Share

Bab 4

Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.

“Bukan.” Jawabnya tegas.

Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.

Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..

“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.

Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.

“Halte bus?”

Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.

“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.

Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di musim dingin begini tak ada satu orang pun penumpang yang menunggu bis manapun, kecuali para pengangguran.

Bus berwarna biru bertuliskan ‘jalan Springbrook’ itu pun berhenti di depan mereka, Jemima berdiri lalu menaiki kendaraan itu, diikuti pria di belakangnya. Mereka berdua duduk satu jajar, pria yang jarang bicara itu pun memilih menutupi kepalanya untuk kembali berpura-pura tidur.

Begitupun dengan Jemima, pikirannya saat ini sedang semrawut, hidupnya saja sudah kacau dan kini dia malah membawa pria asing pulang ke rumahnya. Tapi selagi dia berpikir negatif, gadis itu kembali sadar diri, kalau saja bukan karena gelandangan ini… mungkin dia sudah diculik dan dilecehkan oleh Ian bersama kedua temannya.

“Hey, ayo turun!” Ajak Jemima berseru sambil sedikit menarik pakaian pria penolongnya.

Pria yang memang berpura-pura tidur itu pun segera bangun, “sudah sampai?” tanyanya sambil celingak clinguk.

“Hump!” jawab Jemima terdengar malas.

Pria itu tampak mengikuti saja kemana arah gadis itu membawanya, lagipula saat ini dia tak memiliki uang sepeserpun jika melanjutkan rencananya.

Dari halte bus tempat keduanya berhenti, mereka masih harus berjalan melewati gang untuk menuju ke rumah si gadis, entah kenapa pria itu sangat penasaran tentang semiskin apa gadis yang sudah ditolongnya ini.

“Masih jauhkah?” tanya pria itu datar, berusaha memecah keheningan.

“Tidak, satu gang lagi.” Jawab Jemima sambil menunjuk ke arah yang dituju.

Beberapa lama kemudian mereka tiba di sebuah rumah susun, mereka masih harus berjalan menaiki banyak sekali anak tangga karena ternyata tempat tinggal gadis itu berada di lantai paling atas.

“Rumah yang sepi, lalu kenapa juga susah payah dengan tinggal di balkon atas?” tanya pria itu lirih, maksud hati berbicara dan bertanya pada dirinya sendiri.

“Hanya yang paling atas yang paling murah.” Jawab Jemima yang tak sengaja mendengarnya.

Pria itu terlihat terkejut dengan jawaban Jemima.

Jemima melirik sejenak sambil tersenyum lembut, “untuk orang yang nyaman tinggal dijalanan seperti kamu, sepertinya kurang wawasan tentang betapa mahalnya sewa rumah di kota besar ini.” ungkapnya setengah mencibir.

Pria itu pura-pura mengangguk saja, lagipula rasanya tidak sopan dan bisa-bisa diusir kalau dia terus-terusan berkomentar seperti tadi.

“Sudah sampai, ayo silahkan masuk.” Ajak Jemima sambil menjulurkan tangannya, mempersilahkan tamunya masuk lebih dulu.

Pria itu melangkahkan kakinya sambil melihat kesana kemari, dia sangat terkejut begitu sudah berada di dalam ruangan itu.

Apa ini tempat tinggal atau sarang burung? Batin pria itu sambil memandang sekeliling.

“Duduklah, aku akan membuatkanmu minuman.” Kata Jemima.

Pria itu membalas dengan anggukan bingung, dalam satu ruangan itu ada satu sofa panjang yang terdapat meja di depannya, lalu di belakang sofa itu ada dapur kecil yang hanya disekat oleh meja makan kecil dengan model memanjang, sepertinya itu meja makan minimalis. Lalu di depan sofa juga dapur itu ada sebuah ranjang khas ranjang seorang gadis yang bertingkah bak seorang putri dengan tempat tidur berwarna pink pastel yang dilengkapi kelambu berwarna senada, kasur dan bantalnya tampak sangat empuk, terlihat akan sangat nyaman bila tidur di atasnya.

Ruangan yang cukup menarik, batin pria itu sambil manggut-manggut.

Melihat tingkah tamunya itu, Jemima hanya sesekali tersenyum.

“Bukankah tempatku sangat nyaman?” tanya Jemima dari belakang.

Nyaman? Apanya yang nyaman? Ruangan ini benar-benar tak layak dihuni manusia. Batin pria itu dengan kepala mengangguk, tingkahnya berbanding terbalik dengan ungkapan yang ada di dalam hatinya.

“Hump, silakan diminum.” Kata Jemima menyodorkan minuman jeruk yang baru saja dibuatnya.

Pria itu kembali mengangguk sambil sesekali terlihat meraba-raba sofa yang didudukinya.

“Nah, apa kubilang… nyaman ‘kan? Daripada harus tinggal dijalanan?” tanya Jemima lagi.

Aduh… susah menanggapi orang yang terlalu percaya diri begini. Batin pria itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ekspresi itu dibalas senyuman oleh Jemima yang menurut pikirannya jika pria itu sangat kagum dengan rumah tempat tinggalnya tersebut.

“Ayo diminum, biar sehat. Ingat, tubuh kamu itu butuh nutrisi.” Kata Jemima lagi, keningnya berkerut dan matanya melihat ke arah minuman di depannya.

Pria itu membalas dengan anggukan dan senyuman hambar, entah senyuman apa itu baginya tapi bagi Jemima masih diartikan senyuman kagum yang ditujukan untuknya.

Ck! Pria yang sisa hidupnya dihabiskan di pinggir jalan, mana paham yang namanya kenyamanan. Batin Jemima sambil berdiri dari duduknya.

“Oh iya, nanti sore aku harus pergi kerja. Kamu boleh tidur, istirahat di rumah ini sampai kamu sembuh.” Kata Jemima.

“Kerja? Bukankah kamu terluka?” tanya pria itu tampak terkejut.

Jemima mengibaskan telapak tangannya, “belum melukai usus. Ini hanya luka ringan,” balasnya.

Pria itu tak bisa berkata-kata saat mendengar jawaban gadis itu, sepertinya gadis ini sangat pekerja keras dan tak mudah terpuruk. Padahal semalam dia sudah melewati tragedi yang membahayakan hidupnya, dia jadi malu sendiri karena sebagai pria pikirannya ternyata terlalu dangkal juga lemah.

“Oh iya, apa kamu sudah lapar? Aku mau buatkan makan siang dulu, kamu bisa makan apa aja ‘kan?” lanjutnya bertanya.

Tentu tidak. Batin pria itu, tapi dia tak berani langsung menjawab dengan kalimat tak tepat itu.

“Bagaimana dengan ini?” tanya Jemima sambil menggoyang-goyangkan sesuatu, terdengar seperti makanan yang dibungkus.

Pria itu menoleh, apa itu? batinnya lagi saat melihat dua bungkusan di tangan Jemima.

“Bagaimana? Kamu suka yang pedas?” tanyanya lagi disertai kelingan mata dan ekspresi imut, seakan bungkusan itu sangat enak dan berharga.

“Musim dingin begini… paling enak makan yang pedas.” Katanya sambil menuangkan air ke dalam wadah alumunium dan meletakkannya di atas kompor yang baru saja dinyalakannya.

Cih! dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Batin pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status