"Ohya, gimana kabar kamu, Lan? Dengar-dengar ibu sudah meninggal, benar?""Alhamdulillah kabarku dan Ryan baik, Dik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Soal ibu ... memang benar ibu telah berpulang tiga tahun lalu," ujarku dengan senyum tipis, berusaha menghalau kedua mata yang mulai hangat. "Maaf nggak bisa ikut takziah ya, Lan. Kebetulan aku ada ujian tengah semester saat itu jadi nggak bisa pulang. Maaf juga kalau pertanyaanku ini membuatmu dan Ryan kembali mengingat duka itu." Aku mengangguk pelan sementara Ryan terlihat lebih rileks. Mungkin karena dia laki-laki, jadi tak terlalu dibawa perasaan tiap kali ada pertanyaan tentang ibu ataupun masa lalu kami yang pahit dulu. "Nggak apa-apa kok, Dik. Lagian juga sudah berlalu dan ibu InsyaAllah sudah tenang di sana," balasku. Kuhela napas panjang untuk menetralkan rasa. Dikta tampak manggut-manggut setelah mendengar jawabanku. "Ke sini sendirian, Mas?" tanya Ryan kemudian. Dia sengaja mengalihkan obrolan saat menatapku. Mungkin ta
"Aku antar pulang gimana?" tawar Dikta lagi membuatku dan Ryan saling tatap."Makasih deh, Mas. Kami jalan kaki saja, kebetulan mau mampir ke klinik dulu. Setelah itu baru pulang." "Siapa yang sakit, Yan?" Pertanyaan Dikta membuat Ryan menoleh ke arahku. "Tetangga, Mas. Anaknya kecelakaan, jadi aku sama Mbak Lana mau jenguk dulu sebelum pulang." "Oh gitu." Dikta kembali manggut-manggut."Eh, Lan. Jangan lupa minggu depan ikut reuni ya? Kalau kamu nggak ikut, aku juga nggaklah." "Kok gitu, Dik? Kamu ikut aja, bukannya tiap tahun kamu juga ikut ya?" tanyaku. Aku tahu soal itu dari Ike, siapa lagi. "Iya aku ikut dengan harapan ketemu kamu, tapi kamu absen terus. Nah, tahun ini aku ikut juga dengan harapan yang sama. Cuma sekarang sudah ketemu kamu, jadi nggak perlu berharap saat reuni kan?" Lagi-lagi aku menelan saliva. Hatiku mendadak berbunga mendengar ucapannya, tapi berusaha mengontrol gejolak rasa dalam dada. Aku pun menyembunyikan senyum yang muncul tiba-tiba. "Cieeee, kemba
Tak membuang waktu, kuserahkan semua uang hasil penjualan dagangan bibi malam ini. Berulang kali bibi menyelipkan beberapa lembar uang untukku. Namun, kutolak. Aku terus meyakinkan bibi jika aku dan Ryan ikhlas membantunya. "Uangnya disimpan saja, Bi. InsyaAllah bibi jauh lebih membutuhkan uang itu." Akhirnya Ryan menyahut setelah bibi bersikeras memberi kami upah. Katanya tak enak kalau cuma merepotkan saja. "Beneran, Mas Ryan?" Adik lelakiku itu pun mengangguk lagi. Senyum tipisnya tersinggung. Lagi-lagi aku bangga memiliki seorang adik yang peka sepertinya. "Alhamdulillah kalau begitu, Mas Ryan, Mbak Lana. Tadinya bibi mau pinjam uang lagi buat pegangan di sini, tapi setelah dapat uang ini bibi nggak jadi pinjam. Ini sudah cukup untuk pegangan bibi sama kebutuhan lain. Besok bibi nggak jualan dulu, fokus urus Rina. Mungkin cuma nyuci sama nyetrika saja paginya." Aku mengangguk pelan lalu memeluk bibi lagi. Kurasakan hembusan napasnya yang panjang. Setelah mendoakan kesembuhan R
[Jam sembilan aku jemput ya, Lan. Jangan lupa dandan yang cantik. Tunjukkan pesonamu, Lan! Hahah Aku yakin reuni kali ini akan lebih heboh dan seri dibandingkan reuni sebelumnya karena orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka pasti akan shock saat melihat Lana yang sekarang karena dari segi manapun memang jauh berbeda dengan Lana yang dulu. Yang pasti lebih cantik, baik dan sukses dari yang mereka kira]Pesan dari Ike muncul di layar. Seperti biasa dia terlalu memujiku. Sejak semalam dia terus mewanti-wanti agar aku tak berubah pikiran. Ike bilang sengaja ingin memperlihatkan pada teman-teman jika aku tak seburuk yang diceritakan Riana di grup alumni. Setidaknya agar perempuan itu malu dan bisa lebih berhati-hati dalam bicara, katanya. [Iya, jangan telat. Kalau telat, aku nggak jadi ikut. Satu lagi, tak perlu terlalu berlebihan memuji seseorang takutnya diabetes. Aku baru pulang bagi-bagi nasi kuning. Habis ini mau ke laundry-an dulu. Sekalian cek renovasi laundry yang
[Lan, kamu jadi ikut reuni kan?]Pesan dari Dikta muncul di layar. Tak hanya satu, ternyata ada tiga pesan yang nyaris sama terkirim di WhatsApp. Sepertinya begitu mengkhawatirkanku jika tak jadi datang dalam acara ini. Reuni rutin yang digelar tiap tahunnya. "Pesan dari Dikta?" tanya Ike saat aku baru mengunci gerbang. "Iya. Dia tanya aku ikut apa nggak." Ike kembali tersenyum. Selalu menggodaku tiap kali membahas soal Dikta. "Bilang aja jadi, biar nggak bikin khawatir anak orang." Ike menyahut lalu memintaku duduk di belakangnya. Ike mengajakku berangkat dengan motor maticnya, berboncengan daripada sendiri-sendiri. "Sebenarnya aku malas, Ke. Tahu sendirilah gimana Riana. Apalagi akhir-akhir ini aku beberapa kali ketemu dia." "Iya, aku tahu, Lan. Nggak cuma kamu yang malas ketemu dia, aku pun sama." Aku menghela napas lagi. "Teman-teman lain terpengaruh sama dia, Ke. Mereka ikut tak ramah padaku saat sekolah dulu. Takutnya, sekarang pun mereka masih bersikap begitu. Makanya aku
"Sudah berani melawan kamu, Lan! Dasar gembel. Bilang aja nggak punya baju, makanya pakai baju murahan seperti itu. Tahu gitu, kubawakan baju-baju bekasku buat kamu. Tenang saja, baju bekasku bahkan masih jauh lebih layak dibandingkan baju yang kamu pakai saat ini!" sambung perempuan itu lagi. Aku tersenyum tipis. Dia tak tahukah kalau gamis yang kupakai ini juga sedikit bermerk? Meski harganya mungkin jauh lebih murah dibandingkan baju-baju yang dia punya, tapi setidaknya pakaian yang kukenakan detik ini tak semurah yang dia bayangkan. Nyaris empat ratus ribu kurasa bukan baju yang murah. Mungkin beda cerita dengan Riana yang harga kaosnya saja melebihi gamis yang kupakai. Namun, setidaknya dia sedikit menghargaiku. Apa susahnya? Lagipula aku tak pernah cari keributan dengan dia, tapi kenapa dia terus cari ribut denganku. Heran. "Nggak perlu, Ri. Kalau memang kamu punya banyak baju bekas yang masih sangat layak pakai, kirim saja buat saudara-saudara kita yang terkena bencana. Di s
Kuhela napas panjang setelah membaca pesan Riana yang masuk ke aplikasi hijauku itu. Dari dulu dia memang tak pernah mau kalah dalam hal apapun, apalagi tentang Dikta. "Nggak usah dilihatin, Lan. Dia semakin besar kepala kalau kamu kasih panggung. Cuekin aja, kalau perlu anggap dia nggak ada." Ike ikut kesal melihat tatapan perempuan itu dari meja yang berbeda. Semua mendadak hening saat seorang laki-laki memasuki aula. Teriakan histeris pun terdengar saat laki-laki paruh baya itu menyunggingkan senyumnya. Beliau adalah wali kelas kami saat duduk di kelas tiga. Pak Anwar. Guru yang sabar, ramah dan super baik karena sering sekali menolongku. Beliau tak segan membayarkan buku-bukuku saat tahu aku belum bayar buku pelajaran. Pak Anwar juga beberapa kali datang ke rumah untuk sekadar bersilaturahmi. Beliau adalah satu-satunya guru yang paling dekat denganku saat itu. Entah mengapa, melihatnya datang ke sini membuatku berkaca. Terakhir bertemu dengannya tiga tahun lalu saat ibu tiad
"Enak jadi orang kaya. Lulus kuliah nggak perlu pusing cari kerja di mana, tujuannya sudah jelas. Kalau nggak kerja di perusahaan orang tua ya dapat modal buat usaha sendiri. Tapi, untuk yang berasal dari keluarga sederhana nggak boleh putus asa atau rendah diri juga. Karena apa? Kesuksesan seseorang itu pasti juga diawali dengan jatuh bangun, perjuangan, doa dan kerja keras. Percuma dikasih modal besar, kalau nggak bisa mengelola juga bakal habis. Percuma dikasih jabatan tinggi, kalau cuma modal absen, nggak ada perjuangan untuk mengembangkan diri lama-lama juga tersisih. Banyak di luar sana yang hanya lulus sekolah dasar tapi sukses. Semua itu karena perjuangannya yang luar biasa. Jadi, intinya selagi kita bisa harus berjuang sekuat yang kita bisa." Pak Anwar memberikan wejangan yang begitu dalam soal kehidupan. Lagi, gemuruh tepuk tangan terdengar. "Betul itu, Pak. Kadang orang-orang yang nggak terlalu pintar soal akademik saat sekolah, ternyata justru sukses di luar sekolah. Seme