"Aku rasa, aku tidak tuli mendengar geraman Mas Bari di telepon tadi, cepat katakan, siapa yang mau Mas Bari habisi? Ya Tuhan, aku tidak percaya ini, Mas Bari yang begitu aku hormati bahkan sampai saat ini masih aku sayangi, adalah penjahat." Rumi sangat syok dengan pendengarannya. Niat ke kantor Bari untuk meluruskan masalah mereka dan menyelesaikan semua hubungan yang masih mengganjal ternyata membawanya melihat sosok lain Bari yang begitu mengerikan.
"K-kamu salah d-dengar, Rumi, m-me ...."
Bep! Bep!
Rumi menarik napas panjang lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Matanya membulat sempurna saat melihat nama Tiara yang ada di layar ponsel.
"Halo, Mbak, assalamualaikum."
"Maaf, saya Bu Luh Sekar tetangga dari Mbak Tiara. Mbak Tiara masuk rumah sakit, Mbak, tolong kemari segera. Semoga Mbak Tiara masih bisa tertolong."
"A-apa? K-kenapa Mbak saya?"
"Saya tidak tahu, Mbak. Dokter sedang memeriksa keadaan Mbak Tiara, cepat M
["Kamu yakin, Jo?"]["Yakin sekali, Pak. Informasi yang saya dapat cukup akurat. Lim bulan lalu keduanya menikah siri di sebuah masjid, tanpa sepengetahuan siapapun kecuali wali nikah Pak Supri namanya."]["Baik, Jo. Terima kasih atas informasi ini. Untuk sementara jangan lakukan apapun dulu, tunggu kabar dari saya."]Angkasa terdiam dengan mata berkaca-kaca. Kenapa Bari tega melakukan ini padanya, pada Rumi, dan pada Tiara? Angkasa merasa dadanya sesak dan tidak mampu berbicara. Dua petugas kepolisian dan wanita tetangga Tiara hanya bisa memandangnya dengan penasaran."Apa Pak Angkasa baik-baik saja?" tanya salah satu petugas itu."S-saya hanya sedikit lemas saja," jawab Angkasa yang tidak berani mengatakan apapun pada petugas kepolisian itu, karena jika ia mengatakannya maka Bari bisa saja langsung ditangkap untuk dimintai keterangan. Apakah ia tega pada anaknya sendiri? Keluarga besarnya tidak pernah sama sekali terbelit masalah hukum deng
Angkasa terjebak dengan ucapannya sendiri. Ia tidak menyangka Rumi berada di belakangnya tengah mendengarkan ucapannya dengan sangat jelas pada Bari. Rumi masih terus menatapnya, menanti jawaban yang keluar dari bibirnya."Sayang, kamu kenapa keluar? Ayo masuk lagi," ajak Angkasa pada Rumi. Namun Rumi menepis tangan suaminya dengan kasar."Kenapa pertanyaan saya tidak dijawab? Apa yang dilakukan Bari pada Mbak Tiara? Ceritakan, Bang, lengkap! Jangan ada yang ditutupi atau saya tidak akan pernah memaafkan Bang Angkasa." Pria dewasa itu menelan ludah sambil mengusap peluh yang membanjiri kening dan juga lehernya."Ayo kita masuk dulu. S-saya akan ceritakan semuanya di dalam. Tidak di sini karena nanti ditegur suster." Rumi berbalik badan tanpa menyahut ucapan suaminya. Dengan tubuh lemas dan hati hancur ia berjalan masuk ke dalam ruang perawatan VIP dan memilih duduk di sofa.Angkasa menutup pintu, lalu berjalan menyusul istrinya untuk duduk di
"Ya Tuhan, Bari. Apa … Oma ….” Bulan sangat sulit untuk meneruskan ucapannya. Napasnya terasa sesak dengan tubuh yang mendadak gemetar. Pengakuan cucunya membuatnya merasa ikut andil sebagai orang tua yang gagal mendidik cucunya.“Oma, Bari tidak mau dipenjara, Oma. Tolong Bari,” isak Bari dengan wajah ketakutan dan masih memeluk kedua kaki Bulan.“Lalu, waktu kamu melakukannya, apa yang ada di pikiran kamu? Kamu tidak takut Tuhan dan kamu dikuasai oleh setan. Oma tidak bisa menolong seorang pembunuh. Pergilah! Urus semua perkara ini dan jangan panggil saya Oma sampai semua masalah kamu beres.Bulan menepis tangan Bari dari kedua kakinya, lalu ia bangun dari duduk dan langsung berjalan meninggalkan lelaki yang telah menghancurkan hatinya, sekaligus nama baik keluarganya. Bari masih menangis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Omanya menolak menolongnya dan ia harus minta tolong pada siapa la
"Alhamdulillah Mbak sudah sadar," ujar Rumi dengan lembut saat mendekati brangkar Tiara. Wanita yang baru saja sadar dari komanya itu menatap Rumi dan Angkasa bergantian sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu mata Tiara kembali terpejam.Angkasa dan Rumi saling pandang dengan bingung. Angkasa memutuskan untuk berlari ke meja suster yang tidak jauh dari sana, lalu berseru, "sus, saudari saya kenapa pingsan lagi?" Perawat menghampiri brangkar Tiara, lalu memeriksa tekanan darah, denyut nadi dan juga memeriksa bola mata Tiara yang kembali terpejam."Sebaiknya Bapak dan Mbak tunggu di luar dahulu ya. Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa keadaan ini.""Tolong segera, Sus," ujar Angkasa tak sabar."Bang, Mbak Tiara ...." Rumi baru saja bisa bernapas lega karena Tiara siuman, tetapi harus kembali menelan kecewa karena kondisi Tiara yang nampak belum benar-be
Bari sudah tiba di rumah sakit dengan pengawalan ketat oleh tiga petugas kepolisian. Tangannya tetap diborgol, walau baju kausnya sudah diganti bukan dengan baju tahanan.Bari juga masuk lewat pintu belakang, guna menghindari pusat perhatian dari banyaknya pengunjung rumah sakit.Tiara masih terbaring lemah di brangkar ICU. Selang oksigen masih terpasang di hidungnya begitu juga beberapa alat yang menempel di dadanya. Tiara tak banyak bicara. Ia lebih banyak terlelap, walau kesadarannya sudah pulih cukup baik.Rumi, Xander, dan juga Angkasa sudah menunggu kedatangan Bari dengan tak sabar. Berkali-kali wanita itu menatap pintu lift yang terbuka, namun Bari tidak kunjung muncul. Benar saja, Bari masuk lewat tangga darurat di luar gedung."Selamat siang, Pak Angkasa, Pak Xander, dan Ibu Rumi. Tersangka sudah siap dipertemukan dengan korban. Maaf, kami sedikit terlambat karena ada kecelakaan di perjalanan tadi
"Bos baru kita sudah tiba," seru Frans pada beberapa temannya yang ada di ruangan besar itu. Semua orang menoleh dengan gugup ke arah pintu. Suara ketukan sepatu dari kejauhan, kemudian semakin dekat dan tepat berhenti di depan pintu.Cklek!Semua menahan napas, termasuk Tiara yang tengah memfotokopi beberapa berkas. Ia menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menunduk menyambut datangnya bos baru di perusahaan iklan yang sudah tiga tahun ini sudi menampungnya selama tiga tahun ini, walau hanya bekerja serabutan, seperti memfotokopi dan juga menjilid berkas.Tak jarang juga dia sebagai tenaga bersih-bersih di sana. Apapun Tiara lakukan agar dapat bertahan hidup dengan layak dan melupakan masa lalunya yang kelam."Selamat datang, Pak," seru semua staf dengan ramah."Terima kasih," jawab pria itu dengan suara begitu dalam, tetapi juga tidak terlalu kencang."Ruangannya di sebe
Kita mulai semua dari awal sebagai suami istri, Mbak mau'kan?""Tidak! Urusan kita sudah selesai!""Sejak kapan? Saya tidak merasa pernah menyelesaikannya.""Sejak kamu membunuh bayi-bayiku.""Hhah ... hhah!" Tiara terbangun duduk dengan keringat membanjiri tubuhnya. Mimpi berdebat dengan Bari;mantan suaminya yang tiba-tiba muncul sebagai bos di kantornya. Bukan mantan, mungkin masih suaminya, karena lelaki itu memang tidak pernah mengucapkan talak untuknya. Namun waktu dua tahun yang sudah ia lewati sendiri, bukankah menggugurkan statusnya sebagai istri?Tiara meremas rambutnya yang basah. Kepalanya menoleh ke kanan dan melihat kipas angin kecil kesayangannya tidak berputar lagi. Pantas saja udara di dalam ruangan sangat sesak."Ya ampun, baru jam tiga subuh," gumamnya sambil beranjak turun dari kasur busa yang memang sudah ada di lantai. Tidak ada dipan sebagai alasnya dan Tiara tidak pernah keberatan untuk menempati gudang di kantornya, w
"Mm ... baiklah kalau Mbak tidak mau, mungkin dengan menemani suamimu ini makan siang, dia akan berubah pikiran," kata Bari lagi sambil memperlihatkan seringai tampannya. Jika dahulu kala lelaki di depannya ini bisa tersenyum seperti itu, mungkin ia akan meleleh seketika. But, sekarang, seringai itu sangat memuakkan bagi Tiara."Bersikaplah profesional karena ini di kantor. Jika tidak ada yang ingin ...." Tiara merasa tubuhnya melayang saat diseret paksa oleh Bari keluar dari ruangannya."Pak Dion, Rafli, saya ada meeting sebentar, saya pinjam Tiara untuk saya suruh-suruh di sana nanti. Ayo, Tiara!" Wanita itu tak bisa mengelak karena semua mata tengah memandangnya, termasuk Restu yang baru kembali sambil membawa beberapa bungkus es kopi.Clek!"Mau masuk sendiri, atau saya gendong!" ancam Bari sambil berbisik. Pria itu sudah membukakan pintu mobil untuk Tiara, tetapi wanita itu masih memaku kedua kakinya; enggan untuk masuk ke dalam mob