Yara menghabiskan satu tahun berikutnya dengan penuh penderitaan.kuliahnya, kehidupannya, hubungannya, semuanya kacau balau. Memikirkan masa itu masih membuat dadanya sesak seperti tercekik.Teresa menyadari bahwa Yara mulai terlihat sangat kuyu. Dia pun bertanya penuh khawatir, "Rara, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?"Yara menggeleng. "Aku baik-baik saja."Namun, wajahnya benar-benar sangat pucat.Felix bergegas menghampiri, "Oke, ayo pulang saja."Yara mengangguk. Dia tidak menyangka, sampai sekarang, mengingat masa-masa itu masih sangat memengaruhi pikirannya.Dia tersenyum meminta maaf pada mereka berdua. "Aku baik-baik saja, maaf membuat kalian khawatir."Setelah mengantarnya pulang ke rumah sakit, Teresa pergi bersama Felix.Teresa mendesah dan menggelengkan kepalanya. Dia selalu lurus sepanjang hidupnya. Bertemu calon suami dari kencan buta, lalu menikah satu tahun kemudian, kemudian memiliki seorang anak dua tahun kemudian. Semuanya seperti mengikuti jadwal, jadi dia tidak
Felix sangat terkejut melihat tatapan mengerikan itu sampai tidak bisa menahan refleks tubuhnya mengambil langkah mundur. Dia tiba-tiba merasa urusannya tidak begitu mendesak.Dia menggaruk-garuk kepalanya karena malu dan berkata sambil tertawa, "Dokter Gio, nggak terlalu mendesak sih ...."Dengan suara "brak!" keras, pintu itu dibanting dan tertutup!Felix berteriak, "Istirahatlah yang cukup, ada seseorang yang harus kamu temui besok!""Pergi!"Felix yakin Gio telah mendengarnya, jadi dia menurut perintahnya dan segera pergi.Gio adalah seorang psikiater residen yang dikirim oleh atasannya. Dilihat dari pangkat, Gio bahkan lebih tinggi dibanding dia.Yang terpenting, Gio memiliki kemampuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia dapat melihat isi hati seseorang hanya dengan sekilas pandang saja. Sia-sia kalau tidak dimanfaatkan untuk membantu investigasi kriminal. Kepribadiannya bisa dikatakan kurang normal. Orang yang mengganggunya tidak akan memiliki akhir yang baik.Dapat dikataka
Felix mengabaikannya dan menarik pria itu menuju rumah sakit. "Pokoknya harus, nggak bisa ditawar lagi.""Oke, oke." Gio tertawa saking marahnya. "Aku ingin kamu lihat kemampuanku dan apa artinya menjadi seorang algojo."Felix tampak berpikir sejenak.Gio melanjutkan, "Depresinya serius? Atau ringan? Coba tebak perlu berapa lama sampai aku membuatnya semakin parah?""Gio!" Felix akhirnya berhenti melangkah.Karena dia tahu bahwa Gio berkata sungguh-sungguh. Gio benar-benar mampu melakukannya.Nama Gio terkenal di militer karena dia pernah melakukan sesuatu yang membuat semua orang bertepuk tangan sekaligus takut.Saat itu, Felix masih tinggal di luar negeri dan menerima kasus pembunuhan berantai. Karena pembunuhnya terlalu kejam dan licik, polisi setempat meminta bantuan mereka.Kemudian, mereka menangkap si pembunuh. Sayangnya tidak dapat dijatuhi hukuman berat karena bukti yang tidak mencukupi.Semua orang tahu bahwa si pembunuh pantas dihukum mati, tetapi mereka hanya bisa melihatny
Gio mengangguk. Dalam hatinya, dia sudah yakin bahwa wanita di depannya ini paling tidak mengalami depresi ringan.Namun, orang memang mudah mengalami depresi jangka pendek ketika mengalami kemunduran. Terutama ketika menderita sakit. Orang yang seperti itu akan mengalami depresi singkat. Asalkan mereka sendiri dapat meregulasikannya tepat waktu, mereka akan baik-baik saja."Sejak kapan kamu kenal Felix?" Dia mulai mengobrol santai."Waktu masih sangat kecil. Dia baru enam tahun dan aku empat tahun." Yara tersenyum."Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal?" Gio bertanya lagi. "Sejauh yang aku tahu, keluarga Lastana adalah keluarga yang besar dan nggak semua orang bisa menarik perhatian mereka."Pengamatan yang cukup tajam.Jika dipikir-pikir, mungkin semuanya memang bukan kebetulan. Saat itu, keluarga Lubis mungkin ingin meminta sesuatu kepada keluarga Lastana.Yara berpikir sejenak sebelum berkata, "Saat itu di sebuah pulau kecil. Kedua keluarga pergi ke sana untuk berwisata. Ng
Felix terdiam sejenak sampai dia menyadari apa yang sedang dibicarakan Gio.Karena rasa takutnya pada Gio, reaksi pertamanya adalah menghindar, tak ingin mengatakan apa-apa.Jadi, dia mengabaikan kata-kata itu. "Bagaimana kondisi Rara? Apakah serius?""Rara?" Gio mengangkat alisnya. "Namanya Rara?"Felix mengangguk. "Nama panggilannya Rara, Yara Lubis."Dia serasa ingin tertawa sekaligus geleng kepala. "Kamu sendiri psikiater, sudah ngobrol sangat lama tapi belum tahu namanya?""Rara?" gumam Gio pelan. "Kenapa kedengarannya seperti "lara"?"Entah kenapa, rasa bersalah sekejap menyelinap dalam hati Felix. "Tapi dia sudah hamil sekarang, kenapa dia masih belum bisa melepaskannya?""Dia nggak pernah cerita apa yang terjadi setelah kamu pergi?" Gio sudah menduganya.Felix kurang mengerti kenapa Gio bertanya seperti itu. "Apa maksudmu?""Dia tidak sadarkan diri di rumah sakit waktu kamu pergi. Tapi waktu dia bangun setelahnya, dia nggak menerima ucapan terima kasih atau pujian apa pun."Cah
"Kamu tahu kenapa Yudha harus menikahi Melanie?"Yara tertawa getir. "Mungkin karena cinta. Orang yang dicintainya sejak awal itu Mela ....""Bukan!" Felix menyela. "Rara, Yudha meninggalkan liontin permata miliknya di tanganmu sebelum kami pergi.""Liontin permata?" Yara tidak mengerti. "Aku belum pernah lihat liontin permata apa-apa. Atau ...."Dia tiba-tiba mengerti.Felix mengangguk, menguatkan dugaannya. "Benar sekali. Melanie mengambil liontin permata itu dan mengaku sebagai orang yang menyelamatkan kami saat itu. Dia juga bilang kalau dia nggak bisa hamil. Yudha setuju untuk menikahinya sebagai rasa terima kasih."Bagaimana bisa?Yara benar-benar tercengang. Dia tidak pernah menyangka bahwa di balik semua ini, terdapat bayang-bayang yang erat hubungannya dengan masa lalu.Dia tidak pernah menceritakan kejadian waktu itu kepada siapa pun.Bahkan, ketika masih kuliah, Yudha pernah mengatakan bahwa dia pernah diculik ketika masih kecil. Namun, hati Yara terasa seperti tertusuk semb
Felix tidak punya pilihan lain selain menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada Gio."Menurutku terlalu aneh." Dia benar-benar tidak mengerti. "Bukankah seharusnya dia langsung menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada adikku setelah mengetahuinya?"Gio mengerutkan kening. Benar saja, cinta dan kebencian di kalangan orang kaya ternyata lebih berdarah-darah dan menakutkan dari yang dia bayangkan.Nada bicaranya sedikit khawatir. "Dia juga melindungi dirinya sendiri.""Maksudnya?" tanya Felix. "Bukankah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan membongkar kebohongan wanita itu?"Gio menggeleng, merasa khawatir masalah mental Yara akan semakin memburuk.Dia menjelaskan dengan kesabaran yang hampir tidak pernah dimilikinya, "Kejadian di masa kecil Yara serta perlakuan buruk dan kebencian dari orang tuanya meninggalkan trauma yang sangat serius di hatinya."Dia mendesah pelan. "Kalau orang lain saja mungkin sudah depresi berat, tapi karakternya sangat kuat dan dia punya
Mendengar hal itu, sebuah senyuman muncul di wajah Yara, dan sekujur tubuhnya terlihat sedikit lebih rileks.Gio langsung bertanya pada intinya, "Rara, orang tua seperti apa menurutmu yang pantas menjadi orang tua?""Orang tua?" Yara tidak menyangka Gio akan membicarakan hal ini dengannya.Gio memandangi perutnya. "Kamu akan menjadi ibu, apa kamu belum pernah memikirkan pertanyaan ini?"Yara tidak langsung menjawab.. Bukannya dia belum pernah memikirkannya, tetapi dia sudah memikirkannya sejak dia masih sangat, sangat kecil. Sampai kejadian naas itu terjadi saat dia berusia empat tahun. Dia mengira bahwa dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang ibu, jadi dia sudah sejak lama tidak pernah memikirkannya lagi.Namun, seiring bertambahnya usia, pemikirannya menjadi lebih mandiri. Ditambah dengan pengaruh Zaina pada hidupnya, dia masih memikirkannya sesekali.Orang tua sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak.Tanpa pikir panjang, dia menjawab, "Orang tua yang benar-benar menyay