"Dia Lana, kan? Siswa terpintar di SMA kita dulu? Nggak nyangka banget kalau sekarang cuma jualan nasi kuning!" pekik seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku. Aku masih ingat betul siapa dia. Riana, siswa tercantik dan terpopuler di SMAku dulu.
"Iya, dia Lana. Saingan terberatmu untuk mendapatkan Dikta," seru perempuan di sampingnya yang masih kuingat pula siapa namanya. Ratna, salah satu sahabat terbaik Riana."Videoin, Rat. Nanti kita kirim ke grup alumni. Biar mereka semua tahu, kalau nasib siswa paling berprestasi di sekolah kita dulu ternyata mengenaskan. Kita pikir setelah lima tahun menghilang, dia sudah kerja kantoran dengan ruangan berAC, berseragam dan dengan gaji jutaan seperti kita. Ternyata ... oh My God! Cuma menjadi penjual nasi kuning!" Riana kembali menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari geleng-geleng kepala, seolah pemandangan di depannya kali ini benar-benar membuatnya shock dan tak percaya."Bukannya ibunya dulu juga penjual nasi uduk, Rat? Wah, ternyata dia mewarisi bakat ibunya!" ucap perempuan dengan dres selutut itu lagi. Kedua perempuan yang masih berdiri beberapa langkah di depanku itu masih saling bicara, merekam aktivitasku yang mulai sibuk melayani beberapa orang yang datang ke lapak.Satu persatu kuberikan sebungkus nasi kuning itu pada mereka. Senyum bahagia pun terpancar di wajah-wajah mereka seperti biasanya. Tiga puluh nasi kuning sudah habis tak bersisa. Kuhela napas lega tiap kali melihat antusias mereka saat melihatku sudah berdiri di tempat ini setiap paginya. Mereka yang sudah kuanggap bagian dari keluarga setelah ibu tiada setahun yang lalu."Hai, Lan. Masih kenal aku kan?" Riana mulai mendekat saat aku membereskan keranjang nasi kuningku lalu meletakkannya di samping motor."Hai, Ri, Rat. Tentu aku masih kenal dan ingat. Bagaimana kabar kalian berdua?" balasku sembari mengulurkan tangan.Namun, kedua perempuan di depanku itu hanya saling pandang lalu mengedikkan bahu. Sama-sama mundur selangkah sebagai penolakan uluran tanganku. Cukup tahu diri, aku pun menarik tanganku kembali."Maaf ya, Lan. Bukannya menolak uluran tanganmu, hanya saja tanganmu pasti kotor. Belum cuci tangan kan? Sekali lagi maaf, kalau terkesan sok higienis, tapi--"Aku ngerti kok, Ri. Tak apa, santai saja," balasku lagi dengan senyum tipis."Oh, oke kalau kamu ngerti." Aku mengangguk lalu kembali melempar seulas senyum pada mereka berdua."Kok bisa sih kamu jadi penjual nasi kuning, Lan? Bukannya kamu dapat beasiswa buat lanjutin kuliah?" Ratna menimpali."Iya, memang saat itu aku dapat beasiswa, Ri. Hanya saja--"Nggak ada biaya buat kost, makan dan lain-lain? Aku ngerti kok kalau kamu kesulitan ekonomi. Bahkan aku juga tahu kalau saat SMA kamu harus bantuin ibu kamu jualan nasi uduk demi bisa bayar buku-buku dan uang saku kan?" Belum sempat menjelaskan, lagi dan lagi mereka memotong pembicaraan. Mau tak mau aku pun mengiyakan saja jawaban mereka yang memang ada benarnya.Aku sengaja tak mengambil beasiswa itu karena harus kuliah ke Jogjakarta, sementara saat itu kondisi ibu mulai sakit-sakitan. Tak mau ambil resiko, aku pun memilih kuliah di universitas swasta sembari bekerja membantu perekonomian keluarga. Aku tak mungkin tega membiarkan ibu bekerja sendirian di tengah sakit diabetes dan hipertensinya."Sayang banget ya, Lan. Padahal kamu pinter, selalu juara kelas bahkan sering mengikuti lomba antar sekolah. Ternyata masa depan seseorang itu tak tergantung dengan nilai akademiknya di sekolah. Buktinya sekarang kamu cuma penjual nasi kuning, mengikuti jejak ibu kamu yang hanya jualan nasi uduk waktu itu. Sementara aku dan Ratna yang nilainya di bawah kamu justru bisa kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kami juga bisa melanjutkan kuliah di kampus negeri seperti yang diidamkan banyak siswa," celoteh Riana dengan bangganya. Aku kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala."Benar kata kamu, Ri. Kita memang nggak bisa memprediksi masa depan. Dari sini kita bisa petik hikmahnya kalau nggak semua siswa berprestasi itu akan sukses di masa depan. Begitu pun sebaliknya."Kedua perempuan itu saling menimpali untuk menyudutkan dan mengejekku dengan sengaja. Lirikan mata dan senyum tipis mereka cukup membuatku paham bahwa lima tahun tak bersua ternyata tak mengubah sikap angkuh mereka berdua."Eh, Lan. Minta nomor handphone kamu dong. Di kelas kita, cuma kamu saja yang nggak masuk grup W******p loh. Tiap habis lebaran kami selalu ada reuni kecil-kecilan, kali aja nanti kamu bisa ikut. Teman-teman yang lain pasti heboh kalau kamu bisa menyempatkan waktu buat datang ke acara itu. Secara, selama ini kamu menghilang seperti ditelan bumi. Dengar-dengar kamu juga sudah nggak tinggal di rumah yang lama kan? Rumahmu terpaksa dijual demi pengobatan ibu kamu, benar?" Tak menyangka jika Riana juga tahu soal penjualan rumah itu. Mungkin dia sempat ke rumah dan tanya ke tetangga soal rumah penuh kenangan itu, entahlah."Iya, Ri. Maklumlah, saat itu kondisi ibu memang cukup parah dan aku nggak ada tabungan lain untuk biaya pengobatannya. Jadi, daripada menumpuk hutang lebih baik jual yang ada saja.""Kasihan hidup kamu ya, Lan. Semoga saja nanti kamu dapatkan ganti yang lebih daripada itu dan bisa dapatkan pekerjaan yang lebih baik juga. Btw, kami pergi dulu ya. Mau ke salon buat perawatan badan. Biasalah, tiap bulan wajib nyalon supaya badan terawat dan enak dipandang," balas Riana lagi sembari mengusap lenganku yang tertutup hijab panjang."Kamu juga harus nyisihin dana buat nyalon, Lan. Biar kelihatan fresh dan nggak tua sebelum waktunya." Ratna menimpali dan kujawab dengan anggukan kepala."Ohya, Lan. Kapan hari aku ketemu Dikta. Dia baru balik dari Jogja. Sempat tanya kabar kamu, tapi aku jawab nggak tahu. Nggak masalah kan ya misal nanti aku telepon dia dan kasih tahu soal kamu yang sekarang cuma jualan nasi kuning?" Riana tersenyum tipis ke arahku yang baru saja naik di motor matic andalanku.Aku hanya tersenyum tipis saat dua perempuan itu masuk mobil yang terparkir di seberang jalan. Andai mereka tahu apa pekerjaan dan berapa penghasilanku tiap bulan, mungkinkah mereka masih merendahkanku seperti ini?Apalagi jika mereka tahu hadirku di sini bukan untuk menjual nasi kuning melainkan memberi nasi kuning gratis tiap hari, mungkin sikap mereka tak akan seperti tadi.***Setelah menyelesaikan tugas wajib memberikan nasi kuning gratis di tempat biasa, aku pun buru-buru belanja ke pasar untuk mengisi kulkas. Sekalian belanja bahan-bahan untuk membuat nasi kuning esok hari. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh bungkus saja yang mampu kubuat setiap harinya. Sebenarnya jika aku mau, bisa saja beli jadi. Hanya saja aku belajar untuk menikmati prosesnya, sebab entah mengapa ada nikmat berbeda di tiap aktivitasnya. Setidaknya, dengan ini aku bisa terus merasakan kenangan bersama ibu dulu. Ibu yang berjuang sendirian membesarkanku dan adik lelakiku setelah bapak tiada. Ibu yang kini telah kembali ke sisiNya. Telur, tempe, bumbu-bumbu dapur, aneka sayuran, ayam dan ikan sudah lengkap di tas belanja. Tak lupa membeli kertas nasi yang hampir habis. Aku kembali memeriksa belanjaan dan kurasa cukup. Bahan untuk membuat nasi kuning pun lengkap. Aku biasa membuat nasi kuning dengan lauk orek-orek tempe campur kacang panjang, telur balado dan tumis mi. Cukup simple
Ike terus saja mengoceh di WhatsApp. Dia semakin geram saat Riana dan Ratna saling menimpali untuk menyudutkanku. [Aku sempat ketemu tetangga Lana, dia bilang Lana sudah nggak tinggal di rumahnya yang lama. Rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibunya yang kini sudah meninggal. Tragis sekali hidupnya kan? Sekarang dia mungkin tinggal di kontrakan sama adik lelakinya itu. Sebenarnya aku kasihan sih sama dia, apa kita open donasi saja ya, barang kali donasi kita bisa meringankan sedikit bebannya?]Aku kembali menggelengkan kepala saat membaca pesan yang dia kirimkan di grup. Ingin sekali kubalas pesannya, tapi aku yakin nanti akan semakin panjang. Sepertinya Riana memang sengaja memancingku keluar dan ikut menimpali obrolannya. Dia yang konon sudah sukses dengan pekerjaannya sebagai sekretaris. Gajinya jutaan dan sering mendapatkan bonus liburan dari atasan. [Beneran, Ri? Sekarang Lana di mana? Aku pengin silaturahmi ke kontrakannya dong kalau kamu tahu alamatnya] Pesan la
Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan. Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang meman
[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta] Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu ma
"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah. "Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengern
"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t