Share

DIKIRA PENJUAL NASI KUNING
DIKIRA PENJUAL NASI KUNING
Penulis: NawankWulan

BERTEMU KEMBALI

"Dia Lana, kan? Siswa terpintar di SMA kita dulu? Nggak nyangka banget kalau sekarang cuma jualan nasi kuning!" pekik seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku. Aku masih ingat betul siapa dia. Riana, siswa tercantik dan terpopuler di SMAku dulu.

"Iya, dia Lana. Saingan terberatmu untuk mendapatkan Dikta," seru perempuan di sampingnya yang masih kuingat pula siapa namanya. Ratna, salah satu sahabat terbaik Riana.

"Videoin, Rat. Nanti kita kirim ke grup alumni. Biar mereka semua tahu, kalau nasib siswa paling berprestasi di sekolah kita dulu ternyata mengenaskan. Kita pikir setelah lima tahun menghilang, dia sudah kerja kantoran dengan ruangan berAC, berseragam dan dengan gaji jutaan seperti kita. Ternyata ... oh My God! Cuma menjadi penjual nasi kuning!" Riana kembali menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari geleng-geleng kepala, seolah pemandangan di depannya kali ini benar-benar membuatnya shock dan tak percaya.

"Bukannya ibunya dulu juga penjual nasi uduk, Rat? Wah, ternyata dia mewarisi bakat ibunya!" ucap perempuan dengan dres selutut itu lagi. Kedua perempuan yang masih berdiri beberapa langkah di depanku itu masih saling bicara, merekam aktivitasku yang mulai sibuk melayani beberapa orang yang datang ke lapak.

Satu persatu kuberikan sebungkus nasi kuning itu pada mereka. Senyum bahagia pun terpancar di wajah-wajah mereka seperti biasanya. Tiga puluh nasi kuning sudah habis tak bersisa. Kuhela napas lega tiap kali melihat antusias mereka saat melihatku sudah berdiri di tempat ini setiap paginya. Mereka yang sudah kuanggap bagian dari keluarga setelah ibu tiada setahun yang lalu.

"Hai, Lan. Masih kenal aku kan?" Riana mulai mendekat saat aku membereskan keranjang nasi kuningku lalu meletakkannya di samping motor.

"Hai, Ri, Rat. Tentu aku masih kenal dan ingat. Bagaimana kabar kalian berdua?" balasku sembari mengulurkan tangan.

Namun, kedua perempuan di depanku itu hanya saling pandang lalu mengedikkan bahu. Sama-sama mundur selangkah sebagai penolakan uluran tanganku. Cukup tahu diri, aku pun menarik tanganku kembali.

"Maaf ya, Lan. Bukannya menolak uluran tanganmu, hanya saja tanganmu pasti kotor. Belum cuci tangan kan? Sekali lagi maaf, kalau terkesan sok higienis, tapi--

"Aku ngerti kok, Ri. Tak apa, santai saja," balasku lagi dengan senyum tipis.

"Oh, oke kalau kamu ngerti." Aku mengangguk lalu kembali melempar seulas senyum pada mereka berdua.

"Kok bisa sih kamu jadi penjual nasi kuning, Lan? Bukannya kamu dapat beasiswa buat lanjutin kuliah?" Ratna menimpali.

"Iya, memang saat itu aku dapat beasiswa, Ri. Hanya saja--

"Nggak ada biaya buat kost, makan dan lain-lain? Aku ngerti kok kalau kamu kesulitan ekonomi. Bahkan aku juga tahu kalau saat SMA kamu harus bantuin ibu kamu jualan nasi uduk demi bisa bayar buku-buku dan uang saku kan?" Belum sempat menjelaskan, lagi dan lagi mereka memotong pembicaraan. Mau tak mau aku pun mengiyakan saja jawaban mereka yang memang ada benarnya.

Aku sengaja tak mengambil beasiswa itu karena harus kuliah ke Jogjakarta, sementara saat itu kondisi ibu mulai sakit-sakitan. Tak mau ambil resiko, aku pun memilih kuliah di universitas swasta sembari bekerja membantu perekonomian keluarga. Aku tak mungkin tega membiarkan ibu bekerja sendirian di tengah sakit diabetes dan hipertensinya.

"Sayang banget ya, Lan. Padahal kamu pinter, selalu juara kelas bahkan sering mengikuti lomba antar sekolah. Ternyata masa depan seseorang itu tak tergantung dengan nilai akademiknya di sekolah. Buktinya sekarang kamu cuma penjual nasi kuning, mengikuti jejak ibu kamu yang hanya jualan nasi uduk waktu itu. Sementara aku dan Ratna yang nilainya di bawah kamu justru bisa kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kami juga bisa melanjutkan kuliah di kampus negeri seperti yang diidamkan banyak siswa," celoteh Riana dengan bangganya. Aku kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala.

"Benar kata kamu, Ri. Kita memang nggak bisa memprediksi masa depan. Dari sini kita bisa petik hikmahnya kalau nggak semua siswa berprestasi itu akan sukses di masa depan. Begitu pun sebaliknya."

Kedua perempuan itu saling menimpali untuk menyudutkan dan mengejekku dengan sengaja. Lirikan mata dan senyum tipis mereka cukup membuatku paham bahwa lima tahun tak bersua ternyata tak mengubah sikap angkuh mereka berdua.

"Eh, Lan. Minta nomor handphone kamu dong. Di kelas kita, cuma kamu saja yang nggak masuk grup W******p loh. Tiap habis lebaran kami selalu ada reuni kecil-kecilan, kali aja nanti kamu bisa ikut. Teman-teman yang lain pasti heboh kalau kamu bisa menyempatkan waktu buat datang ke acara itu. Secara, selama ini kamu menghilang seperti ditelan bumi. Dengar-dengar kamu juga sudah nggak tinggal di rumah yang lama kan? Rumahmu terpaksa dijual demi pengobatan ibu kamu, benar?" Tak menyangka jika Riana juga tahu soal penjualan rumah itu. Mungkin dia sempat ke rumah dan tanya ke tetangga soal rumah penuh kenangan itu, entahlah.

"Iya, Ri. Maklumlah, saat itu kondisi ibu memang cukup parah dan aku nggak ada tabungan lain untuk biaya pengobatannya. Jadi, daripada menumpuk hutang lebih baik jual yang ada saja."

"Kasihan hidup kamu ya, Lan. Semoga saja nanti kamu dapatkan ganti yang lebih daripada itu dan bisa dapatkan pekerjaan yang lebih baik juga. Btw, kami pergi dulu ya. Mau ke salon buat perawatan badan. Biasalah, tiap bulan wajib nyalon supaya badan terawat dan enak dipandang," balas Riana lagi sembari mengusap lenganku yang tertutup hijab panjang.

"Kamu juga harus nyisihin dana buat nyalon, Lan. Biar kelihatan fresh dan nggak tua sebelum waktunya." Ratna menimpali dan kujawab dengan anggukan kepala.

"Ohya, Lan. Kapan hari aku ketemu Dikta. Dia baru balik dari Jogja. Sempat tanya kabar kamu, tapi aku jawab nggak tahu. Nggak masalah kan ya misal nanti aku telepon dia dan kasih tahu soal kamu yang sekarang cuma jualan nasi kuning?" Riana tersenyum tipis ke arahku yang baru saja naik di motor matic andalanku.

Aku hanya tersenyum tipis saat dua perempuan itu masuk mobil yang terparkir di seberang jalan. Andai mereka tahu apa pekerjaan dan berapa penghasilanku tiap bulan, mungkinkah mereka masih merendahkanku seperti ini?

Apalagi jika mereka tahu hadirku di sini bukan untuk menjual nasi kuning melainkan memberi nasi kuning gratis tiap hari, mungkin sikap mereka tak akan seperti tadi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status