Felix mengabaikannya dan menarik pria itu menuju rumah sakit. "Pokoknya harus, nggak bisa ditawar lagi.""Oke, oke." Gio tertawa saking marahnya. "Aku ingin kamu lihat kemampuanku dan apa artinya menjadi seorang algojo."Felix tampak berpikir sejenak.Gio melanjutkan, "Depresinya serius? Atau ringan? Coba tebak perlu berapa lama sampai aku membuatnya semakin parah?""Gio!" Felix akhirnya berhenti melangkah.Karena dia tahu bahwa Gio berkata sungguh-sungguh. Gio benar-benar mampu melakukannya.Nama Gio terkenal di militer karena dia pernah melakukan sesuatu yang membuat semua orang bertepuk tangan sekaligus takut.Saat itu, Felix masih tinggal di luar negeri dan menerima kasus pembunuhan berantai. Karena pembunuhnya terlalu kejam dan licik, polisi setempat meminta bantuan mereka.Kemudian, mereka menangkap si pembunuh. Sayangnya tidak dapat dijatuhi hukuman berat karena bukti yang tidak mencukupi.Semua orang tahu bahwa si pembunuh pantas dihukum mati, tetapi mereka hanya bisa melihatny
Gio mengangguk. Dalam hatinya, dia sudah yakin bahwa wanita di depannya ini paling tidak mengalami depresi ringan.Namun, orang memang mudah mengalami depresi jangka pendek ketika mengalami kemunduran. Terutama ketika menderita sakit. Orang yang seperti itu akan mengalami depresi singkat. Asalkan mereka sendiri dapat meregulasikannya tepat waktu, mereka akan baik-baik saja."Sejak kapan kamu kenal Felix?" Dia mulai mengobrol santai."Waktu masih sangat kecil. Dia baru enam tahun dan aku empat tahun." Yara tersenyum."Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal?" Gio bertanya lagi. "Sejauh yang aku tahu, keluarga Lastana adalah keluarga yang besar dan nggak semua orang bisa menarik perhatian mereka."Pengamatan yang cukup tajam.Jika dipikir-pikir, mungkin semuanya memang bukan kebetulan. Saat itu, keluarga Lubis mungkin ingin meminta sesuatu kepada keluarga Lastana.Yara berpikir sejenak sebelum berkata, "Saat itu di sebuah pulau kecil. Kedua keluarga pergi ke sana untuk berwisata. Ng
Felix terdiam sejenak sampai dia menyadari apa yang sedang dibicarakan Gio.Karena rasa takutnya pada Gio, reaksi pertamanya adalah menghindar, tak ingin mengatakan apa-apa.Jadi, dia mengabaikan kata-kata itu. "Bagaimana kondisi Rara? Apakah serius?""Rara?" Gio mengangkat alisnya. "Namanya Rara?"Felix mengangguk. "Nama panggilannya Rara, Yara Lubis."Dia serasa ingin tertawa sekaligus geleng kepala. "Kamu sendiri psikiater, sudah ngobrol sangat lama tapi belum tahu namanya?""Rara?" gumam Gio pelan. "Kenapa kedengarannya seperti "lara"?"Entah kenapa, rasa bersalah sekejap menyelinap dalam hati Felix. "Tapi dia sudah hamil sekarang, kenapa dia masih belum bisa melepaskannya?""Dia nggak pernah cerita apa yang terjadi setelah kamu pergi?" Gio sudah menduganya.Felix kurang mengerti kenapa Gio bertanya seperti itu. "Apa maksudmu?""Dia tidak sadarkan diri di rumah sakit waktu kamu pergi. Tapi waktu dia bangun setelahnya, dia nggak menerima ucapan terima kasih atau pujian apa pun."Cah
"Kamu tahu kenapa Yudha harus menikahi Melanie?"Yara tertawa getir. "Mungkin karena cinta. Orang yang dicintainya sejak awal itu Mela ....""Bukan!" Felix menyela. "Rara, Yudha meninggalkan liontin permata miliknya di tanganmu sebelum kami pergi.""Liontin permata?" Yara tidak mengerti. "Aku belum pernah lihat liontin permata apa-apa. Atau ...."Dia tiba-tiba mengerti.Felix mengangguk, menguatkan dugaannya. "Benar sekali. Melanie mengambil liontin permata itu dan mengaku sebagai orang yang menyelamatkan kami saat itu. Dia juga bilang kalau dia nggak bisa hamil. Yudha setuju untuk menikahinya sebagai rasa terima kasih."Bagaimana bisa?Yara benar-benar tercengang. Dia tidak pernah menyangka bahwa di balik semua ini, terdapat bayang-bayang yang erat hubungannya dengan masa lalu.Dia tidak pernah menceritakan kejadian waktu itu kepada siapa pun.Bahkan, ketika masih kuliah, Yudha pernah mengatakan bahwa dia pernah diculik ketika masih kecil. Namun, hati Yara terasa seperti tertusuk semb
Felix tidak punya pilihan lain selain menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada Gio."Menurutku terlalu aneh." Dia benar-benar tidak mengerti. "Bukankah seharusnya dia langsung menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada adikku setelah mengetahuinya?"Gio mengerutkan kening. Benar saja, cinta dan kebencian di kalangan orang kaya ternyata lebih berdarah-darah dan menakutkan dari yang dia bayangkan.Nada bicaranya sedikit khawatir. "Dia juga melindungi dirinya sendiri.""Maksudnya?" tanya Felix. "Bukankah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan membongkar kebohongan wanita itu?"Gio menggeleng, merasa khawatir masalah mental Yara akan semakin memburuk.Dia menjelaskan dengan kesabaran yang hampir tidak pernah dimilikinya, "Kejadian di masa kecil Yara serta perlakuan buruk dan kebencian dari orang tuanya meninggalkan trauma yang sangat serius di hatinya."Dia mendesah pelan. "Kalau orang lain saja mungkin sudah depresi berat, tapi karakternya sangat kuat dan dia punya
Mendengar hal itu, sebuah senyuman muncul di wajah Yara, dan sekujur tubuhnya terlihat sedikit lebih rileks.Gio langsung bertanya pada intinya, "Rara, orang tua seperti apa menurutmu yang pantas menjadi orang tua?""Orang tua?" Yara tidak menyangka Gio akan membicarakan hal ini dengannya.Gio memandangi perutnya. "Kamu akan menjadi ibu, apa kamu belum pernah memikirkan pertanyaan ini?"Yara tidak langsung menjawab.. Bukannya dia belum pernah memikirkannya, tetapi dia sudah memikirkannya sejak dia masih sangat, sangat kecil. Sampai kejadian naas itu terjadi saat dia berusia empat tahun. Dia mengira bahwa dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang ibu, jadi dia sudah sejak lama tidak pernah memikirkannya lagi.Namun, seiring bertambahnya usia, pemikirannya menjadi lebih mandiri. Ditambah dengan pengaruh Zaina pada hidupnya, dia masih memikirkannya sesekali.Orang tua sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak.Tanpa pikir panjang, dia menjawab, "Orang tua yang benar-benar menyay
Setelah Gio pergi, Yara memikirkannya sejenak.Dia tahu Gio memang benar. Kalaupun Yudha ingin berubah pikiran, dia tidak akan langsung memaafkannya.Sekalipun hanya untuk membalas budi, Yudha tidak berhak menyakitinya seperti ini.Saat makan siang, dia bertemu dengan Felix."Kak, ponselku ...."Felix langsung menjawab, "Ada di aku. Kamu mau pakai? Sekarang?"Yara mengangguk. "Aku mau telepon Yudha dan menjelaskan yang sebenarnya.""Oke." Felix berusaha untuk tersenyum. Dia tahu akhirnya akan jadi seperti ini. Dia tahu dirinya harus mengalah, tetapi dia tidak menyesal.Dia telah menyakiti Yara 20 tahun yang lalu, dan kali ini, dia ingin melindunginya.Felix membawa Yara ke kamarnya dan mengembalikan ponselnya."Tapi kamu nggak boleh telepon di sini, kamu harus ikut denganku." Dia mengingatkan Yara. "Kamu pakai baju yang tebal dulu, aku tunggu di tempat parkir."Yara mengangguk dan menyalakan ponselnya, dan benar saja, tidak ada sinyal.Sambil menelusuri ponselnya, dia berjalan kembali
Yara pun terharu. "Kak Felix, terima kasih.""Nggak masalah." Felix tidak berani mengambil risiko, memikirkan kemungkinan yang disebutkan Gio tadi.Sementara itu, Yudha menerima telepon dari Melanie."Yudha, tolong, ibuku terjadi sesuatu." Melanie menangis tersedu-sedu."Oke, jangan khawatir, aku ke sana sekarang." Yudha bangkit dan berniat untuk segera pergi ke rumah sakit."Yudha, kamu bisa menghubungi Rara?" Dalam beberapa hari terakhir, Melanie sudah menggunakan segala cara, tetapi Yara masih belum ketemu juga, jadi dia hanya bisa bertanya pada Yudha.Yudha mengerutkan keningnya. "Ada apa?""Yudha, ibuku butuh transfusi darah segera. Cuma Rara yang golongan darahnya sama." Melanie terus menangis. "Yudha, waktu ibuku donor darah untuk menyelamatkan nyawa Rara waktu itu ....""Aku akan berusaha, tenang saja." Yudha menutup teleponnya.Pendarahan Yara saat itu masih terngiang di benaknya. Apakah Yara sudah mendonorkan darahnya sekarang?Dengan sedikit ragu dan menelepon Revan terlebih