Bari sudah tiba di rumah sakit dengan pengawalan ketat oleh tiga petugas kepolisian. Tangannya tetap diborgol, walau baju kausnya sudah diganti bukan dengan baju tahanan.Bari juga masuk lewat pintu belakang, guna menghindari pusat perhatian dari banyaknya pengunjung rumah sakit.Tiara masih terbaring lemah di brangkar ICU. Selang oksigen masih terpasang di hidungnya begitu juga beberapa alat yang menempel di dadanya. Tiara tak banyak bicara. Ia lebih banyak terlelap, walau kesadarannya sudah pulih cukup baik.Rumi, Xander, dan juga Angkasa sudah menunggu kedatangan Bari dengan tak sabar. Berkali-kali wanita itu menatap pintu lift yang terbuka, namun Bari tidak kunjung muncul. Benar saja, Bari masuk lewat tangga darurat di luar gedung."Selamat siang, Pak Angkasa, Pak Xander, dan Ibu Rumi. Tersangka sudah siap dipertemukan dengan korban. Maaf, kami sedikit terlambat karena ada kecelakaan di perjalanan tadi
"Bos baru kita sudah tiba," seru Frans pada beberapa temannya yang ada di ruangan besar itu. Semua orang menoleh dengan gugup ke arah pintu. Suara ketukan sepatu dari kejauhan, kemudian semakin dekat dan tepat berhenti di depan pintu.Cklek!Semua menahan napas, termasuk Tiara yang tengah memfotokopi beberapa berkas. Ia menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menunduk menyambut datangnya bos baru di perusahaan iklan yang sudah tiga tahun ini sudi menampungnya selama tiga tahun ini, walau hanya bekerja serabutan, seperti memfotokopi dan juga menjilid berkas.Tak jarang juga dia sebagai tenaga bersih-bersih di sana. Apapun Tiara lakukan agar dapat bertahan hidup dengan layak dan melupakan masa lalunya yang kelam."Selamat datang, Pak," seru semua staf dengan ramah."Terima kasih," jawab pria itu dengan suara begitu dalam, tetapi juga tidak terlalu kencang."Ruangannya di sebe
Kita mulai semua dari awal sebagai suami istri, Mbak mau'kan?""Tidak! Urusan kita sudah selesai!""Sejak kapan? Saya tidak merasa pernah menyelesaikannya.""Sejak kamu membunuh bayi-bayiku.""Hhah ... hhah!" Tiara terbangun duduk dengan keringat membanjiri tubuhnya. Mimpi berdebat dengan Bari;mantan suaminya yang tiba-tiba muncul sebagai bos di kantornya. Bukan mantan, mungkin masih suaminya, karena lelaki itu memang tidak pernah mengucapkan talak untuknya. Namun waktu dua tahun yang sudah ia lewati sendiri, bukankah menggugurkan statusnya sebagai istri?Tiara meremas rambutnya yang basah. Kepalanya menoleh ke kanan dan melihat kipas angin kecil kesayangannya tidak berputar lagi. Pantas saja udara di dalam ruangan sangat sesak."Ya ampun, baru jam tiga subuh," gumamnya sambil beranjak turun dari kasur busa yang memang sudah ada di lantai. Tidak ada dipan sebagai alasnya dan Tiara tidak pernah keberatan untuk menempati gudang di kantornya, w
"Mm ... baiklah kalau Mbak tidak mau, mungkin dengan menemani suamimu ini makan siang, dia akan berubah pikiran," kata Bari lagi sambil memperlihatkan seringai tampannya. Jika dahulu kala lelaki di depannya ini bisa tersenyum seperti itu, mungkin ia akan meleleh seketika. But, sekarang, seringai itu sangat memuakkan bagi Tiara."Bersikaplah profesional karena ini di kantor. Jika tidak ada yang ingin ...." Tiara merasa tubuhnya melayang saat diseret paksa oleh Bari keluar dari ruangannya."Pak Dion, Rafli, saya ada meeting sebentar, saya pinjam Tiara untuk saya suruh-suruh di sana nanti. Ayo, Tiara!" Wanita itu tak bisa mengelak karena semua mata tengah memandangnya, termasuk Restu yang baru kembali sambil membawa beberapa bungkus es kopi.Clek!"Mau masuk sendiri, atau saya gendong!" ancam Bari sambil berbisik. Pria itu sudah membukakan pintu mobil untuk Tiara, tetapi wanita itu masih memaku kedua kakinya; enggan untuk masuk ke dalam mob
Bari nyaris sampai di depan gudang saat pintu gudang itu dibuka dengan kasar. Bari langsung terdiam di tempat, memikirkan apakah Tiara memiliki telepati atau CCTV yang terpasang sehingga mampu melihat pergerakannya di dalam gelap seperti ini.Rupanya Tiara tak benar-benar melihatnya, wanita itu baru saja mengeluarkan satu kantong kresek, lalu ia masukkan ke dalam tempat sampah yang ada di depan gudang."Ehm!" Bari berdeham."Astaghfirullah!" pekik Tiara terlonjak kaget. Matanya melotot lebar saat mengetahui siapa yang ada di depannya malam-malam seperti ini. Ditambah keadaan kantor sudah sepi dan tidak ada penjaga selain Mang Parjo.Lekas ia mundur, lalu segera menutup pintu, namun sayang, kedua tangan kekar Baru sudah terlebih dahulu menahan pintu. Keduanya pun terlibat aksi saling dorong dan sudah jelas siapa yang kalah, tentulah Tiara."Kamu mau apa? Pergi dari sini!" teriak Tiara dengan amarah yang perlahan memuncak.
Prak!Tiara melemparkan sebuah buku besar jauh darinya. Fokus dua perampok itu pun terpecah dan segera berlari menuju arah suara yang ditangkap oleh mereka.Ruangan yang dalam keadaan remang dan memang berantakan penuh buku, membuat dua perampok itu tak sadar bahwa dari belakang tubuh mereka ada Tiara yang berjalan dengan kaki telanjang secara cepat dengan mengendap-ngendap keluar dari gudang.Tiara berlari cepat menuruni anak tangga dengan keringat bercucuran. Sayang sekali ia tidak bisa keluar dari pintu depan, Tiara berbalik dan berlari menuju pintu belakang yang ternyata sudah didobrak.Ia masih berlari ke jalan raya dan berhenti tepat di depan gedung kantornya. Mang Parjo yang biasa bertugas jaga malam tidak ada dan sangat tumben sekali jalanan juga sangat sepi.Tanpa sengaja, Tiara menoleh ke arah jendela lantai empat tempat gudang berada dan dari jendela, Tiara melihat salah satu orang perampok juga tengah melihat kearahnya
Bisa tolong bukakan pintu apartemennya? Kunci kartunya sedang rusak, jadi harus dipencet," ujar Bari meminta tolong pada Tiara."Memangnya aku siapa? Mana aku tahu kode masuk ke apartemen kamu," balas Tiara sambil memutar bola mata malasnya.Bari sedikit mendekat, membuat jantung Tiara kembali pada keadaan tidak sehat. Wanita itu sedikit bergeser karena canggung."Tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahiran Mbak," bisik Bari sontak membuat Tiara menatap lelaki itu dengan tidak percaya."Ya Tuhan, bualan apa ini? Sudahlah, aku mau pergi saja, cari penginapan biasa saja." Tiara merampas tas jinjing dari tangan Bari, tetapi tangan lelaki itu berayun hingga tas Tiara berada di atas kepalanya. Sosok Bari yang memiliki tinggi 180 centimeter, tentulah tak sebanding dengannya yang hanya memiliki tinggi 156 centimeter. Tiara tidak bisa meraih kembali tasnya."Kamu mau menginap di mana? Ini sudah jam setengah dua malam. Kamu juga
Tiara belum sempat makan sore sejak kemarin, ditambah malam harinya terjadi perampokan di kantor yang ia tinggali. Napsu makan itu pun menguap, hingga keesokan harinya, Tiara terbangun dalam keadaan perut yang sakit.Dengan lemas ia berjalan keluar kamar dan tertatih menuju dapur. Sebenarnya ia tidak mau makan makanan dari rumah Bari, tetapi perutnya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Sakit lambungnya kambuh dan kini ia tidak membawa obat yang biasa ia minum. Obat itu tertinggal di gudang kantor.Tiara bernapas lega saat menemukan rice cooker yang tersambung ke listrik. Ia membukanya dan menemuka nasi hangat dengan aroma menggoda. Tiara kini berjalan ke arah kulkas untuk melihat telur. Ia akan menggoreng telur saja untuk mengisi perutnya yang sakit. Sayang sekali, ia bingung cara membuka kulkas Bari yang besarnya seperti lemari baju."Ssst ...." rintihnya sambil berpegangan pada dinding dapur.Clek!Bari keluar dari kamar dengan baju K