Raska melepas perlahan pelukan Avina, lega karena tidak membuatnya terbangun. Kini duduk terdiam di tepi ranjang, sesekali menarik napas dan membuang perlahan. Ya, nyeri kembali terasa. Pada akhirnya, Raska kembali meminum obat yang ditebus meski—sudah terlambat. Setidaknya, bisa menghilangkan nyeri.
“Persis orang penyakitan!” desis Raska, kesal karena hal seperti ini menimpa padanya.
Tangannya meraih tas, mengeluarkan obat sekaligus sebotol air mineral. Seketika lega, tepat setelah menelan beberapa butir obat dan menenggak air mineral—beruntung sudah dimasukan kembali ke dalam tas. Pintu kamar Avina terbuka, ternyata—Avera.
“Kenapa?” Avera kembali terusik dengan gelagat Raska, seperti panik akan sesuatu.
Raska menghela napas sejenak. “Tidak apa.”
Avera hanya berdeham, tetapi semakin menatap curiga. Setelahnya, menepis dan beralih melihat Avina. Avera berpikir, Raska gagal karena sempat berjaga
Avina terus menatap ke arah Raska, kembali terbaring di brankar. Kondisinya mendadak kritis. Kata dokter, efek Raska tidak meminum obat secara teratur, membuat keadaannya semakin memburuk.“Avina.”Yang dipanggil menoleh singkat, ternyata Risky yang memanggil. Namun, saat mendekat Avina langsung memberi jarak. Meskipun sudah berusaha membiasakan diri, dan menganggap kalau mereka semua tidak bermaksud jahat. Masih sulit bagi Avina untuk menganggapinya dengan santai.Risky paham kalau Avina masih dilanda trauma, meski tidak separah saat kejadian itu menimpanya. “Lebih baik pulang, kabar kondisi Raska akan dikasih tau oleh Reza.”Avina terdiam mendengarnya, kemudian mencoba tenang. Karena teringat harus memberitahu mengenai keluarga angkat. Saat diajak bertemu dengan Dehan, dan Raska membiarkannnya berbincang berdua. Dehan mengatakan padanya, untuk menjelaskan soal keluarga angkat dan keputusan Dehan, terhadap keluarga Raska.N
Raska terpaku di tempat menatap adik angkatnya, yang membuat heran adalah gelagatnya. Seakan Dehan tidak memiliki rasa takut sedikit pun, setelah memutuskan untuk lenyap dan membiarkan orang lain meneruskan hidup. Wajahnya berseri, amat tenang dan tidak pucat seperti biasa.“Begini enakkan? Sama-sama tidak merasakan sakit lagi.” Dehan mulai menyahut, dan berjalan-jalan santai. Benar-benar menikmati ketenangan, mengingat selama ini selalu dihantui rasa sakit dan ketakutan yang teramat besar. Tetapi sekarang, sudah tidak dan itu membuat Dehan lega. “Kakak jangan merasa bersalah terus loh!”Raska hanya bergeming, yang pasti terus berusaha menahan diri untuk tidak memperlihatkan raut wajah sedih—kehilangan. Melihat Dehan semakin ceria, Raska tidak mau melenyapkan keceriaannya itu.“Semuanya udah berakhir bukan? Keinginanku terwujud, begitu juga dengan kakak masalah telah usai. komplit ‘kan?”Raska mendengkus, De
Raska terlihat berada di restoran milik Andreas, memang bukan jadwal part time. Melainkan, bila mengerjakan tugas atau apapun selalu di sana. Tepatnya sih, iseng menemui teman dadakan—satu pekerjaan. Sepertinya, Raska mulai menganggap Zian teman akrab—habisnya dulu kelakuan menyebalkan dan sering kali mencerocos. Justru membuat Raska, melupakan masalah.Memang cerewet sekali.“Jadi, kau udah nggak phobia lagi kah?” Kebetulan belum banyak pengunjung, Zian sibuk kerja masih aja mengganggu Raska. Bahkan, menyipitkan mata sembari menunggu jawaban dari Raska.Raska mengerutkan kening. “Phobia apa? Aku tidak merasa memiliki phobia apapun.” Satu tangannya tergerak cepat untuk menonaktifkan laptop dan bersedekap dada. Bahkan, semakin bingung dengan pertanyaan Zian—menurutnya aneh.Zian mencebik kesal. “Nggak inget kah? Gelagatmu dulu kaya phobia, bila dideketin kabur!”“Oh.” Raska m
Avina terlihat baru saja keluar dari kamar, kebetulan di hari libur kuliah dan Raska sedang tidak ada jadwal, makanya bisa bebas lagi. Tepatnya iseng jalan, ke manapun. Mendadak terhenti, dan mengintip dari balik tembok dari arah tangga menuju ruang tengah. Raska terlihat bersama Aldian.Bisa dibilang sih, Aldian berusaha membiasakan diri dengan pribadi Raska yang sulit didekati. Ditambah kejadian dulu yang menimpanya, membuat Raska pernah melampiaskan emosi pada Aldian. Efeknya terlihat sekarang, sulit akrab. Ah bukan! Tepatnya, Aldian sulit memulai pembicaraan dengan Raska.Raska sendiri, hanya melirik sejenak kemudian diam, diam, dan diam. Dari awal emang anti diajak berkumpul dan berbincang, makanya tidak peduli siapa pun yang mendekat. Raska tetap mengabaikan keberadaannya. Meski—yang mendekat adalah Aldian—ayah dari Avina.“Kau benar-benar pulih biasa ‘kan?” Aldian masih penasaran dengan kondisi Raska, bisa dibilang masih suka
Raska meregangkan ototnya sejenak, sembari menatap dirinya di pantulan cermin. Hingga terpaku sejenak, pada bekas operasi. Kepergian adik pertama—sekaligus kesembuhannya, sudah bisa diperkiraakan memasuki setahun.“Kalo kau ada, pastinya akan menjadi tempat curhat lagi.” Apapun masalah yang dihadapi Raska, pasti selalu menemui Dehan dan orang tuanya untuk mencari titik pencerahan—alias curhat. Meski yang lebih sering itu—Dehan.Raska sadar, berbicara atau mengeluh tidak akan mengubah atau mengembalikan Dehan. Menoleh sejenak, saat pintu kamarnya terbuka. Baru ingat, Avina masih di sini. Kemudian melirik jam dinding, ternyata sudah hampir malam.“Kenapa lagi?”Yang ditanya hanya menggeleng, sembari memakai kaus oblong hitam dan jaket dengan warna senada yang tergeletak di ranjang.Avina semakin penasaran, lebih lagi raut wajah Raska terlihat—antara kacau lagi atau pusing akan sesuatu. “Beneran?&r
Meski sudah tidak ngambek, tetap saja Avina masih sebal. Buktinya, mendadak tidak bersedekatan dengan Raska. Memilih enggan mempedulikan, tetapi juga tidak mau kalau Raska pergi—pulang."Ngambek lagi kah?" Raska asik dengan game di ponselnya sembari duduk di lantai, menyandarkan punggung tegapnya pada ranjang Avina.Avina sendiri masih berbaring memunggungi Raska. Terus diam, dan enggan menoleh. Hingga akhirnya, menoleh dan benar-benar berbalik—lebih mendekat pada Raska.Satu tangannya terulur, mulai menyentuh surai Raska—sesekali menepuk dan mengelusnya, dan berakhir merembet ke leher—melingkarinya.Raska sempat mengernyit dan terganggu, tetapi mulai membiarkan. Namun, tetap saja napas hangat terasa di tengkuk. Ya, meski tidak menoleh Raska yakin. Avina dekat sekali dengan tengkuk lehernya."Apa sih?" Raska mendadak sebal, merasa Avina sengaja memancingnya
Avina masih berbaring menyamping, satu tangannya terus terulur untuk memgelus sesekali menyisir surai Raska. Yang kembali terlelap dalam posisi telungkup.Terus menatap lekat, bahkan sudut bibirnya terangkat, setelah melihat Raska tenang. Meski begitu, berharap benar-benar bisa melenyapkam tremor—trauma. Ya, Avina tidak suka melihat Raska kacau lagi.Seketika terusik, saat Raska berganti posisi menyamping dan meringkuk ke arahnya. Lambat laun, kelopak matanya terbuka, memperlihatkan manik hitam yang sudah menyorot seperti biasa—datar, didominasi kemalasan."Sudah sore, aku pulang ya? Oh iya, besok kuliah?" Avina sengaja bertanya, setidaknya bisa lebih awal tahu dan meminta izin besok.Raska masih belum menjawab, kini duduk termenung di tepi ranjang. Sesekali mengusap kasar wajah. "Kuliah, sehari nggak masuk sudah cukup kok."Avina lega mendengarnya, kembali menyisir surai Raska
Raska terdiam sejenak dalam mobil, tepatnya memikirkan soal trauma mendadak. Ah iya, Raska ingin semua itu lenyap.Meskipun sudah tidak pingsan mendadak, tetap saja suka gemetar dan sulit berkata—intinya bersikap biasa berhadapan dengan David."Betah banget di garasi?"Raska melirik, kebetulan kaca mobil masih terbuka. Yang berceletuk tadi Risky, terlihat berpakaian rapi. Entah akan pergi ke mana, yang jelas Raska malas bertanya."Iseng."Risky mengerutkan kening. "Isengmu aneh." Kemudian membuka pintu mobil dan menarik Raska keluar, habisnya kalau tidak tetap diam.Raska baru sadar, mobil yang dipakai milik Risky."Tenangkan diri dan lawan rasa takutmu. Tapi, jangan berlebihan dan dipaksa. Intinya perlahan." Setelah berkata begitu, Risky pergi.Raska mendengkus kesal, sembari melangkah masuk. Melemparkan diri ke sofa, mendadak pusin