"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
"Dia Lana, kan? Siswa terpintar di SMA kita dulu? Nggak nyangka banget kalau sekarang cuma jualan nasi kuning!" pekik seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku. Aku masih ingat betul siapa dia. Riana, siswa tercantik dan terpopuler di SMAku dulu."Iya, dia Lana. Saingan terberatmu untuk mendapatkan Dikta," seru perempuan di sampingnya yang masih kuingat pula siapa namanya. Ratna, salah satu sahabat terbaik Riana. "Videoin, Rat. Nanti kita kirim ke grup alumni. Biar mereka semua tahu, kalau nasib siswa paling berprestasi di sekolah kita dulu ternyata mengenaskan. Kita pikir setelah lima tahun menghilang, dia sudah kerja kantoran dengan ruangan berAC, berseragam dan dengan gaji jutaan seperti kita. Ternyata ... oh My God! Cuma menjadi penjual nasi kuning!" Riana kembali menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari geleng-geleng kepala, seolah pemandangan di depannya kali ini benar-benar membuatnya shock dan tak percaya. "Bukannya ibunya dulu juga penjual nasi uduk, Rat? Wah,
Setelah menyelesaikan tugas wajib memberikan nasi kuning gratis di tempat biasa, aku pun buru-buru belanja ke pasar untuk mengisi kulkas. Sekalian belanja bahan-bahan untuk membuat nasi kuning esok hari. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh bungkus saja yang mampu kubuat setiap harinya. Sebenarnya jika aku mau, bisa saja beli jadi. Hanya saja aku belajar untuk menikmati prosesnya, sebab entah mengapa ada nikmat berbeda di tiap aktivitasnya. Setidaknya, dengan ini aku bisa terus merasakan kenangan bersama ibu dulu. Ibu yang berjuang sendirian membesarkanku dan adik lelakiku setelah bapak tiada. Ibu yang kini telah kembali ke sisiNya. Telur, tempe, bumbu-bumbu dapur, aneka sayuran, ayam dan ikan sudah lengkap di tas belanja. Tak lupa membeli kertas nasi yang hampir habis. Aku kembali memeriksa belanjaan dan kurasa cukup. Bahan untuk membuat nasi kuning pun lengkap. Aku biasa membuat nasi kuning dengan lauk orek-orek tempe campur kacang panjang, telur balado dan tumis mi. Cukup simple
Ike terus saja mengoceh di WhatsApp. Dia semakin geram saat Riana dan Ratna saling menimpali untuk menyudutkanku. [Aku sempat ketemu tetangga Lana, dia bilang Lana sudah nggak tinggal di rumahnya yang lama. Rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibunya yang kini sudah meninggal. Tragis sekali hidupnya kan? Sekarang dia mungkin tinggal di kontrakan sama adik lelakinya itu. Sebenarnya aku kasihan sih sama dia, apa kita open donasi saja ya, barang kali donasi kita bisa meringankan sedikit bebannya?]Aku kembali menggelengkan kepala saat membaca pesan yang dia kirimkan di grup. Ingin sekali kubalas pesannya, tapi aku yakin nanti akan semakin panjang. Sepertinya Riana memang sengaja memancingku keluar dan ikut menimpali obrolannya. Dia yang konon sudah sukses dengan pekerjaannya sebagai sekretaris. Gajinya jutaan dan sering mendapatkan bonus liburan dari atasan. [Beneran, Ri? Sekarang Lana di mana? Aku pengin silaturahmi ke kontrakannya dong kalau kamu tahu alamatnya] Pesan la
Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan. Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang meman