Share

LAKI-LAKI ITU

"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. 

Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. 

"Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. 

"Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan mikir kerjaku seperti ini ya?! Sorry, aku nggak biasa kerja panas-panasan. Kalau karyawanku balik, aku juga balik ke kantor dengan ruangan berAC." Aku hanya tersenyum tipis saat mendengar penuturan Riana. 

Entah mengapa, semakin dia menjelaskan tentang pekerjaan atau sekelumit hidupnya, aku semakin merasa aneh dan tak percaya dengan ucapannya. Namun, aku diam saja. Aku benar-benar malas menanggapi ceritanya. 

Lagi-lagi, orang seperti Riana memang tak perlu diajak debat sebab dia bisa melakukan berbagai cara agar orang lain percaya, sekalipun ucapannya sekadar dusta. Dia bisa memainkan perannya yang lain, playing victim dan lainnya. Jadi, aku tak perlu terjebak ke dalam permainannya. 

"Sudahlah. Aku pergi dulu masih ada urusan lain. Nggak enak juga sama majikan kamu kalau aku ajak ngobrol kamu lama-lama. Nanti kamu bisa kena semprot. Semangat kerja ya, Lan. Roda pasti berputar, berdoa saja supaya kelak kamu bisa kerja sepertiku dengan gaji jutaan." 

Riana dengan percaya dirinya menepuk pundakku pelan. Dia tersenyum tipis lalu keluar gerbang untuk mengambil motor maticnya. Sementara Bi Lastri justru kembali ke teras dan duduk di kursi yang ditinggalkan Riana tadi. 

"Heran sama Mbak Riana itu. Omongannya setinggi langit," lirih Bi Lastri sembari menggelengkan kepalanya. 

"Sudahlah, Bi. Lana juga tahu siapa dan bagaimana Riana itu," balasku sembari menoleh ke arahnya yang sedang menaikkan alis, seolah tak percaya dengan ucapanku. 

"Mbak Lana tahu siapa dia? Apa dulu pernah pinjam duit juga?" tanya Bibi dengan ekspresi terkejut. 

"Oh, nggak, Bi. Cuma Riana itu teman SMA Lana. Jadi, memang sudah kenal sejak lama. Akhir-akhir ini kami juga sesekali bertukar pesan." Bi Lastri manggut-manggut saat mendengar penjelasanku. 

"Tiap Sabtu dia ke kampung bibi, Mbak. Ya begitu, ngasih pinjaman ke orang-orang dengan bunga sepuluh persen. Bilangnya sih selalu begitu. Dia merasa apa yang dilakukannya bukan bagian dari pekerjaan untuk mendapatkan keuntungan, tapi dia selalu bilang sekadar membantu orang-orang yang membutuhkan." Aku tersenyum lagi mendengar cerita Bi Lastri. 

Tak perlu dilanjutkan sebab aku pun tahu betul bagaimana karakter anak itu saat SMA. Dia selalu haus pujian dan ingin tampil yang paling baik, paling cantik dan paling pintar. 

Sayangnya, berulang kali mencoba menggeser peringkatku sebagai juara utama, dia selalu gagal. Sebab itu pula dia begitu membenciku, terlebih saat cowok idamannya konon juga lebih memilihku dibandingkan dia. 

Dikta. Entah mengapa tiap kali menyebut namanya, hati kembali berdebar. Rasa cinta dan kagum yang selalu berusaha kutepis dan kulupakan ini, ternyata tak mudah sirna begitu saja. Rasa itu tetap ada, sekalipun berulang kali kucoba mematahkannya. 

"Bi, Lana kan sering bilang sama bibi kalau butuh sesuatu bilang saja. InsyaAllah Lana bisa bantu. Misalkan pun kasih pinjaman juga tanpa bunga segala. Jadi, lain kali baiknya bibi nggak lagi berhubungan dengan Riana ya? Selain riba, bunga yang dia patok juga memberatkan bibi. Bunga sepuluh persen dari hutang itu cukup banyak, Bi." Aku mengusap pelan punggung tangan wanita paruh baya di sampingku itu. 

"Iya, Mbak Lana. Bibi juga tahu, hanya saja kadang tak enak hati kalau merepotkan terus terusan. Tempo hari terpaksa pinjam sama Mbak Riana soalnya buat bayar sekolah anak-anak yang menunggak, sekalian buat bayar kontrakan." Bi Lastri kembali menghela napas lalu menatapku beberapa saat.

"Lana nggak merasa direpotkan kok, Bi. Justru senang kalau bisa membantu bibi." 

"Baiklah kalau begitu, Mbak. Bibi pergi dulu, masih ada setrikaan yang cukup banyak di rumah juragan. Sorenya bibi juga harus jualan pecel, jadi nggak bisa ngobrol panjang lebar sama Mbak Lana. Lain waktu semoga bisa ya, Mbak." Kupeluk tubuh ringkih itu. Semangatnya benar-benar luar biasa. 

Di tengah ujian berat dariNya, bibi nyaris tak pernah mengeluh. Dia tetap semangat mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi setelah suaminya mendadak lumpuh pasca kecelakaan beberapa bulan lalu. 

Hanya Bi Lastrilah yang dijadikan sandaran anggota keluarganya. Dia tak hanya sebagai ibu rumah tangga melainkan juga pencari nafkah untuk mereka semua. Kurasakan tubuhnya sedikit terguncang. Tangis itu mulai terdengar, tapi lagi dan lagi Bi Lastri selalu tersenyum. Mencoba mengurai semua bebannya meski begitu berat dan melelahkan raga dan jiwa. 

"Hati-hati ya, Bi. Ini buat jajan Rina dan Rini," ujarku sembari menyelipkan selembar uang seratus ribuan ke telapak tangannya. Bi Lastri cukup terkejut. Dia berusaha menolak pemberianku itu, tapi sedikit kupaksa hingga akhirnya mau menerima.

"Tadi sudah Mbak Lana kasih lima ratus ribu. Jangan dikasih terus, Mbak. Bibi takut jadi ketergantungan nanti. Mbak Lana juga hidup berdua saja sama Ryan, nggak ada orang tua. Tentu kebutuhan banyak. Jangan terlalu baik dengan orang, Mbak. Nanti bisa terus dimanfaatkan," ujar Bi Lastri dengan senyum tipisnya. 

"InsyaAllah kami cukup kok, Bi. Bukannya kalau kita bantu orang, rezeki juga makin dilancarkan ya, Bi? Kata ustadz, sedekah tak akan membuat kita miskin, tapi justru membuat kita makin kaya." Bi Lastri kembali tersenyum lalu menepuk pundakku perlahan. 

Tak selang lama, tubuh ringkih itu keluar dari gerbang. Bibi kembali ke rumah majikannya untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Mencuci dan menyetrika adalah pekerjaannya tiap pagi dan siang hari. 

Setelah itu dia harus membuat pecel dan gorengan untuk dijual sore hari sampai malam tiba. Perjuangannya benar-benar luar biasa. Tak peduli capek, sakit, hujan dan panas. Bibi selalu semangat mengais rezeki halalNya. 

"Hai, Lan. Akhirnya kita ketemu di sini." Suara itu membuatku membalikkan badan. Aku tercekat seketika saat melihat kembali sosoknya di depan gerbangku yang terbuka. Laki-laki itu, kenapa bisa sampai di sini secepat ini? 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status