"Jika surat kematian Denis itu palsu, kita berdua perlu bicara! Kami mendapatkan laporan khusus, bahwa sebelum Denis meninggal, dia bertemu seorang wanita," kata Pak Toni.Aku terdiam."Katanya, di jari manis wanita ini ada perban lukanya," imbuhnya.Aku masih terdiam, namun pikiranku langsung tertuju pada seseorang. Aku merasa apa yang dipikirkan Pak Toni juga sama.Aku mengangguk, "baiklah.. kalau begitu saya pamit pulang dulu!" Kedua detektif itu tidak menghiraukanku lagi. Mereka berdua hanya menatap kepergianku sampai aku canggung dan tersandung sebelah kakiku sendiri.*** Sampai di rumah, aku segera memasukkan mobil ke bagasi yang tadi hanya terparkir di depan rumah. Aku sangat mengkhawatirkan uang itu dari pada istriku.Saat tiba di garasi, aku langsung membuka bagasi mobil memeriksa keadaan uangnya. Ternyata masih aman. Ku keluarkan satu persatu untuk membawanya ke tempat aman.Tiba-tiba Jessica datang memeluk salah satu tas uang yang sudah ku keluarkan."Kamu sungguh hebat,
"Kenapa semuanya berubah drastis.. kamu juga.." Elena kembali bingung sambil menatapku kikuk."Kamu sungguh tidak ingat? Masalah pernikahan kita juga?" selidikku."Tentu aku ingat, kita sudah menikah. Sekarang kita adalah pasangan suami istri. Sebentar lagi pernikahan kita memasuki satu tahun, kan?" Aku mendekati Elena, "kita sudah enam tahun menikah!" ucapku dengan suara pelan sedikit berbisik.Elena mengangah, dia tempak sangat terkejut. Lalu memegang kepalanya sambil memekik kesakitan."Aww.. aku seperti hampir gila. Bagaimana bisa kamu bilang kita sudah menikah enam tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku memutar bola mata, jengah dengan sandiwaranya."Tunggu, aku ingat masih awal pernikahan. Kamu berkata... ah, bagaimana hal ini bisa terjadi.." Elena terus meracau tak jelas.Sreekkk..Tiba-tiba pintu ruangan dibuka. Sheza menyembulkan kepalanya sambil tersenyum manis."Tante Elenaaaa...!" Sheza berlari sambil merentangkan tangannya.Aku segera neyambutnya dengan tangan terbuka
"Jessica? Ya ampun. Sini masuk, kenapa berdiri disitu?" Elena mempersilahkan, memecah keheningan.Wanita berbaju coklat itu masuk dengan senyum sopan sambil membawa buket bunga. Berjalan menghampiri Elena, lantas memberikan buket itu."Aduh.. terima kasih ya," ucap Elena sambil mencium buket, hadiah dari Jessica yanh sudah berada di tangannya sekarang.Kekasihku itu melirik ke arahku dengan tatapan heran dan bingung."Sepertinya kamu tidak ingat dia," ujar wanita tetangga yang aku pernah mendengar namanya dari Elena, yaitu Melisa."Ah, itu... bukan berarti aku tidak mengingat masalah beberapa tahun lalu, tapi.. aku masih mengingatmu, kok!" Elena berujar tidak jelas, aku tidak bisa memahami perkataannya. Dia menatap Jessica sambil tersenyum.Kembali Jessica melirikku, dia memijit dahinya seolah meminta jawaban. Jangankan dia, aku sendiri pun masih bingung dan ragu dengan kondisi Elena saat ini."Bunga ini wangi sekali.. terima kasih, ya!" Elena berujar sambil terus menciumi buket bung
Keesokan harinya, Elena sudah diperbolehkan pulang. Saat kami sedang bersiap, dokter masuk ke ruangan untuk memberikan sedikit nasihat pada Elena."Untuk mengembalikan ingatan, stabilitas emosional sangatlah penting. Tetap di rumah akan membantumu untuk hal itu," ucap sang dokter."Baiklah," jawab Elena."Terima kasih," sahutku.Sejurus kemudian, sang dokter pamit undur diri.Elena manarik napas kasar. Dia mengotak atik ponselnya sedari tadi. Wajahnya cemberut. Dia tampak sangat gelisah. Berkali-kali seperti menelepon seseorang namun selalu kecewa yang didapatkan.Sementara aku masih sibuk mengemas barang-barang untuk dibawa pulang."Hmmm.. kenapa gak diangkat-angkat," gumamnya mengeluh."Siapa?" tanyaku."Mama dan Papaku..." Elena berujar lirih.Aku mengernyit sejenak sembari menghentikan kegiatanku mengemas barang."Bagaimana bisa mereka tidak datang menjengukku saat putri semata wayangnya sakit," ucap Elena, mengeluh dan kesal.Aku masih terdiam, bingung ingin mengucapkan apa dan b
Pagi harinya, aku bangun lebih dulu. Memasak untuknya. Istriku itu benar-benar sudah berubah, dia bangun kesiangan bahkan sesuka hatinya. Biasanya sikat gigi di wastafel, membuang air bekas kumur terlalu menunduk supaya airnya tidak berserakan. Tapi kali ini, dia meludah sembarangan, meletakkan sikat gigi berserakan tidak rapi dan teratur seperti biasanya.Entah aku harus senang atau waspada. Bisa saja dia hanya menjalani trik sandiwara baru untuk mengelabuiku.Saat sedang sibuk memasak di dapur, Elena turun dan menghampiriku."Wuaahh.. chef Bastian! Bukannya kamu bilang sudah lama tidak memasak?" Elena bertanya sambil menyandarkan kedua tangannya di atas meja makan, memperhatikanku dari sana sambil mengedipkan mata, menggodaku."Bagaimana bisa aku berhenti memasak untukmu, sayang.." ujarku menggombalinya."Adduuhh.. kelihatannya enak bangett.. jadi gak sabar mau makan masakan Chef Bastian yang terkenal sejagat raya ini.." Elena kembali menggodaku, dia berlari menghampiriku lalu memel
Sejak saat itu, Elena menghindariku. Dia juga tidak pernah lagi datang ke lembaga pelatihan meracik kopi. Hari itu, saat dia selesai menjadi juri perasa hasil racikan kopi, lebih tepatnya dia datang sebagai penikmat, Aku mengejarnya sampai ke lift dan dia sama sekali tidak melirikku, pintu lift tertutup, aku kehilangan cahaya hatiku. Hatiku terus merindukannya. Tapi, tidak tahu sejak kapan semua orang harus menunjukkan rasa cinta dalam pernikahan, sama sepertiku dan Elena sebagai pasangan suami istri. Aku tersadar dari lamunanku tentang pertemuan pertamaku dengan Elena. Ku pandang wajah cantik istriku yang sedang terpejam lelap dalam tidurnya. *** Hari ini aku tetap pergi bekerja seperti biasanya. Sebelum itu, aku menghidangkan makanan diatas meja agar Elena bisa menyantapnya setelah dia bangun. Semua berjalan seperti biasanya. Jessica juga tak banyak bicara. Kami lebih banyak diam dan cuek.Malam harinya, aku pulang lebih cepat. Setelah menyangrai kopi, aku tidak kemana-mana la
"Apa aku harus pindah tidur disebelahmu?" ucapnya genit."Apa?" Aku terkejut, lantas membalikkan badan."Aku harus tidur disini, Mas.. disana bocor!" Elena langsung berbaring disebelahku lalu menarik selimut sehingga kami satu selimut berdua. Ranjang ini juga lumayan sempit karena ukurannya yang hanya empat kaki. Pas-pasan sekali untuk saling berbaring tanpa bisa berguling ke kanan atau ke kiri."Bocor apanya?" Aku masih setengah duduk melihat tingkah istriku.Dia tidak menggubris, matanya langsung terpejam."Aku harus tidur seperti ini, agar lebih nyaman..." Elena terus bergerak lalu memelukku, dia menjadikan lenganku sebagai bantalnya."Tapi ini single bed," ucapku."Bahkan lebih luas dari yang ku kira," sahutnya sambil terpejam dan terus memelukku erat.Aku hanya bisa terdiam. Sama sekali tak berkutik. Kupandangai wajah Elena.Katanya cinta membutakan orang, apakah pernikahan ini membuat matanya terbuka lagi? Apakah ini arti dari pernikahan? Seharusnya aku mempercayaimu, Elena.Ti
"Ini kan anggur merah yang kita minum saat kamu melamarku, dan membuat janji dengan setetes dari anggurnya, iya kan?" Elena tertawa kecil, mungkin merasa bangga telah menemukan benda yang dia anggap harta karun ini.Seketika tubuhku yang tadi menegang menjadi lemas, lega. Aku pun ikut tersenyum kecut. Syukurlah, berarti dia memang tidak mengingat hal lain selain itu. Dan memang ingatannya hanya saat setahun menikah saja."Ayo kita minum sekarang..." ucapku pelan, dengan seringaian yang terbut dari bibirku.Elena mengangguk senang. Padahal aku berniat untuk melenyapkannya dengan anggur ini.Kami kembali ke meja makan. Kubuka tutup botol anggur itu dengan perasaan kalut. Antara ingin melenyapkan Elena atau melindunginya.Namun tetap kutuangkan anggur itu ke dua gelas. Tentu aku akan pura-pura ikut meminumnya."Kamu ingat, sampai mau memisahkan kita..." aku mengungkap kembali kata-kata saat Elena membuat janji dengan anggur ini, ketika kamj berkencan dan aku melamarnya saat itu."Cinta A