Jadi, setelah mereka berdua masuk, mereka menyapu semua tempat dan belanja gila-gilaan seperti sedang balas dendam.Di ruang konferensi kantor pusat Perusahaan Lastana, pesan-pesan notifikasi masuk tak henti-henti di ponsel Yudha."Debit Rp2.406.000,00 pada rekening xxx8808.""Debit Rp7.220.000,00 pada rekening xxx8808.""Debit Rp9.664.000,00 pada rekening xxx8808."Terus berlanjut entah sampai berapa kali."Debit Rp40.664.000,00 pada rekening xxx8808."Yudha mengerutkan keningnya dan langsung mematikan ponselnya, berpikir, wanita ini gila!Yara dan Siska kembali ke keluarga Lastana bersama.Keduanya menjatuhkan diri ke ranjang besar bersama-sama, saling memandang, lalu tertawa bersama."Siska, sudah berapa lama kita nggak bersenang-senang belanja?""Yah, sudah lama banget."Sejak Yara menikah dengan Yudha dan Siska mempunyai ibu tiri, mereka berubah menjadi semiskin-miskinnya.Tidak berani membelanjakan uang sembarangan, tidak berani membeli pakaian atau kosmetik.Sebagian besar belan
Mata Yudha menatap pinggang wanita itu, ekspresinya sangat kelam.Dia akhirnya tahu apa yang terjadi di balik pesan notifikasi itu."Rara, kebetulan banget, kamu di sini juga?"Melanie menyapa dengan manis dari samping.Yara mengangkat kepalanya dengan susah payah dan akhirnya melihat kedua orang di depannya dengan jelas.Yudha, Melanie, disusul teman-teman mereka masing-masing."Melly, kamu ngapain perhatiin dia? Bikin mata kotor nggak sih?"Yang bicara dengan wajah sinis itu adalah Winona Zahid, teman baik Melanie.Dia juga hadir di pesta ulang tahun itu."Kotor?" Tinju Siska langsung mengeras. "Winona, mulutmu suka makan sampah, ya? Baunya kok ....""Kamu!" Wajah Winona memerah karena marah dan urat-urat lehernya menonjol."Winona." Melanie menghadang temannya itu. "Jangan berantem. Rara 'kan masih istri Yudha. Dia juga sepupuku.""Dia masih menggelayuti Yudha dan nggak mau cerai. Kamu masih memperlakukan dia sebagai sepupumu? Melly, jangan bodoh."Winona terbakar amarah dan melangk
Tak lama kemudian, Yudha pergi bersama Melanie."Dasar anjing!"Yara mengumpat diam-diam, lalu melihat Siska datang mencarinya."Ayo pulang."Dia pun menarik Siska keluar.Setelah pulang ke rumah keluarga Lastana, dia ingin Siska bermalam di sini."Nggak deh, kalau Yudha pulang gimana?""Mestinya nggak, 'kan?"Yara seratus berpikir Yudha tidak mungkin pulang."Dia sudah pindah. Mungkin dia nggak akan pulang lagi sebelum kita cerai."Nada suaranya sedikit sendu. "Katanya, jarak bisa memperkuat hubungan.""Rara!" Siska memanggilnya dengan wajah penuh khawatir."Aku nggak apa-apa. Sudah lama aku tahu kalau Yudha benar-benar mencintai Melanie."Yara menarik sudut mulutnya dan tersenyum kecut.Setelah mengantar Siska keluar sampai depan rumah, dia mandi dan turun ke lantai bawah ingin minum pereda mabuk.Punya bibi yang bisa melayani di rumah memang sangat nyaman. Hanya saja, dia tidak tahu berapa lama semua ini akan berakhir.Tak disangka, begitu dia duduk, dia melihat Yudha pulang.Yara m
Melanie?Beberapa saat, Yara tidak bergerak."Mau kutemani?"Anita di sebelahnya tiba-tiba berbicara.Yara menggelengkan kepalanya penuh rasa terima kasih. "Nggak apa-apa, pergi sendiri saja."Ruang kantor Melanie sangat indah dan mewah. Bunga-bunga selalu diganti setiap hari, memancarkan keharuman ringan. Dinding kacanya menghadap separuh kota.Setiap detailnya menunjukkan tinggi statusnya di mata perusahaan.Yara berdiri tegak di depan meja kerjanya. "Bu Melanie, ada yang bisa dibantu?""Rara, selamat datang kembali di perusahaan." Melanie memasang senyum di wajahnya.Yara mual melihatnya. "Bu Melanie, kita sedang di kantor. Panggil aku Yara."Berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Selain itu, tolong jangan panggil aku Rara sama sekali. Hubungan kita nggak sedekat itu.""Pfft!" Melanie tertawa tanpa rasa jengkel. "Rara, kamu selalu kekanak-kanakan.""Kalau nggak ada urusan lain, aku keluar sekarang."Yara terlalu malas untuk memedulikan dia dan berjalan pergi."Yara." Melanie kembali b
Anita menugaskan pesanan baru padanya. "Kerja yang baik mulai sekarang.""Terima kasih, Kak Anita, aku keluar dulu."Kemajuan di tempat kerja memberi Yara sedikit suntikan energi.Setelah kembali ke tempat kerjanya, dia mengerahkan seluruh kemampuan untuk bekerja. Hari pun berlalu cepat.Saat pulang kerja, orang-orang mulai mengucapkan selamat tinggal padanya. Akhirnya, dia bukan lagi orang yang dianggap tidak ada.Setelah keluar dari gedung perusahaan, Yara melihat Yudha datang menjemput Melanie.Yudha sedang berdiri di samping mobil dan Melanie sedang berjalan menuju kursi samping pengemudi.Tanpa ragu, Yara langsung beranjak ke sana sambil berteriak dan berlari sekuatnya. "Suamiku, kamu datang menjemputku?"Dalam sekejap, wajah orang-orang yang tadinya iri pada Melanie berubah kaget.Sorot mata Yudha dan Melanie menjadi kejam seperti ingin memangsa.Yara mengabaikan mereka dan langsung masuk ke dalam mobil, duduk di kursi samping pengemudi.Dia memandang Melanie yang masih tertegun
"Ah!"Yudha menandaskan pedal rem dan mobil tiba-tiba berhenti. Yara begitu ketakutan hingga jiwanya hampir terbang keluar."Kamu gila?" Yara menatapnya kaget."Belum habis-habis juga perkaranya?"Yudha menatapnya dengan pandangan penuh rasa jijik, hina dan tidak sabar."Kamu masih belum paham bagaimana kamu bisa kembali bekerja di Baruy?"Yara merasa napasnya sesak. "Apa maksudmu?""Kalau Melly nggak memohon ke perusahaan dan membelamu, apa menurutmu kamu bisa kerja lagi?""Ini yang dia katakan padamu?"Suara Yara sedikit tercekat. "Jadi, kamu percaya apa saja yang dia katakan? Semua kata-kataku bohong?""Kalau memang begitu kenyataannya?"Yudha menatapnya dingin. "Dengan alasan apa aku harus percaya padamu?"Yara memejamkan mata dan bersandar di kursi dalam keputusasaan.Dia ingin bertanya pada Yudha, kenapa dia memercayai Melanie?Namun, dia tahu jawabannya yaitu karena Yudha mencintainya.Yudha menyadari air mata yang mengalir deras di pipi Yara dan entah kenapa dia merasa lebih ke
Malam harinya, dia menerima pesan yang sangat mengejutkan dan tidak biasa dari Silvia."Rara, kenapa kamu nggak pulang dan berkumpul bersama ibumu akhir-akhir ini? Kamu masih marah sama Ibu? Ibu minta maaf. Pulanglah besok, beri Ibu kesempatan untuk menebus kesalahan."Yara sempat ragu. asil tes DNA-nya sepertinya akan keluar besok. Kebetulan dia juga perlu pergi keluar.Jadi, dia menjawab: "Oke."Keesokan harinya, Yara bangun pagi, siap-siap, lalu pulang ke rumah keluarga Lubis.Dia tidak menyangka Silvia sangat antusias, seperti orang yang sama sekali berbeda."Rara, Ibu dengar kamu sudah bekerja. Bagaimana? Pekerjaannya lancar?"Yara mengangguk. "Lancar.""Rara, Ibu kasihan sama kamu. Kamu belum pernah kerja sebelumnya. Kalau nggak bisa, berhenti kerja juga nggak apa-apa."Yara tercengang. "Berhenti kerja? Siapa yang mau menghidupi aku?""Ibumu bisa menghidupi kamu." Silvia meraih tangan Yara dan berkata, "Rara, Ibu sudah memikirkannya. Kalau kamu berhenti bekerja, Ibu akan mengirim
"Rara?"Suara yang sangat lembut terdengar dari belakang.Yara segera menutup hasil tes itu dan melihat ke belakang."Bibi?"Dia tidak menyangka akan bertemu Ziana Hermawan, ibu Melanie.Saat ini, Ziana mengenakan gaun rumah sakit, tanpa riasan, wajahnya tampak sangat pucat serta lemah.Saat melihat bahwa orang yang di depannya ini benar-benar Yara, dia langsung tersenyum bahagia. Matanya melengkung karena senyuman, terlihat sangat indah."Ternyata benar kamu. Aku takut tadi, kukira salah orang."Ziana bertanya dengan lembut, "Ada apa? Rara sakit?""Nggak." Yara menggelengkan kepalanya. "Cuma cek kesehatan biasa."Ekspresinya rumit dan entah kenapa hidungnya terasa sakit seperti hendak menangis.Setelah insiden pesta ulang tahun itu, dia menghindari paman dan bibinya. Dia terlalu malu untuk berhadapan dengan mereka.Ini pertama kalinya dia dan Ziana bertemu setelah lebih dari setahun.Dia tahu yang sebenarnya sekarang. Namun, mana mungkin dia tega memberi tahu Ziana?"Syukurlah kalau k