Raska membuka mata dan memindai sejenak sekitar, baru ingat kalau tadi sakitnya terasa. Kemudian berlaih ke jam dinding, ternyata Raska melewatkan pelajaran di jam pertama. Beberapa menit lagi, akan masuk jam kedua. Terdiam sejenak di tepi brankar, sembari mengambil kacamata bulat yang tergeletak di nakas dan memakainya.
Raska menghela napas sejenak, kemudian mulai melangkah. Ya, sudah lumayan hilang. Meskipun, masih agak lemas. Tidak disangka, keluar dari UKS bertepatan dengan guru kelas mata pelajaran keduanya melintas.
“Sakit?” Pak Toni, tidak menyangka akan bertemu satu murid dari kelas yang akan diajarnya.
Raska berdeham sejenak. “Ya, tapi sudah enakkan.”
Pak Toni terdiam, sembari menatap intens Raska. Memang sudah terlihat baik, tetapi masih agak pucat. Mendadak ragu membiarkan Raska kembali ke kelas, tetapi sebelum mengatakan keringanannya agar Raska istirahat saja di UKS. Raska lebih dulu pergi, tepatnya ke toilet untuk membasuh wajah
Avina melangkah dalam diam, sesekali memandangi Raska berjalan di hadapannya. Setelah pulang dari rumah sakit, kembali bimbang. Meskipun, tadi sudah menetapkan keputusan terakhir. Dengan menerima tawaran Dehan, tetapi Raska juga masih tidak rela bila kehilangan adik pertama. Memang belum lama mengenal. Wajar bukan? Sulit untuk bagi Raska.Tanpa sadar, mereka berdua telah sampai. Tepatnya, Raska mengantar Avina sampai rumah. Kalau sebelumnya, memilih sampai depan perumahan atau depan rumah lain yang kebetulan hanya beberapa jarak dari rumah Avina. Saat itu, Raska masih enggan bertegur sapa dengan siapa pun.“Kau ikut denganku, pasti bisa memicu masalah ‘kan?” Raska baru ingat.Avina mengangguk. “Ya, kau tidak mengajak juga tetep aja.” Yakin sekali, karena ada pemicu lain. “Kau masih bimbang?”Raska hanya mendengkus kemudian melangkah pergi, seketika terhenti saat Avina bertanya hal yang saat ini malas untuk dipikir
Raska masih berada di rumah mewah—rumah asli, bukan berarti benar-benar akan menetap bersama lagi. Sebenarnya, pagi buta tadi ingin kembali ke kos. Namun, terpaksa diurungkan karena mereka—terutama Ariska menahannya. Juga, memaksa untuk pulang.Pada akhirnya menerima, tetapi kali ini yang mengusik pikirannya—hal lain. Bukan mengusik, tepatnya aneh karena sudah lama tidak pernah dialami. Ya, Raska tiba di sekolah bersama dengan Reza. Alasannya, Dafian mengantar.Dalam perjalanan tadi, Raska masih canggung dalam merespon pertanyaan. Juga, agak sebal karena membicarakan hal itu lagi.“Aku hanya penasaran. Nggak boleh kah?” Reza senang karena Raska tidak benci atau apapun dengan kelakuannya, yang mau mengikuti rencana David. Di satu sisi, Reza juga ingin akur sebagai saudara—angkat terasa kandung. Bukan merebut posisi lagi, melainkan menumbuhkan ikatan persaudaraan.Raska mendengkus, dan melirik bosan. “Masih belum je
Raska berdecih, lagi-lagi naluri anak kembali menguasainya. Terbukti, niat awal pulang ke kos-kosan malah ke rumah sebenarnya. Pada akhirnya, masuk karena sudah lelah untuk berkeliaran di luar atau sekadar mewujudkan niatnya kembali ke kos. Kini melangkah gontai menuju kamar. Raska tidak menyangka, kamarnya masih sama seperti dulu—sebelum memutuskan kabur. Hampir mengira kamarnya akan menjadi gudang yang tidak terawat.“Kau sama sekali nggak mau tinggal di sini kah?” Dafian yang akhir-akhir ini memiliki waktu luang. Lebih lagi melihat Raska kembali, langsung dimanfaatkan untuk memperbaiki hubungan ayah dan anak. Meski tahu, masih sulit bagi Raska.“Entahlah.” Raska benar-benar bingung, sembari melangkah dan merebahkan diri di ranjang. Lagi-lagi, lelah dan sakit. Padahal, tidak melakukan hal berat. Raska benci dalam kondisi seperti ini.Dafian hanya bisa pasrah, melirik Raska yang terpejam dan berusaha tenang. Tahu, pasti terasa lagi
Raska melangkah pergi, tidak menyangka benar-benar terjadi. Berhasil menyelamatkan, tidak dengan batin. Avina kacau dan menyedihkan sekali, terlebih lagi mengalami syok berat dan membuatnya—bisu. Takut pada siapa pun yang mendekati, terutama laki-laki.Tanpa mempedulikan orang sekitar, Raska mendudukkan diri di pinggir jalan. Napasnya kembali tersendat, akibat kalap tadi. Manik hitamnya terpaku pada telapak tangan, baru sadar ada lumuran darah.Tadi itu, ada satu warga yang melihat kejadian—tanpa pikir panjang menghubungi polisi dan Raska ikutan terseret untuk interogasi. Raska baru ingat, kalap menyerang segerombolan lelaki yang disuruh Almeira untuk melakukan hal tidak senonoh pada Avina, hampir meregang nyawa.“Tau, yang kulakukan amat berlebihan. Kalo nggak seperti itu pasti akan terlambat. Lagi pula, mereka tidak tewas.”Raska yakin mereka dengan cepat dibawa ke rumah sakit, sebelum ditangkap. Memang berimbas padanya juga, ter
Raska melepas perlahan pelukan Avina, lega karena tidak membuatnya terbangun. Kini duduk terdiam di tepi ranjang, sesekali menarik napas dan membuang perlahan. Ya, nyeri kembali terasa. Pada akhirnya, Raska kembali meminum obat yang ditebus meski—sudah terlambat. Setidaknya, bisa menghilangkan nyeri.“Persis orang penyakitan!” desis Raska, kesal karena hal seperti ini menimpa padanya.Tangannya meraih tas, mengeluarkan obat sekaligus sebotol air mineral. Seketika lega, tepat setelah menelan beberapa butir obat dan menenggak air mineral—beruntung sudah dimasukan kembali ke dalam tas. Pintu kamar Avina terbuka, ternyata—Avera.“Kenapa?” Avera kembali terusik dengan gelagat Raska, seperti panik akan sesuatu.Raska menghela napas sejenak. “Tidak apa.”Avera hanya berdeham, tetapi semakin menatap curiga. Setelahnya, menepis dan beralih melihat Avina. Avera berpikir, Raska gagal karena sempat berjaga
Avina terus menatap ke arah Raska, kembali terbaring di brankar. Kondisinya mendadak kritis. Kata dokter, efek Raska tidak meminum obat secara teratur, membuat keadaannya semakin memburuk.“Avina.”Yang dipanggil menoleh singkat, ternyata Risky yang memanggil. Namun, saat mendekat Avina langsung memberi jarak. Meskipun sudah berusaha membiasakan diri, dan menganggap kalau mereka semua tidak bermaksud jahat. Masih sulit bagi Avina untuk menganggapinya dengan santai.Risky paham kalau Avina masih dilanda trauma, meski tidak separah saat kejadian itu menimpanya. “Lebih baik pulang, kabar kondisi Raska akan dikasih tau oleh Reza.”Avina terdiam mendengarnya, kemudian mencoba tenang. Karena teringat harus memberitahu mengenai keluarga angkat. Saat diajak bertemu dengan Dehan, dan Raska membiarkannnya berbincang berdua. Dehan mengatakan padanya, untuk menjelaskan soal keluarga angkat dan keputusan Dehan, terhadap keluarga Raska.N
Raska terpaku di tempat menatap adik angkatnya, yang membuat heran adalah gelagatnya. Seakan Dehan tidak memiliki rasa takut sedikit pun, setelah memutuskan untuk lenyap dan membiarkan orang lain meneruskan hidup. Wajahnya berseri, amat tenang dan tidak pucat seperti biasa.“Begini enakkan? Sama-sama tidak merasakan sakit lagi.” Dehan mulai menyahut, dan berjalan-jalan santai. Benar-benar menikmati ketenangan, mengingat selama ini selalu dihantui rasa sakit dan ketakutan yang teramat besar. Tetapi sekarang, sudah tidak dan itu membuat Dehan lega. “Kakak jangan merasa bersalah terus loh!”Raska hanya bergeming, yang pasti terus berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan raut wajah sedih—kehilangan. Melihat Dehan semakin ceria, Raska tidak mau melenyapkan keceriaannya itu.“Semuanya udah berakhir bukan? Keinginanku terwujud, begitu juga dengan kakak masalah telah usai. komplit ‘kan?”Raska mendengkus, De
Raska terlihat berada di restoran milik Andreas, memang bukan jadwal part time. Melainkan, bila mengerjakan tugas atau apapun selalu di sana. Tepatnya sih, iseng menemui teman dadakan—satu pekerjaan. Sepertinya, Raska mulai menganggap Zian teman akrab—habisnya dulu kelakuan menyebalkan dan sering kali mencerocos. Justru membuat Raska, melupakan masalah.Memang cerewet sekali.“Jadi, kau udah nggak phobia lagi kah?” Kebetulan belum banyak pengunjung, Zian sibuk kerja masih aja mengganggu Raska. Bahkan, menyipitkan mata sembari menunggu jawaban dari Raska.Raska mengerutkan kening. “Phobia apa? Aku tidak merasa memiliki phobia apapun.” Satu tangannya tergerak cepat untuk menonaktifkan laptop dan bersedekap dada. Bahkan, semakin bingung dengan pertanyaan Zian—menurutnya aneh.Zian mencebik kesal. “Nggak inget kah? Gelagatmu dulu kaya phobia, bila dideketin kabur!”“Oh.” Raska m