Barra menceritakan sekilas kejadian setelah mereka pulang. Mei merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali. "Maaf banget, Mas. Kalau tau gitu saya nggak mau diajak keluar. Sekarang bagaimana keadaan Delia?""Nggak apa-apa, Mbak. Delia sedang istirahat di kamar. Saya nggak nyalahin Mbak Mei. Saya hanya ingin tahu, apa ada sesuatu yang membuat Delia tiba-tiba kontraksi tadi?" Barra khawatir jika istrinya kembali bertemu dengan Aksa. Atau ada kejadian lain yang membuat istri lincahnya tiba-tiba drop."Apa Delia nggak cerita sama, Mas Barra?""Cerita apa?""O, kalau gitu biar Delia aja yang cerita, Mas." Suara Mei terdengar takut."Ceritakan saja nggak apa-apa. Biar saya tahu apa yang membuat Delia dibawa ke rumah sakit tadi."Diam sejenak. Kemudian Mei menceritakan pertemuan mereka dengan Cintiara. Semua diceritakan apa adanya. Tidak ada yang dikurangi atau ditutupi. Sebenarnya Mei sendiri kalau tidak ditahan Delia, pasti sudah mendamprat perempuan itu."Terima kasih. Mbak, udah mau ce
Barra tersenyum sambil mengecup kening istrinya. "Kita masuk dulu. Mas mau mandi, setelah itu baru cerita." Diajaknya sang istri masuk kamar."Mas, tadi dari kantor, ya?" Delia tidak puas dengan jawaban suaminya."Sini, kamu duduk manis dulu. Tunggu Mas selesai mandi. Oke!" Barra menyuruh Delia duduk di ranjang. Pria itu segera melepaskan kemeja yang dipakainya, kemudian masuk ke kamar mandi. Delia kembali berdiri untuk mengambilkan minum.Tidak butuh waktu lama untuk Barra membersikan diri. Dia keluar dengan handuk yang membelit pinggang. Pada saat bersamaan Delia masuk membawakan segelas teh hangat yang ditaruhnya di atas meja rias. "Mas, tadi bilang kalau nggak balik ke kantor. Tapi waktu aku bangun, Mas sudah nggak ada. Keluar kata Mak Ni."Setelah berpakaian dan menyisir rambutnya, Barra duduk berhadapan dengan sang istri. "Tadi Mas ada keperluan di luar. Tapi bukan ke kantor." Barra menarik napas sejenak. "Kamu tadi jadi makan siang bareng Mei?""Jadi.""Kamu nggak ingin cerita
"Mau nambah nasi?" tanya Barra saat melihat nasi di piring Delia hampir habis."Nggak, Mas. Aku udah kenyang. Oh ya, nanti mampir sebentar ke toko perlengkapan ibu dan anak ya. Aku mau beli korset.""Tadi janjinya langsung pulang, kan?"Delia tersenyum. "Sebentar saja. Perlu banget lho korset itu. Aku harus make setelah lahiran. Mereka beliin perlengkapan untuk bayi saja karena bahagia mau lahir cucunya, sedangkan ibu yang sedang melahirkan dilupakan," jawab Delia. Mereka yang dimaksud adalah mamanya sendiri dan mama mertua. Delia tidak perlu membeli perlengkapan bayi lagi karena sudah dicukupi oleh dua mamanya. Barang-barang itu menumpuk di salah satu sudut apartemen. Membuat Barra tak sabar untuk segera mengajaknya pindah ke Dream House."Oke, habis itu kita langsung pulang.""Siap, Pak Barra!" jawab Delia dengan mengangguk hormat. Membuat Barra tersenyum lebar melihat polah istrinya.* * *Langit kota Surabaya biru cerah pagi itu. Delia menatap arakan awan putih bergerak perlahan
Mobil yang dikemudikan pria bertopi perlahan menepi setelah beberapa menit ia meninggalkan rumah sakit.Ia terbayang wajah perempuan yang baru saja di tolongnya. Delia. Wanita cantik yang bertahta dalam hatinya sejak dulu hingga sekarang ini. Seorang gadis yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama saat mereka bertemu di sebuah pesta ulang tahun sang kakak yang kini mendekam di penjara. Delia sedang menemani Melia waktu itu. Gadis periang yang ternyata telah memiliki seorang kekasih, tapi tidak membuat perasaannya pupus. Sayang cintanya tak berbalas, meski pada akhirnya Delia telah putus dengan lelaki berwajah oriental itu. Delia tetap membangun jarak terhadapnya, terlebih setelah peristiwa mencekam itu terjadi. Ia juga tahu bahwa Delia mengalami depresi usai kejadian yang dipicu oleh ulah sang kakak. Kemudian tidak tahu kabarnya sama sekali setelah dia pergi ke Manado karena ada pekerjaan di sana. Dan tak sengaja bertemu lagi pagi itu di Taman Bungkul, tapi Delia pergi ketak
Delia menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada tepi ranjang bersalin. Wajahnya pasi dan mendesis menahan nyeri. Sepertinya sedang merasakan kontraksi yang lebih hebat lagi. Barra memeluknya lantas membimbing sang istri berbaring di ranjang.Peluh membanjiri wajah Delia yang lelah. Wajah ceria, tegas, degil, sementara menepi. Kalah oleh rasa sakit yang hanya dia sendiri yang tau rasanya. Tapi sesungguhnya, di pentas kehidupannya saat ini lah ia menunjukkan kekuatannya sebagai seorang wanita. Bukan dikala dia bisa berdebat mengalahkan lawan, atau ketika menghadapi Cintiara yang datang menyalahkan. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah sebelas jam Delia berjuang di ruang bersalin. Keluarga juga masih setia menemani dan mendoakannya dari luar ruangan.Diva gantian masuk saat Bu Hesti keluar. Wanita cantik itu memberikan kata-kata penyemangat untuk adik iparnya. Meski belum pernah melahirkan sendiri, tapi Diva dua kali menemani Mama El-nya ketika melahirkan Ryu dan Emily. W
Mendengar ucapan Barra untuk anaknya, Mak Ni tersenyum sambil berbalik arah. Lucu sekali si bos. Anaknya belum genap umur sehari sudah disuruh cepat besar. Tidak tahu apa, istri pun masih merasakan nyeri di sekujur badan. Ah, begitulah, laki-laki ....Barra meminta Mak Ni untuk menidurkan kembali bayinya ke dalam box dari stainless steel yang ada di samping ranjang Delia. Lantas ia duduk menunggui di sebelahnya. Tak henti ia mengagumi hasil kerja kerasnya beberapa bulan yang lalu. Walaupun terlihat kaku, tapi Barra sangat menyukai anak-anak. Bahkan dia ingin memiliki banyak anak."Mas, nggak sarapan dulu?" tanya Delia pada sang suami yang masih memandangi bayi yang terlelap. Pagi-pagi tadi mereka telah dipindahkan ke kamar perawatan. Orang tua Delia dan Barra pamitan pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Bu Hesti sedang menyiapkan acara aqiqah yang akan diadakan di rumahnya untuk sang cucu tercinta."Iya, ini mau sarapan." Barra mengambil sekotak nasi yang ada di dalam tas kresek
Suasana rumah Pak Irawan sangat meriah. Ada tenda besar di halaman depan, meja besar di tata rapi tempat untuk menyajikan berbagai hidangan. Mulai dari kue, sampai aneka buah-buahan. Malam itu memang acara Aqiqah baby Riz. Begitulah bayi tampan berhidung mancung itu dipanggil. Wajahnya duplikasi dari kedua orang tuanya. Alisnya yang tebal itu memang turunan dari Barra dan Delia. Hidungnya mirip sang papa, tapi bibirnya milik Delia. Namun tiap orang yang memandang menilai berbeda. Ada yang bilang mirip Barra, ada yang berpendapat mirip sang mama. Di antara meriahnya suasana rumah, baby Riz tidak terganggu sama sekali. Dia anteng di dalam pangkuan sang papa atau di keranjang bayi dari rotan itu. Sungguh bayi yang sangat menggemaskan bagi para tamu yang memandang.Namun sayangnya Diva tidak bisa hadir di sana. Sudah dua hari ini dia 'mabuk' parah. Makanya lebih memilih istirahat saja di kamar Samudra. Sambil memperhatikan para undangan yang tengah menikmati hidangan, Delia memperhati
Barra menyalami seorang perempuan yang tengah menunggunya di ruangan yang biasa untuk menerima tamu perusahaan. Wanita dengan setelan celana, blouse putih, dan jas itu tersenyum ramah. Di sebelahnya ada gadis muda, sang asisten yang mengangguk sopan pada Barra."Senang bertemu, Anda. Saya Mahika perwakilan dari perusahaan Bapak Robby.""Saya Barra. Mari, silakan duduk, Bu Mahika."Mahika mengangguk kemudian duduk. Inilah pertemuan pertamanya dengan calon penguasa Adibrata Grup. Pria keren yang bau minyak telon. Dia mencium aroma itu di antara wangi parfum yang dipakai Barra. Apa mungkin dia baru punya bayi?Setahu Mahika, Barra memang sudah menikah. Omnya yang cerita ketika mereka membahas profil Ibarra Ibra Wijaya dengan dua title akademik dibelakang namanya. Pria yang lebih muda tiga tahun darinya itu adalah lulusan cumlaude di Universitas paling bergengsi di kota Malang dan lulusan S2 terbaik di salah satu universitas ternama di kota Surabaya.Ternyata orangnya jauh lebih menarik d