Muka Yara berangsur-angsur memerah. Memang benar, sejak dia datang di kamp, tidak hanya Kak Felix, semua orang sangat baik kepadanya.Bayu sesekali mengirimkan beberapa barang untuk meredakan kebosanan dan mengajak beberapa prajurit yang berisik untuk menghiburnya. Mereka semua sepertinya berusaha sangat keras, tapi Yara merasa sangat lelah.Dia tahu dia telah mengecewakan mereka.Melihatnya menangis, kegeraman Felix langsung terguyur air dan dia panik, mencoba membujuknya. "Jangan menangis, Rara, aku nggak bermaksud begitu. Maksudku ... kamu harus lebih hati-hati lagi mulai sekarang. Kalau nggak ... kalau nggak, aku akan ikut sedih. Gio, Bayu, dan yang lainnya juga akan ikut sedih."Yara mendengus dan menahan air matanya. "Kak Felix, aku pasti lebih hati-hati lagi mulai sekarang."Itu yang dia katakan. Dia sebenarnya hanya ingin cepat-cepat mengakhiri topik ini, tidak peduli apakah dia terluka atau tidak.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Kak, Siska ...""Aku akan mencoba menghubunginya
Di rumah sakit, Siska terbangun setelah matahari terbit.Dia mengalami sakit kepala yang hebat. Setiap bagian tubuhnya terasa sakit, dan dia hampir tidak bisa bergerak, terutama perutnya. Organ dalamnya terasa seperti hancur berantakan.Rasa sakit itu dengan cepat membangkitkan ingatannya, dan seluruh tubuhnya gemetar."Siska?" Tanto menyadari Siska sudah sadar dan segera menggenggam tangannya dengan penuh perhatian.Siska cepat-cepat menghindar dan menatap pria di depannya dengan ngeri, "Pergi, pergi, jangan mendekat!"Dia tampak seperti tidak mengenali siapa pun."Siska, ini aku, aku Tanto. Jangan takut, aku akan panggilkan dokter." Tanto berjaga di sini sepanjang malam dan segera keluar untuk memanggil dokter.Siska memeluk selimut di tubuhnya. Lambat laun, seluruh tubuhnya mulai tenang.Setelah dokter masuk, dia memeriksa Siska dengan teliti dan menanyakan beberapa pertanyaan."Nggak apa-apa, nggak ada masalah di kepala. Jangan biarkan dia terlalu emosional untuk sementara ini.""B
"Liana sudah setuju?""Iya. Dia cuma ingin identitas Nyonya Lastana. Sedangkan aku suka siapa dan ingin berhubungan dengan siapa pun, dia bersedia melepaskan aku sepenuhnya.""Keluar!" Siska berteriak histeris. "Keluar dari sini!"Tanto dan Liana, dua orang ini sama-sama gila."Siska!" Tanto benar-benar marah. Dia tidak menyangka Siska sampai saat ini masih tidak tahu berterima kasih."Pergi!" Siska membanting gelas di tangannya, lalu meraih bantal di tempat tidurnya. "Pergi! Aku nggak mau lihat mukamu lagi!""Siska." Tanto tak tahan lagi. "Aku nggak ingin mengatakannya padamu sekarang, tapi Siska, kamu nggak punya pilihan. Atau lebih tepatnya, bersamaku adalah pilihan yang terbaik untukmu."Siska mengangkat bantal dan menatapnya dengan gelisah, "Apa maksudmu?"Sesaat, ada sebersit rasa sesak di hati Tanto, tetapi dia bisa kembali bersikap kejam.Dia merasa saat ini adalah kesempatan terakhir baginya. Jika dia tidak bisa membuat Siska tunduk kali ini, mungkin tidak akan ada lagi harapa
"Jangan khawatir, Rara ... Rara baik-baik saja." Felix berkata ragu-ragu. Situasi Yara, bagaimanapun juga, benar-benar tidak bisa dikatakan baik."Apa yang terjadi? Dia ... tahu tentang aku?" tanya Siska gugup.Felix menggeleng. "Waktu dia nggak bisa menghubungimu kemarin, dia menduga kamu mungkin dalam masalah."Dia ragu untuk mengatakannya dan hanya menatap Siska."Ayo, katakan saja Kak, aku khawatir setengah mati."Felix mendesah berat. "Rara sekarang ... mulai menyakiti diri sendiri.""Kenapa bisa begini?" Wajah Siska langsung memerah. "Lalu bagaimana? Apa yang bisa kita lakukan? Kita harus bantu dia!"Dia hampir menangis saking cemasnya."Siska, jangan khawatir. Psikiater terbaik kami dari kantor pusat sudah menemani Rara sekarang."Felix terkadang berpikir lagi bahwa Yara dan Siska cukup beruntung karena ikatan di antara mereka lebih baik daripada ikatan antara kakak beradik kandung mana pun."Baguslah kalau begitu." Siska menghela napas lega dan bergumam, "Dia nggak boleh tahu t
Melanie tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu pikiran kotor apa yang sedang melintas di kepala Ariel.Namun, seorang psikiater tanpa nama yang berkolusi sedikit dengannya, hanya seperti pungguk merindukan bulan.Tetap saja, Ariel benar tentang satu hal. Yudha belum pernah menyentuhnya sampai sekarang, itu memang buang-buang waktu. Dan dia ... mungkinkah harus menunggu dalam kepahitan seperti ini selamanya?"Nona Melanie." Melihat Melanie tidak menanggapi apa-apa, Ariel jadi lebih berani dan berjalan mendekat untuk mengangkat dagunya. "Aku nggak keberatan menggantikan Tuan Muda Lastana mencicipi kemanisanmu.""Singkirkan tangan kotormu!" Melanie menepis tangan Ariel. "Kerjakan tugasmu dengan baik."Ariel mengerutkan bibirnya. Ditolak dengan kejam tidak membuatnya kesal. Sebaliknya, dia terlihat seperti punya rencana."Ngomong-ngomong, katakan sesuatu pada Santo. Minta dia membantu sekeras mungkin." Melanie mengumpat dalam hatinya. Dia tidak tahu Santo akhir-akhir ini punya kesibukan apa-ap
Setelah Yudha kembali ke kamar Melanie, wanita itu jelas terlihat bahagia."Yudha." Dia menatap Yudha dengan penuh harap, ingin Yudha datang ke samping ranjang rumah sakit untuk menemaninya.Namun, Yudha malah duduk di depan pekerjanya.Sambil membolak-balik dokumen, dia bertanya santai, "Bagaimana perasaanmu? Dokter Ariel ini profesional nggak?"Melanie terdiam, jelas tidak menyangka Yudha akan bertanya soal kinerja Ariel tiba-tiba. Apakah karena Ariel mengatakan sesuatu tentang pernikahan?Dia dengan hati-hati menjawab, "Kelihatannya lumayan. Perasaanku jadi sedikit lebih hidup setiap selesai ngobrol dengannya.""Bagus kalau begitu." Yudha melanjutkan pekerjaannya, masih belum menyinggung soal pernikahan.Melanie menggertakkan gigi dengan kesal, dia tidak tahu apa maksud Yudha. Apa dia tidak ingin menikahinya?Sepertinya, dia perlu meminta Santo untuk segera mendesaknya.Setelah Felix membantu Siska dengan prosedurnya, dia segera membawanya kembali ke kamp.Gio menemani Yara menunggu
Tinggal setengah bulan lagi sebelum pertunjukan akhir tahun. Kondisi Yara jelas sudah benar-benar pulih, dan Siska sudah akrab dengan orang-orang yang ada di kamp."Dokter Gio, kamu juga harus pergi ke pertunjukan nanti." Siska juga punya hobi baru, yaitu menggoda Gio."Nggak tertarik." Gio menolak dengan wajah tanpa ekspresi."Ayolah, kaptenmu pasti akan menemani Rara di sana. Aku jadi nggak punya teman." Siska mengangkat alisnya. "Maksudku, teman pria yang ganteng.""Aku saja kalau begitu." Bayu tiba-tiba muncul dari seberang meja."Anak nakal, minggir." Siska terlihat jijik dan terus membujuk Gio. "Dokter Gio, Dokter Gio yang super ganteng, jangan abaikan aku. Membosankan sekali tinggal di kamp setiap hari."Dia menyeret Yara yang berada di sebelahnya. "Rara, bantu aku membujuk dia."Yara tersenyum. "Dokter Gio, kami semua berharap kamu bisa hadir."Gio menyapu pandang ke arah kerumunan orang itu dan akhirnya mendarat di wajah Felix.Felix mengangguk. "Silakan, kamu penasaran 'kan s
Yudha masih bimbang apakah harus menceritakan soal tes DNA tadi kepada Santo."Yudha, ini soal pernikahan waktu itu." Santo mendesah dan mengambil alih pembicaraan. "Paman ingin meminta maaf padamu."Yudha mengerutkan kening. "Kenapa kamu mengizinkan Yara masuk saat itu?""Mungkin aku hilang pikir sejenak." Santo tidak ingin menyinggung soal Zaina. Istrinya itu sudah tiada. Dia tidak ingin orang-orang berspekulasi tentang istri tercintanya.Dia menatap Yudha dengan wajah serius. "Yudha, kapan keluargamu berencana mengulang pernikahannya?""Apa kamu nggak ingin tanya kenapa aku pergi dengan Yara?" Yudha balik bertanya."Apa itu penting?" Santo seolah tak peduli. "Semua orang pasti pernah kebingungan. Asalkan kamu yakin tetap akan menikah dengan Melly."Yudha terdiam.Setelah mengetahui misteri masa lalunya, entah mengapa, dia merasa sedikit goyah untuk menikahi Melanie.Samar-samar dia menyadari bahwa sepertinya ada banyak hal yang perlu dia ketahui.Suatu ketika, Yudha hanya memiliki s