Pernikahan adalah momen indah yang banyak dinanti setiap orang, apalagi bagi pengantin wanita, setiap wanita pasti mempunyai impian pesta pernikahannya sendiri.
Begitu juga dengan Ellena, bukan pesta pernikahan mewah layaknya para konglomerat, namun pesta sederhana yang bernuansa outdoor yang semuanya serba berwarna putih itulah yang menjadi impian Ellena.
Namun yang terjadi tidak ada satupun impian Ellena yang bisa terwujud di pernikahannya hari ini. Pernikahan yang hanya dilaksanakan di dalam sebuah tempat ibadah, dan hanya dihadiri oleh pemuka agama dan beberapa anak buah Erwin sebagai saksi.
Erwin benar-benar tidak ingin kabar pernikahan ini didengar orang banyak, oleh karena itu dia hanya mengundang orang yang bekerja di dalam rumahnya saja.
Setelah mengucapkan janji suci, Erwin mendekati Ellena, orang mengira dia sedang mencium pipi wanita itu, namun kenyataannya Erwin membisikkan sesuatu yang membuat Ellena merinding seketika.
"Jangan pernah mengira setelah acara ini usai kehidupan indah akan mewarnai hidupmu, justru yang ada neraka cinta telah menanti kedatanganmu," ujarnya dengan menyeringai.
Ellena tidak menjawab, dia hanya menatap dalam sorot mata Erwin, mencoba mendalami seberapa bencinya orang yang kini sudah sah menjadi suaminya terhadapnya.
Lalu Ellena menarik bibirnya untuk tersenyum manis meski hatinya merasa sakit, setelah itu mereka berdua menerima ucapan selamat dan doa tulus dari setiap orang yang hadir dalam acara pernikahan mereka.
"Selamat ya atas pernikahan kalian, semoga hubungan kalian langgeng sampai maut memisahkan," ucap Azkia tulus. "Jika Erwin menyakitimu, jangan sungkan bilang padaku, aku sendiri yang akan menghukumnya, tenang saja aku lebih mempercayaimu," lanjut Azkia yang bisa memancing senyum kedua mempelai itu.
Mendengar ucapan Azkia tentu saja Erwin segera berperan menjadi suami penyayang, dengan lembut dia merangkul pundak Ellena. "Anda tenang saja Nona, saya bisa jamin Ellena akan hidup bahagia bersama saya, sampai dia sendiri tidak mau pisah dengan saya."
Lalu tanpa ragu Erwin mencium pipi kiri Ellena, membuat Azkia tersenyum senang, sedangkan Ellena mencengkeram kuat gaun pengantinnya, rasa hangat sentuhan tangan dan bibir Erwin tidak bisa menghangatkan hati Ellena.
Justru yang ada kini hati dan pikiran Ellena sangat kacau, memang seharusnya pergi dari sini adalah pilihan terbaik, pikirnya.
"Ayo kita pergi sekarang Sayang, aku sudah merasa tenang, ucapan Erwin sudah aku anggap sebagai janji kalau mereka tidak akan pernah berpisah," ujar Azkia girang dengan menarik tangan Deffin meninggalkan tempat itu.
Deffin hanya mengangguk lalu langkahnya beriringan dengan Azkia, mereka berdua tetap setia menampilkan kemesraan yang pasti membuat iri semua pasangan.
Ellena selalu merasakan hawa dingin jika hanya berdua dengan Erwin, sungguh dia ingin sekali lari dari kenyataan ini, dia tidak bisa membayangkan kehidupan neraka cinta seperti apa yang dimaksud Erwin.
"Ayo," ucap Erwin datar mengajak Ellena untuk pulang, Ellena hanya mengangguk, entah mengapa rasanya mulutnya tidak bisa terbuka sejak tadi, dengan patuh dia hanya mengikuti langkah Erwin.
Sesampainya di dalam mobil tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua, namun saat di tengah perjalanan, entah Ellena mendapatkan kekuatan dari mana hingga dia berani mengucapkan, "Mari kita akhiri saja sampai di sini."
Erwin yang mendengar perkataan Ellena langsung mengerem mendadak, beruntung jalan ini sepi dan hanya ada mobilnya saja yang melewati jalan ini.
"Dasar wanita bermuka dua, aku sudah tahu sifat aslimu, jadi tidak perlu berpura-pura lagi jika berhadapan denganku," ujar Erwin sinis.
Ellena menoleh, dia bingung dengan perkataan Erwin. "Apa maksudmu?"
"Kamu hanya pura-pura naif, aku tahu kamu tertarik denganku, dan kamu sekarang sudah bisa mendapatkanku karena kejadian menjijikkan malam itu, dan sekarang kamu pura-pura ingin mengakhiri pernikahan konyol ini?!"
Apa Erwin bilang, malam menjijikkan?
Padahal dia sendiri orang yang sangat menikmati malam itu, dia mungkin tidak akan berhenti jika tidak karena kelelahan dan juga akibat pengaruh alkohol yang membuat kepalanya sedikit pusing.
Ellena tersenyum miris sebelum dia mengatakan, "Terserah kamu menganggapku seperti apa, tapi aku benar-benar ingin mengakhiri pernikahan ini sebelum kita melangkah terlalu jauh," ucapnya mantap.
Erwin yang marah mendengar perkataan Ellena tanpa aba-aba langsung mencekik leher Ellena, meski tidak terlalu kuat namun dapat membuat Ellena kesulitan bernapas.
"Sampai mana kamu ingin membuat reputasiku jatuh di mata Azkia, tidak cukupkah sampai semua kejadian bodoh itu, dan sekarang kamu ingin juga melihat Azkia kecewa karena aku melanggar perkataanku yang dianggapnya sebagai janji!!" Teriak Erwin marah di depan wajah Ellena, bahkan tangannya semakin mencekik leher Ellena lebih kuat.
Ada air mata yang jatuh menetes di pipi Ellena, bukan karena rasa sakit di lehernya, namun hatinya sangat sakit mendengar nama Azkia disebut, ternyata seperti ini rasanya mencintai orang yang membenci kita, dan parahnya dia hanya memikirkan perasaan orang yang dicintainya, tidak peduli meskipun perkataannya sangat menyakiti orang yang kini telah sah menjadi istrinya.
Erwin melepas kasar tangannya dari leher Ellena, lalu dia memukul setir mobilnya dengan keras untuk melampiaskan rasa kesalnya, entah mengapa dia merasa kesal ketika Ellena tidak melawannya untuk mencoba melepaskan diri ketika Erwin mencekiknya.
Melihat Ellena yang hanya diam pasrah, dan hanya memberi sorotan mata terluka, bukannya membuat Erwin berempati tapi malah semakin benci. "Huh, pintar sekali wanita ini akting berpura-pura naif," gumam Erwin dalam hati.
"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu sebelum aku merasa puas untuk menyakitimu, jadi jangan pernah bermimpi bisa lepas dariku, karena inilah akibatnya bermain-main dengan orang sepertiku," ujar Erwin dingin.
Ellena yang mendengar perkataan Erwin hanya pasrah, mungkin ini memang sudah menjadi jalan hidupnya menderita di usia dewasa.
Air mata Ellena terus menggenang menemani perjalanannya, matanya menatap jalanan yang luas, namun pikirannya melayang merindukan kedua orang tuanya, mengapa takdir begitu kejam padanya?
***
Mobil telah sampai di rumah Erwin, setelah mereka berdua turun, ucapan selamat dari para pelayan dan pengawal yang tidak ikut di acara pernikahan menghujani mereka berdua di teras depan rumah Erwin.
Bukan ucapan terima kasih yang Erwin ucapkan, namun sebuah ancaman yang keluar dari mulutnya untuk membungkam mulut semua penghuni rumah ini.
"Jangan sampai berita pernikahanku bocor di telinga orang luar, meskipun orang markas tidak boleh ada yang tahu, jika sampai ada yang membocorkannya, tanganku sendirilah yang akan mencabut nyawa kalian." Peringat Erwin tidak main-main.
Semua kompak merinding namun harus menjawab, "Baik, Tuan."
Setelah itu Erwin dan Ellena akan masuk ke dalam rumah, namun tiba-tiba saja langkah Erwin berhenti dan mengatakan, "Meski status dia seorang istri, tapi derajatnya sama dengan kalian, hanya seorang pelayan, dan setiap ada orang yang bertanya statusnya maka jawab saja hanya seorang pelayan."
Erwin menuding wajah Ellena dengan telunjuk tangan kirinya, dan dia menekankan setiap kata pelayan yang keluar dari mulutnya.
Ellena yang mendengar perkataan Erwin dengan jelas hanya menundukkan wajahnya, apakah begitu rendahnya dia menjadi seorang istri Erwin Ghrisam ...
***
Bersambung
Ini bukan pertama kalinya bagi Ellena menginjakkan kakinya di rumah Erwin, namun entah mengapa hari ini Ellena merasa suasana rumah ini terasa lebih mencekam.Pajangan kepala hewan buas yang sengaja diawetkan dalam wadah terbuat dari kaca, entah mengapa terasa seperti hidup, seolah seperti sedang mengintimidasi Ellena dengan sorot mata tajam yang siap menerkamnya.Di tengah rasa takutnya Ellena sampai tidak sadar jika Erwin memberhentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga, hingga tanpa sengaja Ellena menubruk punggung Erwin."Huh, kebohongan apa lagi yang akan kamu ucapkan sebagai alasan menabrakku," sarkas Erwin dengan nada dingin."Hah, a-aku-"Ellena belum selesai berbicara, namun sudah dipotong Erwin terlebih dahulu."Stop! Aku malas mendengar suaramu!" Tukas Erwin, membuat Ellena semakin gemetar ketakutan, seolah baru saja disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang di depannya inilah yang lebih menyeramkan dari hewan paling buas sekalip
Sambil menghabiskan makanannya, Erwin memikirkan cara bagaimana membuat Ellena menderita, mungkin selain mengacuhkannya Erwin juga benar-benar akan menjadikan Ellena pelayannya.Menjadikan Ellena pelayan mungkin sudah menyiksanya, mengingat Ellena yang berasal dari keluarga kaya, dia pasti tidak pernah melakukan pekerjaan rumah."Setelah dia selesai makan, suruh dia menemui ku di ruang kerjaku," ujar Erwin kepada bik Ema yang masih setia berdiri di belakangnya."Baik Tuan Muda," jawab bik Ema yang langsung melaksanakan perintah tuan mudanya.Sedangkan Erwin bergumam, "Sial, jika tidak mengingat Azkia, aku tidak harus menjaga tanganku agar tidak melakukan kekerasan kepada wanita bermuka dua itu."***Di dapur."Nona," sapa bik Ema sopan."Iya, ada apa Bik?" Tanya Ellena yang baru saja selesai makan."Tuan Erwin meminta anda untuk menemuinya di ruang kerjanya.""Oh, baiklah Bik, aku akan segera kesana.""Biar
Pagi ini Ellena bangun pagi sekali seperti para pelayan lain, tugas pertama yang akan dia lakukan adalah memasak. Mulai hari ini tidak ada pelayan yang ditugaskan memasak, tiga orang pelayan yang biasa memasak kini telah dipindahkan ke markas."Bik, memang kemana pelayan yang biasanya memasak?" Tanya Ellena kepada Bik Ema."Mereka sudah dipindah tugaskan ke markas, di sana memang sebelumnya tidak ada yang memasak, jadi tuan menyuruh mereka ke sana," jelas bik Ema."Bik sampai sekarang aku belum banyak tahu tentang tuan Erwin, banyak yang menyebutkan markas, memang itu markas apa? Dan apakah itu juga markasnya tuan Deffin?""Selain menjadi pelayan, tuan juga seorang mafia, Nona. Mereka dulunya juga orang-orang kakeknya tuan Deffin, semenjak kakek tuan Deffin meninggal, tuan Erwin lah yang memimpin Black World, karena tuan Deffin tidak ingin mengurusnya."Ellena terkejut mendengar fakta ini. "Pantas saja dia menyeramkan, Tuhan ... Kenapa aku bisa menyukai
Setelah selesai membantu Erwin memakaikan pakaian, Ellena langsung membungkukkan badan untuk undur diri, dia ingin menyembunyikan pipinya yang memerah karena melihat tubuh Erwin.Ellena tidak sadar jika dia meninggalkan Erwin yang sedang tersenyum sinis melihat kelakuannya. "Benar-benar wanita bermuka dua," ejek Erwin.Setelah itu Erwin keluar dari kamarnya, langkah kakinya membawanya menuju ruang makan, Erwin berniat mengisi perutnya sebelum pergi ke markas, mulai sekarang dia bukan lagi seorang kepala pelayan di rumah Deffin.Deffin kemarin telah menyuruhnya untuk berhenti, karena Erwin sekarang sudah berkeluarga, Deffin ingin Erwin fokus kepada bisnisnya sendiri, Deffin juga meminta Erwin keluar dari dunia mafia, Deffin ingin jika kehidupan Erwin bisa seperti sekretarisnya, yaitu Roy yang sudah hidup bahagia bersama Elma.Untuk itu Erwin ingin pergi ke markas untuk menyerahkan kedudukannya kepada
Erwin sudah sampai di markas Black World, seperti biasa bawahannya akan berbaris rapi menyambut kedatangannya."Selamat siang, Tuan." Sapa James dan Rose kompak, ketika Erwin melewati mereka berdua."Kumpulkan semua orang di aula, ada yang ingin aku umumkan kepada kalian semua," ujar Erwin setelah menganggukkan kepalanya membalas sapaan tangan kanannya."Baik."Setelah itu semua orang berkumpul, mereka semua sedang menerka apakah ada misi besar yang harus dikerjakan hingga tuan mereka mengumpulkan mereka semua."Terima kasih atas kesetiaan kalian selama ini, kedepannya tingkatkan kinerja kalian, aku minta kedepannya kalian tetap melindungi keluarga Wirata Group meski aku bukan pemimpin kalian lagi," ujar Erwin yang memberikan pengumuman yang mencengangkan bagi setiap orang."Tuan," ujar Rose yang tidak bisa menahan rasa terkejutnya."Aku akan menyerahk
Tepat tengah malam Ellena merasakan tenggorokannya kering, dengan malas Ellena bangun, dan sialnya botol minum yang berada di atas nakas telah kosong.Mulutnya tidak berhenti menguap sedari tadi, namun Ellena harus tetap bangun untuk melepas dahaganya, dengan malas dia melangkahkan kakinya menuju pintu berwarna putih itu, setelah membuka pintu Ellena tidak langsung keluar, dia sedikit melongok kan kepalanya untuk melihat situasi di luar.Ellena sangat malas bertemu Erwin, untuk itu dia berusaha menghindari pertemuan itu, merasa tidak ada tanda-tanda orang yang masih terjaga dari tidur, Ellena mengira Erwin juga sudah tertidur, hingga akhirnya dia bisa keluar kamar dengan tenang.Ellena tersenyum masam jika mengingat kejadian tadi sore, bagaimana Erwin sangat menyebalkan baginya...Flashback"Dasar lelet! mengepel satu ruangan saja lama," ejek Erwin.
Erwin terkesiap ketika mendengar suara Ellena yang memanggilnya."Apakah Tuan baik-baik saja?" Tanya Ellena sedikit khawatir. Pasalnya Erwin sama sekali tidak mendengar panggilan Ellena, baru panggilan keempat Erwin mendapatkan kesadarannya. Apa kira-kira yang dipikirkan suaminya."Memangnya kenapa," sahut Erwin acuh tak acuh."Tuan tidak mendengar pertanyaan saya," jawab Ellena ragu."Memang apa yang kamu tanyakan?!" Tanya Erwin datar."Apakah kita berangkat ke restoran bersama, atau saya berangkat sendiri?" Tanya Ellena pelan, dia takut Erwin marah mendengar pertanyaan seolah dia berharap ingin berangkat bersama."Dasar bodoh! Memangnya kamu tahu restoranku, hingga kamu bertanya ingin berangkat sendiri," ujar Erwin sinis."Maaf, tidak Tuan. Maaf jika saya salah bertanya."Bagus kamu menyadari kebodohanmu, aku heran kenapa bisa aku dipertemukan dengan orang sepertimu." Setelah puas meluapkan rasa kesalnya, Erwin berlalu mening
Setelah sampai di rumah, Ellena langsung turun dari mobil, dengan lesu dia melangkahkan kakinya menuju rumah, namun saat di teras depan langkahnya dihentikan oleh Ema."Nona, Anda sudah pulang?""Eh, iya Bik, tuan Erwin memintaku pulang," sahut Ellena lemah."Memangnya kenapa?""Aku juga tidak tahu Bik, dia tiba-tiba marah dan menyuruhku pulang.""Mungkinkah Nona melakukan sesuatu yang dibenci tuan?""Aku tidak melakukan apapun, cuma tadi dia bilang aku menggoda koki lelaki yang lain, padahal kita hanya mengobrol sedikit sebagai tanda perkenalan."Ema yang mendengar perkataan Ellena sedikit tersenyum, dan itu membuat Ellena penasaran."Kenapa Bik Ema tersenyum?" Tanya Ellena polos."Tidak apa-apa Nona, tapi sepertinya ke depannya Nona harus menjaga jarak dari lelaki lain," jawab Ema lugas."Hah?!" Ellena bingung, namun dia tidak mau mempermasalahkan hal i