"Mas, kok diam?" tanya Delia sambil mendongak dan menggoyangkan tubuh Barra. Biasanya mendengar nama itu disebut, kepala Barra mendadak seperti cerobong pabrik tebu yang mengeluarkan asap. Karena hatinya tiba-tiba terbakar. Tapi kali ini dia diam mematung."Mas, marah?" ulang Delia masih memandang suaminya. Antara khawatir dan bingung.Barra membenahi dan menepuk-nepuk bantal. "Sudah malam. Ayo, kita tidur!" Tidak peduli dengan sang istri yang masih memandangi, Barra malah membimbingnya untuk merebahkan diri. Kemudian menarik selimut untuk mereka berdua.Bukan Delia kalau menyerah begitu saja tanpa mendapatkan jawaban. Wajahnya di dekatkan pada wajah sang suaminya yang saat itu telah memejam. "Mas, nggak suka?" tanya Delia sekali lagi.Sang suami membuka mata. "Nggak, siapa bilang Mas nggak suka. Ayo, tidur!" tangan Barra mengusap-usap lengan istrinya."Mas, pasti nggak suka.""Sayang, sudah malam. Cepet tidur sebelum mas berubah pikiran," jawab Barra sambil menatap istrinya. Senyum
Anak-anak telah selesai makan lebih dulu. Mahika memutarkan film kartun di salah satu channel televisi. Sementara para orang tua masih duduk di meja makan untuk berbincang-bincang."Biasanya jam berapa rutan ngasih kesempatan untuk para pembesuk?" tanya Yuda pada Mahika."Jam delapan pagi sampai setengah dua siang. Pembesuk hanya di kasih waktu tiga puluh menit saja untuk ngobrol dengan kerabat yang ingin ditemui," jawab Mahika. Kecuali jam besuk untuk Mahika tentu saja tidak sama. Apalagi jika mereka melewatkan kebersamaan di sebuah tempat khusus. Paling tidak diberi waktu satu jam, terkadang bisa juga lebih."Kalau gitu kita bisa langsung ke sana saja!" ajak Yuda."Tapi anak-anak jangan diajak, ya!""Aku tahu.""Biar aku yang jagain mereka di sini, Mbak." Aisyah menyela. "Aku nggak enak kalau pergi berdua dengan Yuda," sergah Mahika. "Nggak apa-apa, Mbak. Aku dan Mas Yuda sudah membahas hal ini di kendaraan tadi."Mahika dan Yuda saling pandang sebentar. Wanita itu kemudian berali
Terlambat bagi Barra untuk mengajak istrinya menghindar. Lagipula kondisi hujan lebat yang membuatnya kesulitan untuk memgajak Delia menghindar dari sana."Mas, Mbak Mahika kenapa ada di sini? Apa dia hamil?" tanya Delia pada sang suami yang tengah menutup payung dan meletakkan di dekat pilar. Delia heran kenapa Mahika ada di dokter kandungan.Barra mengangguk. "Ya, Bu Mahika sudah menikah, Sayang." Tak mungkin menyangkal tidak, karena Delia tahu kalau mereka adalah rekan kerja. Kemudian Barra mengekori sang istri yang tergesa menghampiri Mahika. Satu hal yang masih jadi kebiasaan Delia semenjak kehamilan pertamanya. Yaitu suka sekali berjalan dengan langkah cepat. Barra terkadang hanya bisa menggelengkan kepala karena jengkel."Mbak Mahika," panggil Delia pada wanita yang tengah berbincang dengan asistennya. Mahika kaget saat menoleh dan melihat Delia sudah berdiri di sebelahnya. Pada saat yang bersamaan, Mahika menatap sejenak Barra yang berada di belakang sang istri. Lelaki itu me
Lelaki setengah baya itu menarik napas dalam-dalam sambil bersandar pada punggung kursi. "Dua hari yang lalu, Om bicara banyak dengan papamu. Sampai sekarang dia masih menyayangkan keputusanmu menikah dengan Johan.""Ya, meskipun diam. Aku tahu kalau papa masih belum bisa menerima. Padahal Johan sudah banyak berubah, Om. Aku juga sudah cerita banyak kan tentang apa yang terjadi dibalik peristiwa itu.""Papamu keras kepala, Ka. Juga tidak mau berkaca dengan apa yang telah ia perbuat di masa lalu.""Allah saja memberikan pengampunan pada manusia yang benar-benar bertaubat. Tapi sudahlah, itu hak papa untuk menentukan sikapnya.""Kamu yang sabar. Om support kamu, juga ada mamamu dan Marina yang selalu dukung kamu. Sikap papamu yang seperti itu karena sebenarnya dia sangat menyayangimu."Mahika mengangguk. Kemudian pamitan ingin membesuk Johan siang itu. Tidak sabar rasanya untuk segera memberitahu sang suami tentang jenis kelamin anak mereka.* * *Senyum bahagia jelas terlihat di bibir
Bayi cantik itu nyaman di gendongan sang papa. Tak henti Barra mengagumi duplikatnya dalam versi perempuan. Alisnya yang tebal, hidungnya, bentuk dagu dan matanya semua milik Barra. Benar kata Mei, karena jengkel setengah mati sama Barra di awal kehamilan, akhirnya si anak lahir persis seperti Barra dan hanya jenis kelaminnya yang sama seperti Delia."You're daddy's girl, baby," bisik Barra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah si cantik. Kebahagiaannya tidak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. Delia hanya bisa berdecak lirih melihat ulah sang suami dan bayi kecilnya. "Barra, nggak usah bolak-balik kamu ciumi. Dia masih rentan banget itu," tegur Bu Diyah pada putranya. Geram juga sama sang anak yang asyik nguyel-nguyel bayinya."Sini, dibaringkan saja." Bu Diyah mengambil sang cucu dari gendongan Barra. Kemudian menidurkan di box bayi sebelah tempat tidur Delia."I love you. Mas mau pulang dulu ya. Mau jemput Riz," pamitnya pada sang istri. Tidak sungkan mengecup kening Delia, meski a
Mahika duduk di tepi pembaringan sambil menunggu telepon dari Aksara. Dari pantulan cermin lemari di hadapan, ia bisa melihat perubahan bentuk tubuhnya yang kian bulat berisi. Dada membusung, panggulnya membesar, dan lengannya sudah tak alang kepalang bentuknya. Berat badannya naik berkilo-kilo. Ia iri pada Delia yang baru saja melahirkan, tapi tubuhnya tetap ramping. Perutnya saja yang masih bergelambir. Tapi untuk pulih tak butuh waktu lama. Sebulan kemudian dijamin Delia sudah kembali seksi. Mahika jadi iri. Mungkin setelah dirinya bersalin nanti, butuh waktu lama untuk kembali melangsingkan diri. Seperti ketika setelah melahirkan Jelita dulu. Habis uang berapa saja untuk menunjang tubuhnya kembali ke bentuk semula. Di samping dia juga rajin berolahraga saat itu.Namun apapun perubahan tubuh, Mahika sangat menikmatinya. Dia lebih mengedepankan kebahagiaan untuk Johan dan dirinya sendiri. Ia yakin Johan tak akan mempermasalahkan dirinya yang berubah menjadi perempuan gemuk. Ponse
Barra dan Delia duduk berdua di atas ranjang setelah memastikan anak-anak tidur semua di temani Mak Ni. Delia terlihat masih dingin, sedangkan Barra tampak tak sabar ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi."Apa yang Mas rahasiakan dariku?" tanya Delia menatap mata Barra yang dinaungi alis tebal."Rahasia apa? Mas nggak ngerahasiain apapun darimu." Barra tidak mengerti maksud pertanyaan istrinya."Yakin?" sahut Delia cepat."Sayang, Mas nggak paham." Barra bingung."Aku sudah tahu apa yang sebenarnya Mas ketahui selama ini. Aku tahu Mbak Mahika menikah dengan Johan. Mas, sudah tahu tapi menutupi itu semua, bahkan menjawab nggak ngerti setiap kali kutanya. Mas selalu bilang tidak tahu dan tidak tahu. Apa yang ingin Mas lindungi?"Sekarang Barra mengerti masalah itu yang menjadi puncak sikap dinginnya Delia. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya."Mas nggak melindungi apapun. Kamu sedang hamil dan Mas harus tetap menjaga supaya emosimu stabil. Mas nggak
Sementara Delia yang kecewa, hanya berusaha untuk membuat dirinya kembali tenang. Ia paham posisi Barra. Ia mengerti dengan keprofesionalan yang berusaha di jaga suaminya. Namun ia juga tidak memungkiri kalau hatinya sangat kecewa. Apalagi merasa dibohongi apapun alasan Barra harus berbohong padanya.Kepergian Melia memang sudah takdir, tapi caranya pergi yang membuat Delia butuh beberapa tahun lagi untuk benar-benar bisa menghilangkan traumanya. Peristiwa kelam itu sampai kapanpun rasanya tidak akan pernah bisa ia lupakan. Namun pasti bisa ia terima dengan lapang dada tanpa trauma. Hanya butuh waktu untuk itu.Satu jam saling diam dan hanya dibatasi tembok. Akhirnya Barra bangkit dan membuka pintu ruang kerja perlahan lalu menghampiri Delia yang diam memejam. "Sayang, Fia nangis," ucapnya pelan.Tanpa memandang sang suami, Delia bangkit dan langsung naik ke kamar anak-anak. Sedangkan Barra kembali menunggu di sofa luar sambil menikmati suara derasnya hujan di luar.* * *Pagi yang di