"Sebelumnya aku boleh cerita sedikit, Mas?" "Bolehlah. Selama ini justru aku ingin mendengar banyak cerita darimu. Sayangnya kamu lumayan tertutup." Aku kembali tersenyum tipis lalu meneguk teh yang kubuat sendiri untuk mengurangi kegugupan yang kurasakan. "Sampai saat ini aku memang hanya mencintai satu lelaki saja, Mas. Dia cinta pertamaku saat SMA. Dulu, hubungan kami cukup dekat meski nggak ada status pacaran di dalamnya. Sekadar sahabat, tapi sama-sama saling mencintai. Hanya saja keadaan memaksa kami untuk berpisah cukup lama. Mamanya belum merestui hubungan kami, karena itulah dia sengaja dikuliahkan di luar kota agar tak terus berhubungan denganku pasca SMA. Lima tahun berpisah, ternyata Allah kembali mempertemukanku dengannya."Mas Radit menghela napas. Sepertinya dia mulai paham ke arah mana jawaban yang akan kukatakan. "Kini, kami sama-sama sudah dewasa dan komit untuk memperjuangkan cinta ini sampai mendapatkan restu mamanya. Maaf jika aku harus menceritakan ini padamu,
"Mbak, motornya kenapa?" Ryan keluar rumah sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mendongak lalu kembali berdiri saat adik lelakiku itu mulai mendekat. "Rusak, Yan. Nggak tahu kenapa, padahal Mbak mau ke pasar belanja bahan-bahan nasi kuning besok. Katanya kamu juga mau bollen pisang sana lapis legit kan?" Ryan mengangguk lalu mengamati motor matic itu. Dia mencoba menstarternya, lalu kembali mematikannya. "Kayanya harus diservis, Mbak. Aku bawa ke bengkel dulu gimana?" tawarnya kemudian. Kulirik jam di tangan, nyaris menunjuk angka sembilan pagi dan itu artinya sudah cukup kesiangan. Kalau harus nunggu motor jadi lebih dulu, yang ada makin siang. Bahan-bahan yang kubutuhkan di pasar bisa habis diserbu para pedagang sayur atau emak-emak lain. "Malah bengong. Aku bawa ke bengkel Mas Bejo dulu ya, Mbak," ucap Ryan lagi lalu buru-buru masuk ke rumah. Dia kembali keluar dengan celana selutut dan kaos pendeknya. "Kamu bawa motornya ke bengkel, Yan, Mbak mau naik ojek online
"Jangan teriak atau mencoba melepaskan diri karena kami tak segan menyakitimu jika hal itu terjadi. Mengerti!" Aku tercekat seketika. Tak mampu memberontak saking takutnya saat salah seorang lelaki itu memperlihatkan pisaunya yang berkilau. Benar-benar mengerikan dan menakutkan. "Kalau kamu diam dan tak banyak protes, kamu akan baik-baik saja." Laki-laki yang duduk di samping kananku itu kembali menatapku tajam. Entah siapa dia, aku pun tak tahu. Saat ini aku benar-benar dilanda kekhawatiran dan ketakutan dengan mereka berdua. Aku takut mereka akan menculik dan minta tebusan seperti dalam film-film, atau mereka akan menjualku ke mucikari dengan harga khusus karena keperawan*nku? Apa yang harus kulakukan sekarang jika hal itu akan terjadi? Saat masih melamun dan berusaha mencari cara untuk kabur, tiba-tiba mataku mengantuk lalu terlelap begitu saja. Saat membuka mata, aku begitu shock karena berada di dalam kamar dengan ikatan kaki dan tangan yang terlepas. Kekagetanku semakin bert
POV : DIKTA [Aku sudah jawab pernyataan cinta dan rencana lamaran Mas Radit hari ini, Dikta.] Pesan dari Lana membuatku penasaran apa jawaban yang dia berikan pada laki-laki itu. Meski kuyakin jika Lana menolak cintanya, tapi rasa penasaran tetap saja kurasa. Takut jika Lana khilaf dan akhirnya menerima lamaran lelaki itu. Bukannya Allah yang membolak-balikkan hati setiap hamba? [Jawabanmu gimana, Lan?] Aku menunggu balasan dari Lana sebab dia mengetik terlalu lama. Semoga saja nggak ada penghalang hubunganku dengan Lana kecuali mama. Rasanya meluluhkan hati mama sudah terlalu sulit, jangan sampai ada lelaki lain yang menginginkannya juga. Beruntung Rizal pergi ke luar negeri, kalau dia masih di sini tentu akan bersaing dengannya juga. Meski kutahu cinta Lana hanya milikku, tapi tiap kali melihat tatapan Rizal pada perempuan yang kucintai itu, rasa cemburu mulai mengusik hatiku. Rizal benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa cintanya, seolah sengaja agar Lana tahu bagaimana peras
POV : DIKTA"Mau ke mana, Dikta? Ke rumah perempuan itu lagi?" tanya mama yang baru keluar kamar dengan rambutnya yang basah. "Iya, Ma. Mau ke rumah Lana. Sudah lama aku nggak ke sana kan?" Sengaja kutunjukkan seulas senyum pada mama yang tetap saja mencelos tak suka. "Kamu ini benar-benar dibutakan cinta, Dikta. Mama sampai capek nasehati kamu supaya nggak berhubungan dengan perempuan itu lagi," ujar mama dengan gemasnya. "Ma ... jodoh setiap hamba sudah ditulis olehNya sebelum kita dilahirkan. Jadi, mama tak perlu risau. Jika memang Lana bukan jodohku, nanti juga akan terpisah dan digantikan dengan perempuan yang tepat. Namun, jika dia memang jodohku, sekuat apapun mama melarang kami berhubungan dekat maka Allah tetap akan mendekatkan. Allah lebih berhak atas segalanya, Ma." Aku berujar pelan, setidaknya agar mama mengerti jika jodoh tak akan pernah ke mana. "Kamu ini, sudah pintar menasehati mama," balas Mama dengan napas kasar lalu menjatuhkan bobotnya yang ramping itu ke sofa
POV : DIKTA Aku berusaha menelpon Lana berulang kali, tapi nihil. Nomornya nggak aktif. Foto yang dikirimkan orang tak dikenal itu sangat meyakinkanku jika Lana tak baik-baik saja. Kemungkinan besar dia masih pingsan di kamar itu. Dan, Argh! Aku tak bisa membayangkan jika dia sengaja dijebak. Apa yang mereka lakukan pada Lanaku? "Mas, Mbak Lana disekap di perumahan Tirtasari," ucap Ryan setelah menerima panggilan entah dari siapa. Aku mengusap wajah kasar. Rasanya ingin segera mengha*ar siapapun dia yang sudah membuat Lana seperti ini. Aku jelas tak terima melihat Lana, perempuan polos dan baik hati itu diperlakukan sekeji itu. "Bang Edy masih di sana, Mas. Dia pemilik warung langgananku dan Mbak Lana di area pasar. Dia sudah foto beberapa orang yang keluar masuk rumah itu, hanya saja plat mobilnya sengaja nggak dipasang." Ryan berucap dengan tergesa lalu buru-buru mengunci pintu. Aku benar-benar tak menyangka jika penyekapan ini terjadi pada Lana. Pikiranku kacau. Mendadak curig
Pikiranku masih saja kacau. Aku benar-benar tak menyangka jika semua ini akan terjadi. Tak hanya sekamar dengan Mas Radit, tapi juga satu ranjang dengannya. Dia yang jelas tak memakai kaos saat kutemukan terlelap di sampingku. Ya Allah, apa maksud semua ini? Apa yang sudah dilakukannya padaku saat aku tak sadarkan diri? Aku benar-benar kalut melihat pakaian yang kukenakan berantakan. Ingin rasanya menolak pikiran burukku tentang laki-laki itu, tapi melihatnya seranjang denganku dengan kunci kamar di saku celananya, wajar jika aku curiga bukan? Bagaimana mungkin dia tak terlibat jika di rumah ini hanya ada aku dan dia saja? Bahkan dia yang memegang kunci pintu utama. Apakah semua ini balasan dari Mas Radit atas penolakanku tempo hari? Dia yang bilang baik-baik saja dan tetap menganggapku saudara meski kutolak cintanya, apa tega merencanakan hal busuk seperti ini padaku? Sebenarnya aku nggak yakin jika Mas Radit setega itu, tapi siapa lagi yang akan kutuduh sementara hanya dia saja di
[Kenapa semua pesanku hanya dibaca, Lan? Apa kamu mengira aku hanya kasihan sama kamu? Apa kamu pikir, aku akan meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Nggak, Lana. Hentikan dugaan-dugaanmu itu karena cintaku tak akan pernah berubah apapun yang terjadi. Kamu masih ingat dengan janji-janji itu kan? Kita akan melewati semua ujian cinta ini bersama-sama dan ini adalah bagian dari ujian itu. Aku menyayangimu di masa lalu, masa kini hingga masa yang akan datang. Percayalah, cinta itu tak akan pernah berubah dan berkurang] Pesan dari Dikta kembali muncul beruntun. Semua sudah terbaca dan lagi-lagi aku tak membalasnya. Aku tahu dia pasti mengharapkan balasan dariku, tapi apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterima kasih atas kesetiaannya? Atau aku harus terang-terangan memintanya mundur saja sebab aku yakin jika Tante Delima tahu masalah ini dia pasti semakin membenciku bahkan melarangku berhubungan dengan anak lelakinya itu. Baru saja mengingat wanita modis itu, tiba-ti