"Percuma pintar dan jadi juara kelas terus saat SMA kalau ujung-ujungnya cuma jadi penjual nasi kuning! Panas-panasan di jalan raya. Berdebu, bikin dekil pula. Beda banget sama aku, yang meski nggak pernah juara kelas, tapi sekarang bisa kerja kantoran dan di ruangan ber-AC." Kesombongan teman-temannya adalah salah satu sebab Lana tidak pernah ikut reuni SMA. Tapi tahun kelima ini dia sengaja ikut di acara itu, karena ingin bertemu Dikta, cinta pertamanya. Namun, rupanya kesempatan itu benar-benar tidak dilewatkan oleh orang-orang untuk menghinanya. Mereka mengira Lana hanya sebagai penjual nasi kuning saja, tepat di hadapan Dikta. Mereka tidak tahu bahwa nasi itu dia bagikan gratis setiap hari untuk sedekah karena dia memiliki penghasilan jutaan. Haruskah Lana mengumbar semua pencapaiannya di sini?
Lihat lebih banyak"Bagaimana dengan foto-foto ini? Apa kamu masih tetap memakluminya bahkan mempercayai omong kosong perempuan itu?" Mama melempar beberapa lembar foto Lana dengan Radit di depanku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan sebab tak ingin melihat Lana dalam kondisi seperti itu. Aku tahu bagaimana perasaannya dan aku tak ingin membuatnya semakin terluka tiap kali aku melihat foto-foto itu. "Foto ini jelas, Dikta. Bukan editan. Apa kamu masih tetap mempercayai dia terbukti tidur dengan lelaki lain? Apa kamu masih mengharapkan perempuan seperti dia untuk menjadi calon pendampingmu kelak?" Mama menatapku tajam sembari menggelengkan kepala perlahan. "Mama benar-benar nggak habis pikir kenapa kamu bisa bersikap seperti ini. Dimana letak spesialnya perempuan itu sampai membuatmu secinta itu, Dikta?" Mama menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu memijit kening saking pusingnya. Aku tahu mama cukup frustasi melihat hubunganku dengan Lana. Mungkin terheran-heran kenapa aku belum bisa melupakan Lana meski
POV : DIKTA "Pokoknya mama nggak setuju hubunganmu dengan Lana, Dikta. Apapun yang kamu katakan tentang dia, mama nggak suka. Ingat, Dikta. Ibunya pernah menjadi selingkuhan papamu dan itu masih membuat mama sakit hati sampai saat ini." Mama masih saja membahas hal yang sama, padahal berulang kali papa bilang jika semua itu hanya bagian dari masa lalu dan kini hanya mama yang papa cintai. Lagipula ibunya Lana sudah tiada, bisa-bisanya mama masih cemburu pada orang yang sudah meninggal dunia. Aneh. "Ibunya Lana bukan selingkuhan papa, Ma. Bukankah beliau menikah dengan papa tiga bulan lebih awal dibandingkan mama?" Aku membela, meski tak bermaksud menyudutkan mama, tapi sepertinya mama merasa tersudutkan. Mama kembali meradang bahkan memintaku memilih antara mama dan Lana. "Mereka menikah di bawah tangan, Dikta. Tanpa diketahui keluarga besar. Dasar ibunya Lana saja yang genit. Mau-maunya menikah dengan papamu tanpa persetujuan keluarga." Lagi, mama terus menyudutkan Lana dan ibuny
Aku dan Ikke saling pandang. Mungkinkah orang tua Dikta menemui Ryan dan mengira Dikta ada di sana hingga dia bebas menggeledah rumahku? Ya Allah. Apa yang terjadi dengan Ryan? Dia pasti tak menyangka jika Tante Delima datang ke rumah dengan kesetanan karena kehilangan anak lelakinya. "Saya nggak tahu, Tante. Makanya saya datang ke sini karena ingin bertemu dengan Dikta. Buat apa saya menculik Dikta kalau nyaris tiap hari dia datang sendiri ke rumah saya?" Aku berusaha percaya diri meski berulang kali wanita itu sengaja mengerdilkan mentalku. "Buat apa menculik Dikta? Heh! Kamu pikir aku bo doh?! Dikta itu anak seorang pengusaha terkenal di sini. Bisa saja kamu bersekongkol untuk menculik dia dan minta tebusan ratusan juta kan?" Tante Delima tersenyum miring sembari melipat tangannya ke dada. Tatapannya tajam mengintimidasi. Aku yang biasanya langsung menunduk takut, entah mengapa kali ini ada sekelebat keberanian yang muncul dalam dada. Bukannya menunduk, aku justru menatap tegap
Bakda dzuhur aku dan Ikke memutuskan untuk pergi ke rumah Dikta. Meski dengan perasaan campur aduk, aku berusaha untuk tetap tenang saat taksi berhenti di depan rumah bertingkat dua itu. "Kamu yang tenang ya, Lan. InsyaAllah semua baik-baik saja." Ike memelukku sembari tersenyum tipis untuk menenangkan. "Aku akan selalu bersamamu, Lan," sambungnya lagi. Kupejamkan mata sesaat lalu membukanya perlahan. Tak lupa mengucap basmallah sebelum menekan bel rumah itu. Seorang laki-laki tengah baya membuka gerbang. Sepertinya dia supir pribadi keluarga Dikta. Aku sempat melihatnya mengantar Tante Delima waktu itu. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya sopan. Ike melangkah mendekatiku yang berdiri di samping gerbang. "Maaf, Pak. Kami temannya Dikta. Apa bisa bertemu dengan Dikta sekarang?" tanya Ike dengan senyum tipisnya. Ekspresi bapak itu berubah seketika. Dia menghela napas panjang lalu menatapku dan Ikke bergantian. Mendadak aku curiga dan khawatir terjadi sesuatu pada Dikta. "
Seminggu belakangan aku memang jarang bersosial media, bahkan sengaja tak melanjutkan cerita bersambung yang menjadi bagian dari pekerjaanku selama tiga tahun terakhir. Otakku terasa buntu dan nggak bisa berpikir jernih setelah kejadian memalukan itu. Ditambah kepergian Dikta dia hari belakangan. Entah kemana dia. Pagi tadi, Mas Radit dan keluarga besarnya datang ke rumah. Mereka minta maaf atas kejadian memalukan itu padaku. Entah mengapa mereka harus minta maaf, padahal tak seharusnya mereka melakukan itu sebab bukan mereka pelakunya bukan? Namun, Pak Anwar dan istrinya merasa begitu bersalah setelah mendengar cerita dari Mas Radit. Mereka sangat menyayangiku dan takut aku depresi. Oleh karena itu itulah mereka bilang ingin tanggungjawab jika terjadi sesuatu padaku, hingga akhirnya kukatakan jika aku tak kenapa-kenapa. Bahkan sudah mengantongi bukti visum jika memang tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Radit saat itu. "Lana, kamu di rumah kan?" Suara Ike terdengar dari seberan
[Ini Lana bukan sih? Kok bisa foto dia ada di garasi rumahku] Pesan dari Susi di grup alumni SMA itu membuatku tercekat. [Bukannya yang laki-laki ini anak Pak Anwar ya? Radit, namanya. Aku pernah bertemu Pak Anwar dengan anak lelakinya ini] Pesan dari Anggi juga muncul di sana. Suasana grup semakin heboh saat Riana dan Ratna ikut menimpali. [Iya itu anaknya Pak Anwar. Kok bisa Mas Radit sama Lana di situ? Wow! Ternyata diam-diam Lana berani ya! Kelihatannya polos dan alim, eh di luar ternyata liar!] Balasan Riana membuat air mataku meleleh seketika. Ya Allah kenapa foto itu ada di rumah Susi segala? Siapa sebenarnya yang merencanakan ini semua? Sekarang grup heboh gara-gara fotoku di sana. Ya Allah, aku sampai nggak berani muncul, meski mereka sibuk mencolek namaku dan Dikta berkali-kali. Aku benar-benar malu melihat auratku diumbar seperti itu di grup. Ada yang yakin jika itu bukan editan, ada pula yang yakin jika aku nggak mungkin melakukan hal serendah itu dengan lelaki yang
"Mbak, bagaimana hasilnya?" Ryan melangkah tergesa ke arahku setelah keluar dari ruangan dokter untuk visum. Mau tak mau, meski dalam keadaan khawatir dan takut aku tetap melakukannya untuk menenangkan dan meyakinkan diriku sendiri tak ada sesuatu yang lebih buruk terjadi padaku saat itu. "Alhamdulillah, Yan. Nggak ada yang buruk. Semua baik-baik saja. Berarti mereka hanya menginginkan fotoku bersama Mas Radit saja, tanpa berniat lebih." Ryan menghela napas panjang seraya mengucapkan Hamdallah. Ada kelegaan lebih di mata Ryan mendengar kabar dariku tentang hasil visum itu. Tak hanya dia, bahkan tadi aku sempat sujud syukur karena tak terjadi apa-apa pada tubuhku yang lain. Sebenarnya sejak sadar dari pingsan itu, aku tak merasakan tanda-tanda keanehan di tubuhku. Hanya saja ketakutan dan kekhawatiran itu membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar takut jika keperawananku direnggut saat masih pingsan. Setelah mendengarkan penjelasan dokter atas hasil visum ini, aku sekaran
POV : LANA[Kamu mengancamku?! Heh, anak ingusan. Sudah berani kamu mengancamku balik ya?! Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman anak kemarin sore sepertimu? Dikta nggak mungkin seperti itu kalau kamu nggak main pelet. Jangan besar kepala! Memangnya secantik, sebaik dan sepesial apa kamu sampai membuat Dikta tergila-gila begitu?!] Pesan dari Tante Delima semakin membuat hatiku panas. Aku tak perlu meladeninya karena kata-kata yang diucapkannya hanya akan membuat sakit hati. Beranjak dari ranjang, aku ingin keluar kamar menemui Dikta. Namun, langkahku terhenti saat mendengar suara Dikta dari luar. Sepertinya dia sedang menelpon seseorang. "Masih di rumah Lana," ucapnya yang kini terdengar cukup jelas setelah aku menajamkan telinga di balik pintu kamar. "Iya, Ma. Ada hal buruk yang terjadi makanya aku masih di sini. Memangnya kenapa, Ma?" Aku baru tahu jika saat ini dia sedang ngobrol dengan sang mama. Aku yakin Tante Delima pasti menuduhku macam-macam di depan Dikta agar dia tak
[Kenapa semua pesanku hanya dibaca, Lan? Apa kamu mengira aku hanya kasihan sama kamu? Apa kamu pikir, aku akan meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Nggak, Lana. Hentikan dugaan-dugaanmu itu karena cintaku tak akan pernah berubah apapun yang terjadi. Kamu masih ingat dengan janji-janji itu kan? Kita akan melewati semua ujian cinta ini bersama-sama dan ini adalah bagian dari ujian itu. Aku menyayangimu di masa lalu, masa kini hingga masa yang akan datang. Percayalah, cinta itu tak akan pernah berubah dan berkurang] Pesan dari Dikta kembali muncul beruntun. Semua sudah terbaca dan lagi-lagi aku tak membalasnya. Aku tahu dia pasti mengharapkan balasan dariku, tapi apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterima kasih atas kesetiaannya? Atau aku harus terang-terangan memintanya mundur saja sebab aku yakin jika Tante Delima tahu masalah ini dia pasti semakin membenciku bahkan melarangku berhubungan dengan anak lelakinya itu. Baru saja mengingat wanita modis itu, tiba-ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.