"Kalau tidak ingin menjawab, pulang saja!" Lagi-lagi aku seperti orang yang berbicara pada diri sendiri karena tak ada jawaban dari mulut mereka. "Kau hanya akan mengganggu kesehatan Ayahku."Aku menarik tangan Ayah, mencoba membantunya lebih cepat berdiri. "Kita masuk saja, Yah," ucapku mencoba untuk tak terpengaruh dengan kediaman mereka. Namun tanpa diduga, tangan besar itu menyentuh dan meraih pergelangan tanganku. Aku membalikkan badan, kudapati dia yang kembali menatapku dengan tatapan intens dengan matanya yang kini telah memerah. Bisa kuartikan kalau dia memintaku untuk tidak pergi dan tetap dalam posisiku semula. "Ada apa lagi?" Aku membiarkan tangan itu kembali menyentuh kulitku seperti waktu itu. Seperti saat kami masih berpacaran dan dia menggenggam erat tanganku sepanjang jalan."Aku tak menyalahkanmu untuk semua keputusan itu. Kau punya hak untuk memilih yang terbaik. Jika aku bukanlah hal terbaik dalam hidupmu, kau berhak untuk pergi. Jadi pergi saja. Jangan sampai k
Gemuruh di dada kian menyesak. Bak tersambar petir telinga ini begitu mendengar pengakuannya. Dengan kekuatan seperti apa yang dia bawa hingga sanggup bersikap jujur dan berterus terang kepada kami? "Kau... yang sudah membuat Ayahku menjadi seperti ini?" Air mataku mengalir deras begitu saja. Kubiarkan tanpa berniat menahannya. Beraninya dia kembali datang dalam kehidupan kami lagi setelah melarikan diri begitu saja. "Maafkan aku. Aku tak bisa lagi hidup dalam rasa bersalah seperti ini." Dia kembali berlutut sambil memegangi kedua bahuku yang kini masih bergetar. Ayah tak dapat lagi berkata apa-apa. Hanya bisa menangis menyaksikan aku yang kini tengah hancur. Ada rasa nyeri yang menusuk di dalam hati. Bayangan masa lalu saat Ayah terbaring lemah menutup mata kembali hadir di ingatan. Kaki dan kepala Ayah yang terbungkus kain perban membuat ngeri semua orang yang melihatnya. Kupikir Ayahku akan segera mati mengingat begitu lamanya dia tak sadarkan diri. Hanya mukjizat saja yang me
"Kau tidak berangkat kerja?" Kepala Paman muncul dari balik pintu kamar. Aku kembali menarik selimut sampai ke kepala tanpa menjawab pertanyaannya. "Kau baik-baik saja?" dia menarik selimut yang menutupi wajahku. "Menurut Paman aku baik-baik saja?" aku duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Kurasakan mataku memberat dan agak kabur. Mungkin membengkak akibat menangis semalaman. "Temuilah Ayahmu. Kau tahu dia lebih terluka ketimbang kau. Tadi malam Andar bilang ingin melamarmu, dan dia ingin merawat Ayahmu serta menanggung hidup kalian selamanya," terang Paman. Wajahnya terlihat kecewa. Aku memandang wajahnya yang masih penuh dengan memar itu. Dia sudah terlihat rapi menggunakan kemeja kantornya dan bersiap-siap untuk berangkat. "Paman sudah sarapan?" "Nanti saja. Kau jangan mencemaskan apapun tentang aku.""Apa Ayah berada di kamarnya? Dia menangis?""Dia hanya memikirkan perasaan kau saja. Bagaimana kini kau bisa hidup dan mencintai laki-laki yang seharusnya paling kau
Aku kembali bersandar di kursi kasir. Mengamati para pelanggan yang hilir mudik keluar masuk untuk makan atau hanya sekedar minum dan bersantai.Suasana kafe dengan nuansa berwarna oranye itu terlihat lenggang. Tak seramai saat sore atau malam hari. Hana baru saja tiba dan langsung berdiri memandangiku dengan perasaan iba. Dipandanginya wajahku lamat-lamat, kemudian menghela nafas. "Ikutlah ke ruanganku!" perintahnya. Tanpa membantah aku langsung mengekor dari belakang. Sama sekali tak ada niatan menggodanya seperti yang hari-hari biasa kulakukan. "Kau baik-baik saja?" gadis berkacamata tebal itu meletakkan tas dengan merek bergambar simbol dari 'lelaki mata keranjang' yang tadi di jinjingnya di atas meja. Posisinya yang masih berdiri di hadapanku itu dia gunakan untuk memandangi sorot mataku. Dia sepertinya mengerti betul perasaanku saat ini, begitu tau tentang kejadian malam itu melalui sambungan udara. "Entahlah, Han. Aku hanya memikirkan Ayah saja. Bagaimana dia bisa tenang m
Pemuda dengan dahi tertutup perban itu terus saja berjalan melewati meja demi meja yang biasanya dia singgahi. Aku membuang pandangan begitu dia sampai di depan meja kasir menatapku dengan tatapan sendu. Dan memang tempat inilah satu-satunya tujuannya. "Kau baik-baik saja?" suara itu seperti tanpa merasa berdosa berucap kepadaku. Aku hanya bergeming tak menjawab. "Bisakah kita bicara dengan tenang sekarang?" lagi, kata-kata itu terdengar seperti memaksa di telingaku. Aku bangkit dan berdiri, melangkah untuk menghindari pertemuan kali ini dengannya. Namun belum sempat aku menjauh, seperti sudah terbiasa dia langsung menarik paksa tanganku agar tak lagi meninggalkannya. "Jangan pergi!" pintanya. "Kau yang pergi! Aku tak sudi lagi melihat wajahmu!" aku mencoba menepiskan pegangan itu. Seperti sudah membaca reaksiku, diapun mempersiapkan diri menguatkan pegangannya. "Lepaskan!" aku mulai memberontak. "Aku tidak ingin lagi melepaskanmu," genggamannya semakin terus mengencang saat ak
"Wow. Adegan seperti apa ini? Kau sekarang punya pacar, Kak?" suara Dara membuatku dan Andar menoleh bersamaan. Gegas ku hempaskan genggamannya yang masih melekat saat dia mulai lengah. Kuusap pergelangan tanganku yang mulai memerah. Dia bahkan tak menyadari sudah menyakiti fisikku seperti ini. "Kau siapa?" wajah Andar terlihat tidak suka. "Aku adiknya. Apa kalian berpacaran? Dia bahkan tak mengenalkan kau padaku," sahut Dara sambil melengkungkan rambutnya ke dalam dengan telapak tangannya. "Aku juga tidak ingin mengenalmu," sikap Andar terlihat sinis. Ayah pasti telah bercerita sampai sedetil-detilnya tentang permasalahan keluarga kami hingga dia turut merasakan kebencian terhadap adikku. "Sombong sekali. Memangnya kau siapa? Berani berkata seperti itu.""Kau mau apa ke sini?" tanyaku menyela pembicaraan mereka."Berikan aku uang, Kak. Kau lihat wajahku sedang mengering." Dibukanya masker yang tadi menutupi separuh wajahnya. "Sudah sebulan lebih aku tak memakai perawatan," renge
"Untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Namun Kakakmu menolak. Kau bisa membujuknya? Gadis mata duitan sepertimu pasti akan melakukan berbagai cara jika aku memberimu upah, kan?"Apa? Apa yang sedang dibicarakannya? "Benar kau datang untuk bertanggung jawab? Kenapa Kak Sarah sampai menolak? Berapa yang kau tawarkan padanya?""Aku akan menikahinya, dan Ayahnya sudah setuju.""Bicara apa kalian? Kau bermaksud menyembunyikan semua ini pada aku dan Ibu, Kak? Kau ingin menikmati hidup enak hanya berdua dengan Ayah?" Dara balik menoleh ke arahku."Kau bicara apa? kau pikir aku mau?" aku mengelak. "Kau salah orang, Bung," lagi, Dara kembali menoleh ke arahnya. "Jika kau ingin bertanggung jawab, maka hanya kepadaku kau wajib melakukannya," Dara kembali mengoceh. "Kau harus mengganti semua yang telah hilang dari kami. Uang, rumah, mobil. Kembalikan itu semua baru kami akan memaafkanmu.""Dara!" bentakku. Gadis ini semakin tak punya harga diri saja. Dia hanya akan membuat Andar semakin meman
Aku berjalan gontai memasuki pagar rumah menuju halaman depan. Belum ada Ayah yang selalu setia menungguku pulang kerja setiap sore. Hana mengijinkanku pulang lebih awal agar bisa menenangkan diri. Aku berjalan pelan memasuki rumah dengan tembok cat berwarna putih bersih itu. Kutelusuri halaman yang beberapa bagian berpaving blok, sementara bagian yang lain masih ditumbuhi rumput jepang sebagai penghijau mata yang memandang. Ku ketuk pintu perlahan agar Ayah tahu aku pulang. Sengaja tak kugunakan kunci cadangan, karena pasti kunci depan masih menggantung dan tak bisa dibuka. Wajah Ayah heran melihatku pulang lebih cepat. Dia terlihat khawatir melihat mataku yang kini sembab. Tak dapat lagi kutahan rasa sesak ini. Segera kuterkam tubuh Ayah sesaat setelah pintu terbuka sebelum sempat masuk ke rumah. Ayah terdiam membelai lembut rambut lurusku yang kini terurai melewati pundak. Bahuku bergetar tanpa sanggup tuk berkata apa-apa. Ayah membiarkanku menangis tanpa bertanya. Mungkinpun A