"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,
"Siapa sih mereka, Mbak? Rese banget tingkahnya." Ryan yang baru datang dengan sepedanya menyeletuk saat melihat Ratna dan Riana pergi dengan kendaraan roda empatnya. "Teman Mbak saat SMA itu loh, Yan. Kamu ingat nggak sama Riana. Dulu Mbak sering cerita sama kamu dan ibu soal dia." Aku mengajak adik lelakiku masuk setelah menutup gerbang kembali. "Oh, yang dulu sering bully Mbak Lana itu kan?" Dia masih ingat rupanya. Dulu aku memang sering menceritakan Riana pada ibu saat kami duduk santai di teras kontrakan atau sama-sama sibuk di dapur. Ryan kadang ikut mendengarkan di sela-sela belajarnya. "Betul. Kamu masih ingat saja sama nama itu, Yan," ujarku pendek sembari mengambilkan air putih untuknya. "Masihlah, Mbak. Dari dulu aku penasaran banget kan sama si Riana Riana itu. Eh nggak nyangka sekarang benar-benar dipertemukan. Mau ngapain perempuan itu ke sini? Apa mau bully Mbak Lana lagi?" Ryan terlihat sedikit emosi. Dia menatapku tajam minta penjelasan. "Nggak kok. Santai saja.
"Siapa yang kecelakaan, Yan?" Aku melangkah ke teras dengan tergesa. Ryan sudah berdiri di garasi bersama dua orang tetangga. Entah apa yang mereka bicarakan."Siapa yang kecelakaan?" tanyaku lagi sembari menepuk lengan Ryan. Adik lelakiku itu pun menoleh. "Rina, Mbak. Anak sulungnya Bi Marni itu kecelakaan saat pulang sekolah." "Innalillahi ... sekarang di mana dia, Bu?" Aku beralih menatap kedua tetanggaku yang mengabarkan soal kecelakaan itu. "Dibawa ke klinik Amal Sehat, Mbak. Maaf tadi Bi Marni minta tolong saya buat sampaikan kabar ini sama Mbak Lana. Sepertinya Bi Marni bingung soal biaya soalnya tadi sempat mau pinjam uang ke saya, tapi tahu sendiri kalau suami saya juga belum gajian, Mbak." Bu Ambarr menunduk lesu sembari memilin ujung hijabnya. Aku tahu keadaan Bu Ambar tak jauh beda dengan Bi Marni. Mereka tetanggaan, hanya saja suami Bu Ambar bekerja sebagai tukang serabutan di pasar. Berbeda dengan suami Bi Marni yang sekarang terpaksa menjadi pengangguran setelah kec
"Mbak." Colekan Ryan membuatku sedikit tersentak. Entah apa yang diobrolkannya dengan Bi Marni tadi, jujur aku tak mendengarnya sama sekali. Sibuk dengan lamunanku sendiri. "Gimana, Mbak?" tanyanya kemudian. Aku mengernyit sembari meringis kecil. Jelas aku tak paham apa yang dia tanyakan. "Kebiasaan. Pasti ngelamun makanya nggak paham sama pertanyaanku. Iya kan?" tebak Ryan yang memang benar adanya. Tak banyak kata, aku hanya mengangguk pelan masih dengan senyum yang sama. "Mbak Lana itu apa-apa selalu ingat masa lalu. Sudahlah, Mbak. Masa lalu cukup dikenang, tak harus diingat terus apalagi yang sedih-sedih dan menyakitkan. Sekarang waktunya Mbak menikmati perjuangan yang Mbak Lana lakukan selama ini. Jangan terus disesaki dengan kenangan pahit masa lalu. Mbak jangan minder terus. Kehidupan kita sudah tak seperti dulu yang penuh air mata, Mbak. Jangan terus tenggelam pada kesakitan masa lalu hingga tak merasakan kebahagiaan yang sepantasnya kita rasakan. Sekarang waktunya kita ber
"Kamu! Ternyata masih kere juga ya!" Hinaannya membuatku mendongak seketika. "Tan-- Tante Lisa?!" ucapku bergetar. Tak menyangka akan kembali dipertemukan dengan perempuan yang kini berkacak pinggang di depanku. "Oh, kamu masih ingat saya?!" ketusnya sembari menunjuk dada. Ibu dan anak memang tak jauh beda. Sepertinya kata pepatah soal buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu memang benar. Buktinya wanita di depanku ini, sama persis angkuhnya dengan Riana. Iya, mereka memang ibu dan anak yang sejak dulu selalu menghinaku. Berawal saat aku pulang sekolah dengan buru-buru dan tak sengaja bertabrakan dengan Riana di pintu gerbang hingga dia terjatuh ke belakang, tas dan seragamnya kotor bekas air hujan. Saat itulah mamanya memakiku tak karuan, begitu pula anaknya. Sumpah serapah mereka lontarkan sampai akhirnya malaikat tak bersayap itu datang. Dia yang menengahi bahkan berjanji akan mengganti seragam dan tas itu jika memang nggak mau Riana memakainya lagi. Laki-laki itu, bagaimana mu
Sejak dulu Ryan memang menjadi yang terdepan untuk membelaku. Semoga saja Tante Lisa sudah pulang, supaya Ryan mengurungkan niatnya untuk berdebat dengannya. Ryan kembali dengan kecewa. Dia pun melangkah tergesa ke arahku yang masih melangkah perlahan untuk menyusulnya. "Sudah nggak ada di sana, Mbak," ucap ya lemas. "Lagian ngapain sih buang-buang waktu dan tenaga buat meladeni orang seperti itu, Yan. Ingat pesan ibu, jangan buat masalah sama orang. Kalau masih terkesan biasa, ya maafkan saja. Nggak perlu balas dendam segala. Minum nih!" Kuberikan botol air mineral yang dibelinya dari mini market tadi. Ryan meneguk hingga setengah botol lalu memasukkannya kembali ke dalam kresek putih. "Sesekali mau aku balas gitu, Mbak. Biar mereka nggak semena-mena lagi sama Mbak Lana. Tadi Mbak nggak balas apapun kan? Diam saja meski dicaci maki?" Ryan kembali menatapku dengan kesal. Seperti biasanya saat aku mendapatkan berbagai hinaan, diam saja memang senjata terampuhku. Namun, berbeda deng
"Ohya, gimana kabar kamu, Lan? Dengar-dengar ibu sudah meninggal, benar?""Alhamdulillah kabarku dan Ryan baik, Dik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Soal ibu ... memang benar ibu telah berpulang tiga tahun lalu," ujarku dengan senyum tipis, berusaha menghalau kedua mata yang mulai hangat. "Maaf nggak bisa ikut takziah ya, Lan. Kebetulan aku ada ujian tengah semester saat itu jadi nggak bisa pulang. Maaf juga kalau pertanyaanku ini membuatmu dan Ryan kembali mengingat duka itu." Aku mengangguk pelan sementara Ryan terlihat lebih rileks. Mungkin karena dia laki-laki, jadi tak terlalu dibawa perasaan tiap kali ada pertanyaan tentang ibu ataupun masa lalu kami yang pahit dulu. "Nggak apa-apa kok, Dik. Lagian juga sudah berlalu dan ibu InsyaAllah sudah tenang di sana," balasku. Kuhela napas panjang untuk menetralkan rasa. Dikta tampak manggut-manggut setelah mendengar jawabanku. "Ke sini sendirian, Mas?" tanya Ryan kemudian. Dia sengaja mengalihkan obrolan saat menatapku. Mungkin ta
"Aku antar pulang gimana?" tawar Dikta lagi membuatku dan Ryan saling tatap."Makasih deh, Mas. Kami jalan kaki saja, kebetulan mau mampir ke klinik dulu. Setelah itu baru pulang." "Siapa yang sakit, Yan?" Pertanyaan Dikta membuat Ryan menoleh ke arahku. "Tetangga, Mas. Anaknya kecelakaan, jadi aku sama Mbak Lana mau jenguk dulu sebelum pulang." "Oh gitu." Dikta kembali manggut-manggut."Eh, Lan. Jangan lupa minggu depan ikut reuni ya? Kalau kamu nggak ikut, aku juga nggaklah." "Kok gitu, Dik? Kamu ikut aja, bukannya tiap tahun kamu juga ikut ya?" tanyaku. Aku tahu soal itu dari Ike, siapa lagi. "Iya aku ikut dengan harapan ketemu kamu, tapi kamu absen terus. Nah, tahun ini aku ikut juga dengan harapan yang sama. Cuma sekarang sudah ketemu kamu, jadi nggak perlu berharap saat reuni kan?" Lagi-lagi aku menelan saliva. Hatiku mendadak berbunga mendengar ucapannya, tapi berusaha mengontrol gejolak rasa dalam dada. Aku pun menyembunyikan senyum yang muncul tiba-tiba. "Cieeee, kemba