Tak membuang waktu, kuserahkan semua uang hasil penjualan dagangan bibi malam ini. Berulang kali bibi menyelipkan beberapa lembar uang untukku. Namun, kutolak. Aku terus meyakinkan bibi jika aku dan Ryan ikhlas membantunya. "Uangnya disimpan saja, Bi. InsyaAllah bibi jauh lebih membutuhkan uang itu." Akhirnya Ryan menyahut setelah bibi bersikeras memberi kami upah. Katanya tak enak kalau cuma merepotkan saja. "Beneran, Mas Ryan?" Adik lelakiku itu pun mengangguk lagi. Senyum tipisnya tersinggung. Lagi-lagi aku bangga memiliki seorang adik yang peka sepertinya. "Alhamdulillah kalau begitu, Mas Ryan, Mbak Lana. Tadinya bibi mau pinjam uang lagi buat pegangan di sini, tapi setelah dapat uang ini bibi nggak jadi pinjam. Ini sudah cukup untuk pegangan bibi sama kebutuhan lain. Besok bibi nggak jualan dulu, fokus urus Rina. Mungkin cuma nyuci sama nyetrika saja paginya." Aku mengangguk pelan lalu memeluk bibi lagi. Kurasakan hembusan napasnya yang panjang. Setelah mendoakan kesembuhan R
[Jam sembilan aku jemput ya, Lan. Jangan lupa dandan yang cantik. Tunjukkan pesonamu, Lan! Hahah Aku yakin reuni kali ini akan lebih heboh dan seri dibandingkan reuni sebelumnya karena orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka pasti akan shock saat melihat Lana yang sekarang karena dari segi manapun memang jauh berbeda dengan Lana yang dulu. Yang pasti lebih cantik, baik dan sukses dari yang mereka kira]Pesan dari Ike muncul di layar. Seperti biasa dia terlalu memujiku. Sejak semalam dia terus mewanti-wanti agar aku tak berubah pikiran. Ike bilang sengaja ingin memperlihatkan pada teman-teman jika aku tak seburuk yang diceritakan Riana di grup alumni. Setidaknya agar perempuan itu malu dan bisa lebih berhati-hati dalam bicara, katanya. [Iya, jangan telat. Kalau telat, aku nggak jadi ikut. Satu lagi, tak perlu terlalu berlebihan memuji seseorang takutnya diabetes. Aku baru pulang bagi-bagi nasi kuning. Habis ini mau ke laundry-an dulu. Sekalian cek renovasi laundry yang
[Lan, kamu jadi ikut reuni kan?]Pesan dari Dikta muncul di layar. Tak hanya satu, ternyata ada tiga pesan yang nyaris sama terkirim di WhatsApp. Sepertinya begitu mengkhawatirkanku jika tak jadi datang dalam acara ini. Reuni rutin yang digelar tiap tahunnya. "Pesan dari Dikta?" tanya Ike saat aku baru mengunci gerbang. "Iya. Dia tanya aku ikut apa nggak." Ike kembali tersenyum. Selalu menggodaku tiap kali membahas soal Dikta. "Bilang aja jadi, biar nggak bikin khawatir anak orang." Ike menyahut lalu memintaku duduk di belakangnya. Ike mengajakku berangkat dengan motor maticnya, berboncengan daripada sendiri-sendiri. "Sebenarnya aku malas, Ke. Tahu sendirilah gimana Riana. Apalagi akhir-akhir ini aku beberapa kali ketemu dia." "Iya, aku tahu, Lan. Nggak cuma kamu yang malas ketemu dia, aku pun sama." Aku menghela napas lagi. "Teman-teman lain terpengaruh sama dia, Ke. Mereka ikut tak ramah padaku saat sekolah dulu. Takutnya, sekarang pun mereka masih bersikap begitu. Makanya aku
"Sudah berani melawan kamu, Lan! Dasar gembel. Bilang aja nggak punya baju, makanya pakai baju murahan seperti itu. Tahu gitu, kubawakan baju-baju bekasku buat kamu. Tenang saja, baju bekasku bahkan masih jauh lebih layak dibandingkan baju yang kamu pakai saat ini!" sambung perempuan itu lagi. Aku tersenyum tipis. Dia tak tahukah kalau gamis yang kupakai ini juga sedikit bermerk? Meski harganya mungkin jauh lebih murah dibandingkan baju-baju yang dia punya, tapi setidaknya pakaian yang kukenakan detik ini tak semurah yang dia bayangkan. Nyaris empat ratus ribu kurasa bukan baju yang murah. Mungkin beda cerita dengan Riana yang harga kaosnya saja melebihi gamis yang kupakai. Namun, setidaknya dia sedikit menghargaiku. Apa susahnya? Lagipula aku tak pernah cari keributan dengan dia, tapi kenapa dia terus cari ribut denganku. Heran. "Nggak perlu, Ri. Kalau memang kamu punya banyak baju bekas yang masih sangat layak pakai, kirim saja buat saudara-saudara kita yang terkena bencana. Di s
Kuhela napas panjang setelah membaca pesan Riana yang masuk ke aplikasi hijauku itu. Dari dulu dia memang tak pernah mau kalah dalam hal apapun, apalagi tentang Dikta. "Nggak usah dilihatin, Lan. Dia semakin besar kepala kalau kamu kasih panggung. Cuekin aja, kalau perlu anggap dia nggak ada." Ike ikut kesal melihat tatapan perempuan itu dari meja yang berbeda. Semua mendadak hening saat seorang laki-laki memasuki aula. Teriakan histeris pun terdengar saat laki-laki paruh baya itu menyunggingkan senyumnya. Beliau adalah wali kelas kami saat duduk di kelas tiga. Pak Anwar. Guru yang sabar, ramah dan super baik karena sering sekali menolongku. Beliau tak segan membayarkan buku-bukuku saat tahu aku belum bayar buku pelajaran. Pak Anwar juga beberapa kali datang ke rumah untuk sekadar bersilaturahmi. Beliau adalah satu-satunya guru yang paling dekat denganku saat itu. Entah mengapa, melihatnya datang ke sini membuatku berkaca. Terakhir bertemu dengannya tiga tahun lalu saat ibu tiad
"Enak jadi orang kaya. Lulus kuliah nggak perlu pusing cari kerja di mana, tujuannya sudah jelas. Kalau nggak kerja di perusahaan orang tua ya dapat modal buat usaha sendiri. Tapi, untuk yang berasal dari keluarga sederhana nggak boleh putus asa atau rendah diri juga. Karena apa? Kesuksesan seseorang itu pasti juga diawali dengan jatuh bangun, perjuangan, doa dan kerja keras. Percuma dikasih modal besar, kalau nggak bisa mengelola juga bakal habis. Percuma dikasih jabatan tinggi, kalau cuma modal absen, nggak ada perjuangan untuk mengembangkan diri lama-lama juga tersisih. Banyak di luar sana yang hanya lulus sekolah dasar tapi sukses. Semua itu karena perjuangannya yang luar biasa. Jadi, intinya selagi kita bisa harus berjuang sekuat yang kita bisa." Pak Anwar memberikan wejangan yang begitu dalam soal kehidupan. Lagi, gemuruh tepuk tangan terdengar. "Betul itu, Pak. Kadang orang-orang yang nggak terlalu pintar soal akademik saat sekolah, ternyata justru sukses di luar sekolah. Seme
Aku kembali menyikut Ike yang keceplosan bicara. Namun, yang kusikut justru tak menghentikan ceritanya. "Apa kamu nggak puas selalu bully dia saat sekolah dulu, Ri? Mentang-mentang anak orang kaya, nggak seharusnya kamu semena-mena. Sekalipun Lana nggak pernah balas kamu loh. Padahal jika dia mau, dia bisa saja kasih balasan telak. Empat tahun tak ikut reuni, kamu pikir--"Ke, sudahlah, please." Aku merajuk agar Ike menghentikan ceritanya yang kupastikan akan kemana-mana. "Lana mungkin akan diam saja dan tak peduli dengan semua cacian dan sikapmu yang selalu meremehkannya. Sayangnya aku sebagai sahabat nggak bisa secuek itu. Asal kamu tahu ya, Ri. Tiap bulan gajiannya bisa buat beli motor baru!" Cerita Ike dengan menggebu, sukses membuat banyak mulut ternganga dengan mata membola. Tak hanya mantan teman-teman sekolahku yang kaget, tapi juga Pak Anwar. Mantan wali kelas dan guru terbaik yang kukenal. "Benar, Lan? Kamu kerja apa?" tanya Pak Anwar antusias. Beliau sepertinya benar-be
"Kalau aku bilang rumah itu memang rumahku, kamu tentu nggak percaya kan, Ri? Kalau aku bilang sebenarnya tak jualan nasi kuning, hanya sekadar berbagi pada sesama, tentu kamu juga nggak akan percaya kan? Lantas buat apa aku menjelaskan jika memang tak ada yang percaya. Lagipula aku tak butuh pengakuan kalian jika aku bukanlah produk gagal. Aku cukup bangga dengan diriku sendiri dan apa yang kumiliki. Jadi, tak perlu terus meremehkan atau menyudutkanku karena semua itu tak akan terlalu berpengaruh untuk jalan hidupku. Aku sudah punya planing sendiri dan aku yakin bisa menggapai mimpi-mimpi itu, satu persatu." Hanya Ike dan Dikta yang memberi tepuk tangan untukku. Tak apa, aku pun tak butuh tepuk tangan ataupun pujian dari mereka. Pak Anwar yang tadi mendadak izin keluar karena ada panggilan telepon, kini kembali ke aula di saat wajah-wajah mantan muridnya menegang dan tak baik-baik saja. "Kali ini aku setuju dengan Riana, Dik. Sorry." Yang lain pun ikut menyahut dengan sikap yang sa