"Kalau aku bilang rumah itu memang rumahku, kamu tentu nggak percaya kan, Ri? Kalau aku bilang sebenarnya tak jualan nasi kuning, hanya sekadar berbagi pada sesama, tentu kamu juga nggak akan percaya kan? Lantas buat apa aku menjelaskan jika memang tak ada yang percaya. Lagipula aku tak butuh pengakuan kalian jika aku bukanlah produk gagal. Aku cukup bangga dengan diriku sendiri dan apa yang kumiliki. Jadi, tak perlu terus meremehkan atau menyudutkanku karena semua itu tak akan terlalu berpengaruh untuk jalan hidupku. Aku sudah punya planing sendiri dan aku yakin bisa menggapai mimpi-mimpi itu, satu persatu." Hanya Ike dan Dikta yang memberi tepuk tangan untukku. Tak apa, aku pun tak butuh tepuk tangan ataupun pujian dari mereka. Pak Anwar yang tadi mendadak izin keluar karena ada panggilan telepon, kini kembali ke aula di saat wajah-wajah mantan muridnya menegang dan tak baik-baik saja. "Kali ini aku setuju dengan Riana, Dik. Sorry." Yang lain pun ikut menyahut dengan sikap yang sa
"Sepuluh juta? Nggak salah kamu, Lan? Seratus ribu kali?" Suara Ratna terdengar begitu keras, membuat teman-teman lain ikut ternganga, tak terkecuali Riana. "Aku nggak salah tulis nol kok. Memang segitu yang aku mau." Gegas kutransfer nominal yang kutulis itu ke rekening yang tertera di sana dengan mobile banking. Rekening atas nama Dikta Prayoga. "Sudah masuk belum, Dik?" tanyaku saat melihat beberapa teman masih saling tatap tak percaya. "Oh, bentar aku cek dulu, Lan." Laki-laki itu pun mengambil handphonenya lalu memeriksa transferan dariku. "MasyaAllah, sudah masuk, Lan. Thanks ya, kamu membungkam keangkuhan mereka dengan cara berbeda. Minggu depan ikut ke pantinya ya, Lan." "InsyaAllah, diusahakan ya, Dik." Aku pun tersenyum tipis lalu kembali duduk bersama Ike yang mengacungkan jempolnya untukku. "Lihat ya teman-teman, nominalnya sama dengan yang ditulis Lana di daftar nama kita. Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi memang itulah kenyataannya. Ini sebagai salah satu bukt
Rasanya nggak mungkin Dikta cemburu. Setelah sekian lama tak bertemu dan dia sibuk di kota lain, apa iya dia tak pernah pacaran atau sekadar jatuh hati dengan perempuan di sana? Tiap kali aku berharap dia masih menyimpan namaku di hatinya seperti saat putih abu-abu dulu, tiap itu pula aku sadar jika aku bukan siapa-siapa. Aku tak sepesial itu untuk ditunggu dan dicari sampai ketemu. Boleh jadi saat ini dia sudah menikah diam-diam. Iya kan? Siapa tahu, lagipula nggak pernah tahu kabarnya sejak lulus sekolah. "Kenapa diam?" Pertanyaannya membuatku tersedak seketika. "Eh, nggak. Mau ngomong apa, nggak ada yang mau diomongin juga kan? Makanya diam. Sejak dulu aku kan memang pendiam." Aku tertawa kecil untuk mencairkan suasana yang mendadak beku dan dingin. Perlahan kembali menata debar dada yang kian tak menentu apalagi jarak dudukku dengannya cukup dekat, cuma dua jengkal saja jaraknya. "Wei, Lan, Dikta! Sini dulu. Pacaran mulu!" Terima Ike tiba-tiba sembari melambaikan tangannya ke
"Fix ya, Minggu depan yang ikut ke panti aku, Ratna, Dikta, Lana sama Rizal." Riana mengakhiri obrolannya. "Aku ikut, Ri. Gimana sih!" Ike kembali protes untuk ketiga kalinya. Dia nggak mungkin membiarkanku sendiri ke acara itu tanpanya. Seolah tahu banget apa yang bakal dilakukan perempuan itu jika tak ada Ike di sisiku. "Kamu mau ikut? Ngapain? Nggak penting. Yang ada berisik dan bikin ulah," sahut Riana dengan tatapan jengah. "Kalau kamu nggak mulai, aku nggak mungkin berisik. Pokoknya aku ikut." "Dih maksa!" "Nggak ada namamu di sini," timpal Ratna tak kalah sinisnya. "Kenapa sih? Aku juga ikut andil dalam acara itu. Kenapa dilarang?" Ike tak mau kalah."Cuma nyumbang lima ratus ribu saja belagu!" sahut Riana kembali mengejek. Wajah Ike merah padam seketika, antara malu dan marah pastinya karena menyangkut nominal lagi dan lagi."Kalau Ike nggak ikut, aku juga nggak ikut deh." Aku menoleh ke arah Ike yang masih bersungut kesal. Dia pun menoleh lalu tersenyum tipis saat berta
"Kalau bukan buat aku, memangnya kado itu buat siapa sih, Dik? Jangan bilang buat Lana!" balas Riana dengan ketusnya. "Kalau memang buat Lana kenapa, Ri?" Riana tergagap lalu menoleh ke arahku cepat. "Bukannya Tante Delima ngelarang kalian berdua berhubungan? Lagian si Lana genit banget jadi perempuan. Sudah tahu dilarang masih aja keganjenan!" "Bukannya yang genit itu kamu, Ri. Bisa-bisanya nuduh Lana yang diam saja. Baru kali ini juga loh dia ikut reuni." Ike kembali menyahut membuat wajah Riana merah padam. Beberapa teman ikut cekikikan melihat ekspresinya yang berubah drastis. Antara kesal, malu dan marah, pokoknya campur aduk. "Nggak perlu ikut campur urusan orang, Ri. Aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku." Dikta berbisik, tapi cukup keras terdengar di telingaku yang memang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. "Semua kado memang kusiapkan untuk Lana, termasuk kado ini." Dikta memberikan kado berwarna merah jambu itu untukku. "Bu-- buatku, Dik?" tanyaku sedikit gugup.
Aku kembali mengeja apa yang dikatakan Pak Anwar barusan. Sebenarnya aku paham maksud Pak Anwar, hanya saja aku tak mengerti mengapa Mas Radit bisa bicara seperti itu pada ayahnya. "Maksud bapak?" Aku pura-pura tak mengerti agar Pak Anwar menjelaskannya sekali lagi. Mungkin tadi salah bicara atau apa dan kini masih ada waktu untuk memperbaikinya. "Radit cuma mau nikah sama kamu, Lan. Nggak mau sama yang lain. Bapak sudah berusaha mencarikan perempuan lain untuk dia, tapi tetap saja ditolak. Makanya, bapak ikut reuni ini barang kali ketemu kamu. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga. Bapak tak memaksa kamu, hanya saja kalau kalian cocok, bapak ikut senang. Siapa yang nggak senang punya menantu seperti kamu kan? Pintar, cantik dan rendah hati." Pak Anwar kembali memuji. Selalu begitu sedari dulu, hanya beliau lah yang sering memujiku banyak hal. Pak Anwar seolah menjadi bapak pengganti untukku. Meski dulu masih honorer, tapi jiwa sosialnya cukup tinggi. Hanya beliau yang sering membant
"Kenapa, Lan? Penasaran aku, sebenarnya apa sih yang kamu bicarakan sama Pak Anwar barusan." Ike mulai penasaran. Dia duduk di sebelahku, sementara Dikta masih berdiri di depan kami. "Kenapa?" "Ah nggak ada yang aneh kok. Cuma nanya kabar gitu-gitu doang lah. Ayo pulang. Kasihan Ryan sendirian nanti kalau kelamaan di sini," ajakku pada Ike yang masih bergeming. "Biar aku yang antar, Ke. Bukannya kamu mau ada acara lain?" Keduanya saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Bener, Lan. Mau ada acara dadakan, jadi kamu pulang sama Dikta ya?" "Tapi, Ke. Aku mau ikut kamu sajalah. Acara apa sih memangnya?" "Eh, pokoknya adalah nanti aku cerita di WhatsApp ya? Tenang saja. Sono pulang diantar Mas Dikta," ujar Ike dengan senyum lebarnya. "Ayo, Lana." Dikta menatapku lekat. "Riana gimana?" Perempuan itu masih berdiri di samping Ratna sembari menatapku tajam, seolah tak rela jika Dikta akan mengantarku pulang. "Dia datang sama Ratna kan? Pulangnya juga bisa sama dia. Kalau Ratna ma
[Ke rumah sakit sekarang, Mbak Lana. Mas Ryan kecelakaan] Pesan dari Bu Maria muncul di layar benar-benar membuatku tak bisa berpikir jernih. Sepertinya Dikta juga tahu jika pesan itu bukanlah pesan biasa, lebih tepatnya bukan pesan yang membahagiakan. "Kenapa, Lan? Ada masalah?" Aku menoleh dengan mata berkaca. "Ryan kecelakaan, Dik. Sekarang di rumah sakit Isabella," lirihku dengan suara serak. Dikta tersentak mendengar ceritaku. "Kita ke sana sekarang ya? Kamu yang tenang," ujarnya lalu putar arah ke rumah sakit yang kumaksud. Sepanjang jalan, aku hanya membayangkan tentang Ryan. Hanya dia yang kumiliki saat ini. Tak ada sanak saudara yang lain lagi. Aku tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi padanya. Detik ini aku benar-benar takut dan terus merapalkan doa untuk keselamatannya. "Lana, tenang. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja." Suara Dikta kembali menggema, tapi rasanya nggak mampu meredam gelisah dalam dada. Dua puluh menit kemudian, aku dan dia sampai di rumah sak