Seorang pria usia enam puluhan dan sang istri tersenyum saat pintu di buka oleh Samudra. Mereka datang sambil membawa parcel buah dan sekotak besar aneka rasa roti."Pak Broto dan Ibu, mari silakan duduk." Bu Diyah buru-buru berdiri menyambut tamu sekaligus mitra bisnis suaminya. Pak Adibrata menyalami mereka. Begitu juga dengan semua yang ada dalam ruangan menyalami sepasang suami istri yang sangat ramah itu. Ini kali kedua Pak Broto datang membesuk, yang pertama waktu Barra masih di ruang ICU dan belum sadarkan diri. "Bagaimana Mas Barra? Nggak trauma kan jika kita mesti meeting di Jakarta lagi?" goda Pak Broto sambil berdiri di sebelah Barra yang duduk di atas brankar."Insyaallah nggak, Pak," jawab Barra sambil tersenyum. Pertemuan mereka membahas tentang kecelakaan yang menimpa Barra, bicara tentang spekulasi apa yang menyebabkan terjadinya accident kemarin. Setelah itu pembicaraan tak jauh dari dunia perniagaan dan bisnis. Hanya Samudra saja yang berbeda profesi di antara mer
Barra membuka aplikasi pesan. Semua pesan yang masuk menanyakan kondisi dan keadaannya. Juga berisi doa agar dirinya lekas pulih. Barra membalasnya satu per satu dengan kalimat yang sama. Ucapan terima kasih dan mengabarkan bahwa dia sekarang baik-baik saja."Ada yang mengirimkan email juga, Mas.""Oh ya?""Iya. Tapi maaf, aku sudah membuka dan membacanya. Ada email dari Cintiara. Dia tahu Mas kecelakaan. Mungkin dia khawatir karena berkali-kali mengirimkan pesan bertanya keadaanmu." Delia bicara dengan wajah tenang. Kendati perasaannya sedang bergolak. Pria itu diam sejenak, kemudian beralih memeriksa emailnya. Benar yang dikatakan Delia. Cintiara berulang kali menanyakan kabarnya. "Maafkan Mas ya, karena tidak bisa mengganti email. Jadi dia masih bisa mengirimkan pesan. Tapi Mas nggak pernah membalasnya."Delia tersenyum meski hatinya pedih. Ia bisa memahami dan tidak akan menuntut hal itu pada suaminya. Sebab email itu sangat penting bagi Barra. Banyak pekerjaan yang terhubung ke
"Kenapa kamu nggak tidur?" tanya Barra lagi sambil bergerak miring menghadap istrinya."Aku barusan bangun. Oh ya, aku dapat pesan dari Yovan," kata Delia hati-hati.Barra yang masih mengantuk langsung membuka mata dan menatap layar ponsel yang sedang dipegang istrinya."Yovan nanyain kabarnya, Mas.""Kamu balas saja nggak apa-apa." Jawaban Barra malah membuat Delia ragu. Terlebih selama ini sang suami telah membangun tembok tinggi di antara dirinya dengan Yovan. Voucher dengan nilai sebanyak itu juga dilarang untuk dibelanjakan. Padahal laki-laki itu tidak pernah mengusiknya seperti yang dilakukan Cintiara.Delia mengembalikan ponsel di nakas sebelah tempat tidur. Padahal sebenarnya ia kasihan. Yovan bertanya baik-baik, sebagai bentuk kepedulian terhadap kabar suaminya. Delia hanya khawatir, setelah ia membalas pesan Yovan, nanti Barra juga membalas pesan dari Cintiara. Ah, sejauh itu pikiran Delia. Bisa jadi, Barra mungkin sedang mengujinya."Nggak kamu balas?" tanya Barra."Nggak,
Diva tersenyum menyambut kepulangan Samudra jam dua belas malam. Sejak tadi ia memang belum tidur karena menunggu kepulangan sang suami dari simposium disalah satu ballroom hotel di Surabaya. "Mas, mandi dulu biar aku buatin teh hangat," kata Diva setelah mengambil jas dan tas dari tangan suaminya."Nggak usah bikin teh. Air hangat saja," jawab Samudra sambil merangkul istrinya masuk ke dalam.Samudra langsung mandi, sedangkan Diva membawakan segelas air hangat dari dapur dibawa ke kamar mereka."Bagaimana acaranya tadi? Lancar, Mas?" Diva bertanya sambil duduk di sebelah sang suami yang baru selesai mandi."Alhamdulillah, lancar. Besok masih sehari lagi. Mas minta maaf kalau masih sibuk di akhir pekan. Kita nggak bisa staycation."Diva tersenyum, tapi kemudian berubah sedih. "Nggak apa-apa. Aku juga lagi haid sekarang. Tadi sepulang kerja pas mau mandi, aku datang bulan. Padahal aku berharap kalau bulan depan ada kabar gembira."Samudra yang sebenarnya sangat lelah, fokus memperhati
"Sayang, ada apa?" Barra menjajari langkah istrinya."Kita pergi dari sini, Mas," jawab Delia memeluk lengan sang suami dan melangkah cepat tanpa menoleh.Barra terus mengikuti dan tidak bertanya lagi. Ia sekarang paham bagaimana harus menyikapi Delia. Tentu ada sesuatu yang membuatnya panik seperti itu. Rasa mengalami trauma itu sungguh luar biasa. Setelah merasakan sendiri, akhirnya ia bisa memahami. Terbesit penyesalan atas sikap dinginnya pada Delia dulu. "Kita pulang?" tanya Barra ketika mereka sampai di tempat motor terparkir.Delia masih diam sambil memperhatikan ke arah warung tadi. Barra menoleh untuk melihat ke arah yang sama. Namun ia tidak melihat ada kejanggalan di sana. Bahkan dia juga tidak mengenal satu pun orang-orang di warung tadi. Tidak biasanya Delia panik seperti itu. Dia terbiasa menghadapi apapun dan hanya takut pada dirinya ketika mereka baru menikah."Sayang, duduk dulu atau kita langsung pulang?" Sabar sekali Barra menanyai istrinya."Kalau kita pulang aku
Dua bulan kemudian ....Perut Delia kian membuncit di kehamilan delapan bulan lebih dua minggu. Namun bentuk tubuhnya tidak banyak berubah kecuali dadanya yang kian membusung dan panggulnya yang sedikit melebar. Gerakannya masih lincah dan tidak bisa berjalan pelan kalau tidak ditegur oleh suami dan Mbak Ida sewaktu di kantor. Namun begitu, dia tetap seperti kebanyakan perempuan hamil. Merasakan pegal di kaki dan pinggangnya karena menahan beban di perut yang kian berat. Tapi pekerjaan jalan terus. Dia tidak akan mengambil cuti sebelum seminggu dari hari perkiraan lahiran yang ditetapkan oleh dokter. Padahal Barra maupun papanya sudah memintanya untuk cuti dan istirahat di rumah. Hanya Delia saja yang degil karena tidak ingin bosan duduk diam di rumah."Kamu enak, Lia. Hamil sebesar ini badanmu masih langsing, perutmu aja yang membesar. Aku hamil dulu, seluruh tubuhku ikut bengkak. Jalanpun ngangkang," kata Mei saat mereka janjian makan siang di luar. "Iya, aku tahu. Tapi hebat, dal
Sebenarnya Mbak Ida mengajak Delia periksa ke klinik bersalin terdekat, karena rumah sakit tempat dokter Yunita bertugas lumayan jauh dari kantor.Namun Delia tetap bersikeras periksa ke dokter langganannya. Siapa tahu kalau memang mau lahiran, bisa langsung ditangani oleh dokternya sendiri. Terpaksa Mbak Ida menyuruh sopir perusahaan mengantarkan ke rumah sakit tempat Samudra yang juga bekerja di sana."Ada apa, Dek. Kamu mau melahirkan?" tanya Samudra tergesa-gesa menghampiri Delia yang melangkah menuju ruangan dokter Yunita. Kebetulan diperjalanan tadi Delia mengirimkan pesan pada sang kakak kalau mau bertemu dokter kandungannya."Dari tadi perutku tegang dan terasa nyeri, Mas.""HPL-nya masih dua mingguan lagi, kan?""Iya, sih.""Oke, mungkin maju dari perkiraan." Samudra menyuruh seorang perawat untuk memberitahu dokter Yunita bahwa Delia sudah sampai rumah sakit. Tidak lama dokter berhijab abu-abu keluar ruangan dan mempersilakan Delia masuk. Samudra tertahan di luar karena tid
Barra menceritakan sekilas kejadian setelah mereka pulang. Mei merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali. "Maaf banget, Mas. Kalau tau gitu saya nggak mau diajak keluar. Sekarang bagaimana keadaan Delia?""Nggak apa-apa, Mbak. Delia sedang istirahat di kamar. Saya nggak nyalahin Mbak Mei. Saya hanya ingin tahu, apa ada sesuatu yang membuat Delia tiba-tiba kontraksi tadi?" Barra khawatir jika istrinya kembali bertemu dengan Aksa. Atau ada kejadian lain yang membuat istri lincahnya tiba-tiba drop."Apa Delia nggak cerita sama, Mas Barra?""Cerita apa?""O, kalau gitu biar Delia aja yang cerita, Mas." Suara Mei terdengar takut."Ceritakan saja nggak apa-apa. Biar saya tahu apa yang membuat Delia dibawa ke rumah sakit tadi."Diam sejenak. Kemudian Mei menceritakan pertemuan mereka dengan Cintiara. Semua diceritakan apa adanya. Tidak ada yang dikurangi atau ditutupi. Sebenarnya Mei sendiri kalau tidak ditahan Delia, pasti sudah mendamprat perempuan itu."Terima kasih. Mbak, udah mau ce