"Siska?" Sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba terdengar.Yara dan Siska menoleh bersamaan, dan melihat ternyata itu Tanto.Tanto mengenakan tuksedo yang dirancang dengan sangat baik, membuatnya terlihat anggun sekaligus santai.Dia melirik penuh arti ke arah Yara, lalu kembali menatap Siska. "Bisa bicara sebentar?""Nggak ada yang perlu dibicarakan." Siska menggandeng tangan Yara dan hendak pergi. "Rara, ayo ke sana."Tanto berjalan maju dan menghadang jalan mereka. "Yara, kamu pasti nggak ingin menarik terlalu banyak perhatian, 'kan?"Kata-kata ini jelas merupakan sebuah ancaman."Tanto, kamu nggak punya malu?" Siska menggertakkan gigi."Malu kenapa?" Tanto tampak seperti tidak akan mundur sampai mencapai tujuannya. "Siska, kamu tahu sifatku. Aku cuma mau ngobrol sebentar saja."Siska menatap Yara dengan penuh permintaan maaf."Nggak apa-apa, aku tunggu kamu di sana." Yara benar-benar tidak ingin menarik perhatian. Dia tidak ingin Yudha atau Melanie menyadari dia ada di sini."Oke,
"Gara-gara kamu, sialan ...." Tanto menggertakkan gigi dan mengucapkan beberapa kata lagi dengan cepat, "Aku nggak bisa keras.""Apa?" Siska kali ini dapat mendengarnya dengan jelas. Dia hanya ingin mendengarnya lagi."Aku nggak bisa keras!" Tanto hampir meraung.Benar-benar mencengangkan. Dia sudah berganti berbagai macam wanita untuk mencobanya, selalu tidak berhasil juga.Jika terus seperti ini, dia benar-benar mengira mungkin ada yang salah dengan organnya itu."Hahaha ...." Siska tertawa lepas. "Tanto, ini karma untukmu. Karma karena kamu mempermainkan terlalu banyak wanita, hahaha ....""Diam!" Tanto sangat marah sampai dia mendorong Siska ke pintu lagi. Tubuh bagian bawahnya juga ikut menekan wanita itu kuat-kuat.Siska tersentak dan seketika tersadar.Mau bagaimana lagi. Ini adalah satu-satunya tubuh yang pernah dia kenal. Di dalam tubuh ini, terdapat segala macam kenangan tentangnya.Siska merasakan sesuatu yang keras itu dan mendorong Tanto menjauh dengan satu tangan. "Menjau
Tanto akhirnya melepaskan Siska, untuk membuktikan bahwa dia bukan pria berkepala batu yang tidak bisa mengendalikan nafsunya.Dia merasa sedih.Karena dia saat ini benar-benar tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya.Saat diinginkan tidak datang. Saat tidak inginkan malah tidak mau pergi.Seorang playboy sejati tidak seharusnya seperti ini!Dengan perasaan murung, dia pergi ke kamar mandi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.Siska keluar dan segera pergi mencari Yara, tetapi sahabatnya itu tidak ada di mana-mana.Pada saat itu, Yara dipanggil ke ujung koridor oleh Silvia.Kini setelah masalahnya selesai, Silvia merasa akhirnya bisa berkata sesukanya di depan Yara."Mau apa kamu di sini?" Dia berkata dengan nada menghina, dengan kesombongan seorang pemenang.Yara bersandar dengan lembut ke dinding. "Menghadiri pernikahan, tentu saja.""Haha ...." Silvia tertawa menghina. "Yara, kamu benar-benar pecundang, kamu nggak pantas berada di sini."Yara mengerutkan bibirnya dan menatap wani
"Melanie, Melanie ...." Yara berkata dengan susah payah, berusaha keras untuk mengendalikan diri, tetapi tubuhnya gemetar tanpa henti.Siska semakin khawatir. "Si anjing Melanie kenapa?""Dia yang melakukannya. Dia yang membunuh ...." Yara menggigit bibirnya sebelum mengeluarkan kata, "Ibuku!"Setelah mengucapkan kata-kata ini, seluruh kekuatan dalam tubuhnya seolah-olah terkuras habis. Tubuhnya terjatuh dengan lemah.Siska buru-buru meraihnya. Sekujur tubuhnya terasa dingin dan suaranya menggigil. "Rara, kamu ... tahu?"Tubuh Yara masih terkulai dan pandangannya gelap.Pada saat ini, seluruh pikirannya diliputi penyesalan. Dia mengira bahwa Melanie akan memperlakukan Zaina dengan lebih baik dengan mengalah lagi dan lagi.Namun, dia lupa bahwa Melanie adalah orang gila yang tidak berperasaan.Melanie membunuh Zaina, dan dia, dia ikut andil di dalamnya.Dia sangat sedih, sangat sedih sampai tidak bisa menahannya."Rara? Rara?" Siska melihat tubuh Yara terkulai lemas dan benar-benar ping
Ketika Silvia menemukan ruang ganti pengantin, waktunya sudah sepuluh menit sebelum upacara dimulai.Melanie sudah siap. Gaun pengantin putihnya dihiasi dengan berlian. Seperangkat perhiasan yang dikenakannya saja berharga 40 miliar."Melly." Mata Silvia memerah seketika. Putrinya akhirnya mencapai kesuksesan. "Selamat ya."Melanie hari ini juga lebih bahagia dari sebelumnya. Dia mengusir semua orang, hanya menyisakan dirinya dan Silvia.Dia menghampiri Silvia dan memeluknya dengan lembut. Tanpa bantuan Silvia, dia tidak akan bisa berada di sini hari ini."Ibu, aku akan menghormatimu dengan baik di masa depan, membelikanmu rumah yang besar, mobil mewah, dan tas-tas bermerek.""Oke, kamu memang anak Ibu yang baik. Nggak sia-sia cinta Ibu untukmu." Silvia terisak kecil. "Ya sudah, waktunya sudah hampir tiba, saatnya keluar."Melanie mengangguk dan ketika dia melepaskan Silvia, dia melihat sebuah bekas di wajah Silvia.Dia melihat lebih dekat dan baru mengenali bahwa itu tampak seperti be
"Bukan urusanmu." Yara berbalik dan hendak pergi.Silvia mencengkeram lengannya. "Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana. Kamu nggak diundang di pesta pernikahan Melly.""Lepaskan aku." Yara meronta.Saat itu, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua orang telah berkumpul di tempat pernikahan. Koridor ini kosong.Silvia semakin berani dan mencengkeram lengan Yara dengan cengkeraman maut. "Kamu ikut denganku, kamu nggak diterima di sini."Dia menyeret Yara pergi."Lepaskan aku, lepas." Yara meronta keras. Dia harus menghentikan pernikahan ini.Silvia tidak menyangka Yara begitu kuat saat dia marah. Dia hampir kehilangan pegangannya.Dia spontan mendapat ide dan berkata, "Bukankah kamu ingin tahu bagaimana Zaina meninggal?"Benar saja, Yara berhenti meronta."Kamu ikut aku, pergi ke ruangan itu. Nanti aku beri tahu." Silvia menunjuk ke sebuah ruang tunggu tak jauh dari situ."Kau benar-benar akan memberi tahu aku?" Yara tampak percaya."Ya, ayo pergi. Nggak enak bicara di sini." Silvia me
"Rara!"Santo membuang muka dengan susah payah. Tatapan mata anak itu membuatnya merasa sangat sesak.Namun, bagaimana mungkin dia, sebagai ayah Melanie, membiarkan seseorang merusak pernikahan putrinya?"Rara, Paman mohon, pergilah!""Cepat!" Silvia mengerahkan sekuat tenaga untuk menyeret Yara, dan dengan kejam mencubit perut Yara keras-keras. "Anjing jalang, jangan mimpi merusak pernikahan Melly!"Yara menangis karena rasa sakitnya, tetapi dia malah semakin tidak ingin menyerah.Dia segera mengambil keputusan dan memelankan suaranya untuk mengingatkan Santo, "Paman, ada sesuatu yang lain yang terjadi di balik kematian Bibi."Apa?Santo seperti disambar petir dan menatap Yara dengan mata terbelalak.Yara melawan Silvia sekuat tenaga dan terus merayu Santo, "Bantu aku, aku akan memberitahumu."Dia tidak bisa berkata banyak pada saat ini, tetapi informasi itu saja sudah cukup untuk membuat jantung Santo berdebar kencang.Benar saja, saat Yara hampir berhasil ditarik, Santo meraih lenga
Yudha akhirnya mengalihkan pandangannya dari Melanie dan menatap pendeta di depannya dan perlahan berkata, "Saya ...""Tunggu!" Suara teriakan yang tiba-tiba itu menarik perhatian semua orang seketika itu juga.Yara melangkah ke arah kedua mempelai pengantin itu. "Yudha, sebelum kamu berjanji, menurutku ada sesuatu yang perlu kamu ketahui."Melanie terkejut dan mengangkat kerudung tipisnya. "Yara? kenapa kamu ada di sini? Apa yang kamu inginkan?"Di tempat duduknya, Agnes menatap dengan tajam. "Ada apa ini? Apa yang diinginkan Yara sekarang?"Dia ingin bangkit dan menghampiri Yara untuk mengusirnya."Bu!" Felix menahannya dan menggeleng. "Biarkan saja dulu."Di sisi lain, wajah Kakek Susilo yang tadinya tanpa ekspresi seketika berubah cerah. "Rara datang untuk menghalangi pernikahan.""Ayah!" Agnes benar-benar tak berdaya."Melanie, apa yang kamu takutkan?" Yara maju selangkah. "Kalau kamu dan Yudha memang benar-benar saling mencintai, kenapa kamu takut dengan kehadiran mantan istrinya