar akan sadar dalam waktu dekat. Sagita tidak mungkin berlama-lama ada di dalam. Pertama, itu hanya semakin menyakiti hatinya dan kedua, ia tidak ingin Cika dan Risa khawatir mencarinya.Sagita melangkah melewati lorong rumah sakit. Sayangnya, baru saja akan menuju halaman parkir, ia dipanggil oleh Bapaknya Danar."Sagita.""Eh Pak! Kenapa Pak?" tanya Sagita heran."Danar sudah bangun. Dia sudah sadar. Ayo masuk lagi. Bicara dengan Danar."Jantung Sagita berdebar saat Bapaknya Danar berbicara seperti itu. Ia tidak tahu apa yang ada di hatinya. Sagita tidak tahu kenapa ia malah berdebar. Sagita memilih untuk kembali. Ia melihat Danar sudah membuka matanya."Sagita." Danar berkata dengan suara lemah. Sagita mendekat ke Danar. Ia bisa melihat dengan jelas
~Orang yang sudah cinta buta, bahkan tidak bisa membedakan mana monster dan mana ultraman. Di mata mereka semuanya adalah sama.~"Ah! Bohong itu! Kamu percaya sama orangtuanya Danar? Jelas-jelas selama ini mereka udah buat kamu menderita. Bisa-bisanya kamu percaya kalau Danar itu sekarat dibuat Delia. Kamu apa enggak kasiha lihat Delia?"Yoga mendengus kesal mendengar perkataan Sagita. Siang itu saat jam makan siang kantor, Sagita tahu rutinitas Yoga. Yoga pasti akan keluar kantornya untuk makan siang. Dan waktu itulah yang dimanfaatkan oleh Yoga."Kak! Bukanya Sagita iri. Sagita cuman mau yang terbaik untuk Kak Yoga. Kalau memang benar apa yang dikatakan oleh orangtua Danar, bagaimana nasib kakak selanjutnya? Kalau benar Kakak dan Delia bersama, bagaimana kalau pada akhirnya Kakak menderita?""Danar itu memang brengsek! Wajar kalau dia menderita dibuat oleh Delia. Kalau kakak? Kak Yoga kamu ini pria baik-baik. Yang namanya
~Doa ibu adalah doa yang tak ternilai harganya~"Pot ini pesanan Pak Samsul, pot yang itu pesanan Pak Amir. Gimana sih? Kamu kebalik Risa.""Kamu yang kebalik Cika. Ini punya Pak Amir bukan punya Pak Samsul."Cika dan Risa sedari tadi terus berdebat. Banyak sekali yang mereka perdebatkan seharian di kebun. Jidan hanya memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Ia hanya bisa menghela napas."Kamu sedang ada masalah ya sama Sagita?" Mama Jidan datang menghampiri anaknya yang wajahnya super gundah gulana itu."Enggak kok Ma. Enggak ada masalah apa-apa sama Sagita.""Ah! Masa? Enggak ada masalah apa-apa, tapi kok Sagita enggak ke kebun beberapa hari ini? Lihat tuh! Cika sama Risa serba kerepotan kalau enggak ada Sagita. Biasa, emang Sagita yang urus sih. Sekarang enggak ada Sagita, semuanya serba ruwet. Emang Sagita ya kemana? Dia enggak sakit, kan?""Enggak Ma. Sagita enggak sakit. Dia cuman ada urusan
~Laki-laki harus berani bertanggungjawab~"Delia, aku dan dia, sama sekali tidak ada kecocokan di antara kami." Danar memulai ceritanya. Sagita mendengarkan cerita itu dengan baik. Baik matanya maupun mata Danar sama-sama menatap ke arah bunga-bunga yang ada di taman belakang rumah sakit.Rumah sakit itu memang tidak terlalu besar. Bukan salah satu rumah sakit ternama juga di kota itu. Namun untungnya, rumah sakit ini memiliki halaman belakang yang luas. Halaman belakang ini yang dimanfaatkan oleh Sagita dan Danar untuk mengurai segala rupa cerita."Tapi, anak itu. Bayi yang bersama Delia, memang benar anak, Mas?" Sagita bertanya sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan. Danar mengangguk pelan."Hari demi hari, kami hanya bertengkar saja. Mas tidak cocok dengan ego Delia yang terlalu tinggi. Wanita itu berusaha mengatur segalanya. Seolah, ialah kepala rumah tangga."Sagita tidak memberi tanggapan. Dia han
~Perbuatan yang paling sering disesali adalah mengecewakan orang-orang terdekat~"Mas, Mas Jidan." Sagita mengucapkan nama itu dengan bibir yang kelu."Bukan cuman Kak Jidan Kak. Kami juga ada."Cika dan Risa muncul dari balik tubuh Jidan. Sagita menutup mulutnya dengan tangan. Ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kenapa bisa kalian semua ada di sini?""Justru kami yang seharusnya tanya ke kamu Git. Kenapa bisa kamu ada di sini? Di rumah sakit tempat dimana Danar dirawat?""Sagita bisa jelaskan Kak!""Cukup! Enggak ada yang perlu kamu jelaskan Git! Jangan berkilah dan mengatakan kalau kamu tidak menemui Danar. Kami tahu jelas kamu menemui Danar." Jidan berkata dengan nada penuh kecewa."Kak Sagita kenapa sih? Kakak mau disakiti yang kedua kalinya sama Kak Danar?" Risa berkata dengan kesal."Kak Git! Tega ya bohongin Cika. Kakak udah bilang ke Cika kalau K
~Orang yang selalu berbuat jahat, kebaikannya pasti akan diragukan~Air sungai itu mengalir pelan. Sagita duduk di tepiannya melihat air sungai yang warnanya keruh itu, kuning sebagaimana lazimnya sungai saat musim hujan."Ini pesanannya Mbak!"Seorang pelayan kafe menyajikan minuman yang dipesan Sagita. Kafe itu berada tepat di pinggir sungai. Lokasi yang sangat strategis bagi siapa saja yang butuh ketenangan sesaat. Pengunjung kafe juga tidak terlalu ramai.Sagita merapikan kerudungnya yang tertiup angin sore. Sesekali matanya melihat ke arah pengunjung lain. Sagita tidak tahu, haruskah dia pulang ke rumah atau tidak. Ia masih merasa bersalah pada semuanya."Hanya minum? Apa itu cukup untukmu Sagita?"Sagita menoleh ke arah suara itu. Delia. Wanita itu sudah berdiri di sampingnya. Menggendong bayi yang sedang tertidur pulas."Kamu...""Iya. Ini aku. Sedang mengajak putriku jalan-jalan
~Ibu adalah tempat terbaik bagi seorang anak. Tidak ada yang lain yang bisa menggantikannya~Lalu lintas senja itu cukup padat, Sagita memutuskan untuk naik taksi agar bisa kembali ke rumah. Ia takut, Cika dan Risa khawatir akan kondisinya."Macet kenapa ya Pak?" tanya Sagita pada sang sopir taksi."Ada kecelakaan katanya Mbak. Sebuah mobil nabrak pohon. Lah, itu dia tuh? Mobilnya masih dievakuasi. Kayanya korbannya masih di dalem deh. Belum dikeluarin."Sagita melihat ke arah luar. Seketika mata bulatnya terbelalak melihat apa yang ada di depannya. Ia jelas tahu itu mobil siapa. Itu adalah mobil Delia. Delia yang tadi baru beberapa menit yang lalu keluar dari kafe."Pak saya turun di sini."Sagita segera turun dan berlari menuju ke tempat kecelakaan itu. Mobil Delia rengsek bagian depannya. Sagita menutupi mulutnya karena merasa kaget. Ia seketika teringat jika Delia membawa bayinya. Ia ngeri mem