“Teman kantorku akan mengadakan acara makan-makan, kau mau ikut?” tanya Rangga dengan antusias.Setelah Nicha menyetujui perjodohan itu, setiap hari tiada waktu tanpa Rangga. Pria itu sudah seperti anak kucing yang menempel pada induknya, tidak pernah lepas.“Aku tidak bisa,” jawab Nicha setelah menyeruput segelas teh.“Kenapa?” Rangga memperbaiki duduknya menghadap Nicha.“Aku bukan pegawai.” Jawaban itu memang ada benarnya. Rangga kembali berpikir dan mencari ide agar wanita itu mau ikut.“Em… kalau begitu aku merekrutmu sebagai pegawai mulai malam ini jadi besok malam kau bisa ikut.”Tawa Nicha meledak saat itu, bagaimana bisa pria tersebut memikirkan hal konyol seperti itu. Wanita itu tanpa sadar memukul pelan Rangga. “Ide gila macam apa itu! Hahaha.”Rangga tersenyum melihat reaksi Nicha. “Jadi setelah makan-makan, kau akan memecatku! Begitu?” Rupanya Nicha masih bisa bertanya di situasi tawanya yang meledak.“Tidak. Kau akan naik pangkat,” jawab Rangga percaya diri.Nicha berhen
“Bersulang!” Suara dentingan gelas kaca terdengar di ruangan tersebut.Tempat makan yang sengaja disewakan oleh para pekerja kantor itu begitu ramai dan terlihat seru. Meja panjang sengaja di simpan di tengah ruangan agar semua orang dapat menikmati hidangan dan berkumpul di satu tempat.Setelah bersulang semuanya segera minum dan melanjutkan obrolan mereka, ada yang baru berkenalan dan ada juga yang asyik berkaraoke.Gilang pikir mereka akan berkaraoke di depan restoran ternyata restoran itu punya karaoke sendiri. Laki-laki itu hanya duduk dan menonton Henry bernyanyi.Sesekali ia menyeruput cola yang sedari tadi ada di tangannya. “Dokter kenapa sendirian saja di situ, ayo ke sini,” panggil seorang wanita muda.Gilang menolaknya dengan halus, ia lebih memilih untuk sendirian. Lirikannya menangkap sosok gadis yang sedang mengobrol diseberangnya. Jika Gilang bisa menilai, gadis itu tampak tidak nyaman dengan suasana berisik seperti ini.“Aku suka ponimu dan rambut panjangmu, kau mirip
Nicha menghempaskan tangan Rangga begitu saja. “Aku bisa jalan sendiri,” katanya tegas.Rangga tersenyum miring. “Aku sudah duga ada yang tidak beres di antara kalian.” Suara beratnya terdengar meremehkan.Nicha tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Rangga. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Ada cinta di antara kalian.”Wanita itu menatapnya tidak percaya, apa yang sebenarnya lelaki ini pikirkan. “Itu tidak masuk akal,” gumam Nicha.“Buktinya ini.” Rangga menunjuk kemeja kotak-kotak yang dikenakan oleh Nicha. Ya, itu kemeja dari Gilang yang tadi diberikannya untuk menutupi bajunya yang basah akibat disiram oleh Bella.Nicha melihat kemeja tersebut. “Ini karena bajuku basah jadi Gilang memberikan kemejanya untuk –“ Nicha tidak ingin menjelaskannya dengan sempurna, ia tidak ingin jika Rangga makin banyak pertanyaan yang bisa membongkar perilaku Bella terhadapnya.”Pokoknya ini karena tadi aku tidak sengaja menumpahkan minuman.”“Lalu bagaimana dengan di taman itu, sepertinya kalian sunggu
Mata besar itu melirik kemeja kotak-kotak yang dibiarkan tergantung bebas di belakang pintu kamar. Dalam pikirnya, kapan ia akan keluar dan mengembalikan kemeja tersebut. Ya, sejak hari di mana mereka bertemu, Nicha tidak pernah lagi menemui Gilang.Nicha yang tidak ahli untuk memulai semuanya hanya bisa pasrah di rumahnya. Ia merasa bersalah, karena dirinya, Gilang jadi di benci dan di tuduh yang tidak-tidak oleh Rangga.Hanya karena kemeja dan juga taman itu, Rangga menjadi curiga dengan Gilang. “Gilang menyukaiku? Omong kosong macam apa itu.”Nicha mengingat raut wajah Gilang saat Nicha meninggalkannya. Ia ingin menemui pria itu namun ada keraguan darinya.“Apa aku telepon saja ya?”Sepersekian detik Nicha kembali menggeleng. “Tidak, tidak. Aku tidak suka menelepon, sebaiknya bertemu langsung itu akan lebih leluasa.”“Nicha, bicara sendiri lagi?” Nicha bangun dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu kamarnya. “Ibu kebiasaan. Aku tidak punya privasi jika ibu terus menerus mengin
“Hei cepatlah Bangsat!” Sekuat tenaga Nicha mencoba untuk memelankan suaranya.Dari arah belakang, Bella terlihat berlari kecil sambil sesekali menunduk jika melewati tembok yang ada jendelanya. Kedua gadis itu sedang mempertunjukkan bagaimana cara agar bisa bolos sekolah.Mata Nicha terus melihat sekeliling, takutnya ada guru yang lewat dan memergoki mereka berdua. “Ah sial, kenapa aku memakai rok pendek ini,” gumamnya saat setelah sampai di depan sebuah tembok besar.Tembok belakang sekolah yang tingginya melebihi kedua gadis itu. “Jadi bagaimana cara kita melewati ini?” tanya Bella yang ragu.Nicha berpikir sebentar. Ia mencari apabila ada benda yang mungkin bisa mereka pakai untuk bisa melewati tembok besar tersebut, namun sayang tidak ada satu pun di sana.“Kita memanjat saja,” ujar Nicha yang langsung mencoba memanjat tembok tersebut.Bella melongo. Ia kaget dengan apa yang Nicha lakukan, Bella sungguh ragu untuk memanjat tembok yang cukup tinggi itu.“Nicha awas bagaimana jika
“Pak?”Pria dengan jas hitam itu beralih dari berkas yang menumpuk di mejanya. “Oh Rangga. Ada apa?” tanyanya sembari memperbaiki kaca matanya.Rangga tersenyum kikuk. “Bapak sibuk ya? Maaf mengganggu waktu bapak. Boleh aku meminta nomor dokter Gilang?” “Oh tentu Rangga. Sebentar ya,” ujarnya sambil mengetik nama di handphonenya. Matanya memicing, ia mencoba melihat jelas layar handphone tersebut. “Bapak sudah terlalu tua,jadi agak rabun,” ujarnya sambil tertawa kecil.Rangga langsung berinisiatif membantu Pak Faris. “Biar aku bantu pak,” katanya seraya mengambil handphone pak Faris lalu segera melihat nama Gilang di sana.“Tapi kenapa kau memintanya?” tanya pak Faris tiba-tiba.Rangga tersenyum tipis. “Aku cuma ingin berbicara padanya soal Nicha, aku ingin tahu keadaan Nicha pak,” alasannya.Pak Faris tersenyum dengan bangganya. Seperti ia merasa pilihannya adalah hal yang sangat tepat untuk anak gadisnya. Pak Faris tidak akan ragu dan khawatir jika nantinya ia wafat di kemudian har
“Terima kasih sudah mengantarku ayah,” ujar Nicha sembari membuka sabuk pengamannya.Pak Faris hanya mengangguk pelan. “Kalau nanti kau mau di jembut, telepon Rangga saja ya,” katanya.Nicha mengangguk. “Baiklah ayah,” balas Nicha bercermin di kaca spion untuk mengatur poninya yang agak berantakan karena saat di perjalanan terkena angin.“Oh ya. kemarin Rangga meminta nomor telepon dokter Gilang.” Pak Faris baru ingat kejadian kemarin.Nicha menghentikan aktifitasnya. “Benarkah?” Ia melihat ayahnya kaget. Selintas banyak pikiran negatif muncul di otaknya.“Kenapa dia meminta nomor Gilang?” tanyanya lagi.“Rangga bilang banyak yang ingin ia bicarakan dengan dokter tentang perkembanganmu,” jelas ayahnya.Nicha mengangkat alisnya masih kaget. “Kenapa kau kaget begitu?” tanya pak Faris.Raut wajah wanita itu langsung berubah. Ia tersenyum ringan. “Tidak ada apa-apa ayah, kalau begitu aku pergi dulu ya,” pamitnya agak tergesa-gesa.Nicha keluar dari mobil dan langsung menyeberang untuk mas
“Aku mau bertanya. Ayahku bilang kalau Rangga kemarin meminta nomor teleponmu, apa dia mengatakan sesuatu?”Rangga seseorang yang sangat sulit untuk ditebak, sebagaimana pun Gilang mencoba membacanya. Mengenai apa yang Rangga katakan padanya malam itu, semuanya masih tidak bisa dinilai semata. Tapi yang Gilang ketahui adalah, laki-laki tersebut menyimpan sesuatu dan mungkin mempunyai misi tertentu untuk tujuan yang disembunyikannya.“Ya, kami bahkan bertemu kemarin.”“Kalian bertemu? Ayahku bilang, Rangga ingin menanyakan soal perkembanganku, benarkah hanya itu?”Gilang berpikir lagi, ia ingin jujur tentang apa yang Rangga katakan padanya tapi ia tidak ingin Nicha sakit hati jika mendengarnya.“Ya, dia bertanya tentang bagaimana kau selama pengobatan, cuma itu,” dusta Gilang.“Benarkah cuma itu, dia tidak menyinggung kejadian waktu itu?” tanya Nicha yang tidak puas dengan jawaban Gilang.“Dia mungkin sudah melupakannya Nicha.” Sekali lagi Gilang berbohong karena tidak siap untuk membe