"Kalau ... ehm, itu ... dengan istri, apa sudah boleh?" Sedikit gugup, Mas Arsya berucap. Mataku membulat. Pertanyaan laki-laki yang botak sebelah itu membuatku sangat malu. Apalagi, tanggapan sang dokter yang blak-blakan, membuat perawat yang ada di belakangnya ikut menahan senyum."Boleh, Pak. Asal pelan-pelan saja." Dokter itu menepuk pelan bahu Mas Arsya. Aku spontan menunduk, menyembunyikan wajah yang pastinya sudah memerah. Duh, suamiku! Maluku menjadi berlipat ganda saat seorang laki-laki dengan kaus merah tertawa cekikikan di ambang pintu kamar rawat ini setelah dokter dan perawat yang memeriksa Mas Arsya pergi. Aku tidak tahu sejak kapan Mas Danu ada di sana. Apa mungkin dia mendengar pertanyaan Mas Arsya kepada dokter tadi? Duh, ingin rasanya aku menggunakan jurus menghilang yang pernah diajarkan Naruto dalam mimpi. Setelah kecelakaan, suamiku menjadi aneh. Apa mungkin ada otaknya yang bergeser dari tempat semula?Astaga! Aku menepuk jidat sendiri. Bisa-bisanya aku berpi
Pagi ini, aku tidak bisa menutupi gelisah. Rencana kedatangan Mama hari ini membuatku kepikiran. Meskipun sosoknya belum terlihat, aku sudah sangat takut. Aku tidak ingin dipisahkan dari Mas Arsya.Selepas memastikan Mas Arsya sarapan dan minum obat, aku mondar-mandir sendiri di kebun belakang rumah. Memetik cabai dan tomat untuk membuat sambal, hanya sebagai alasan klise. Aku tidak ingin Mas Arsya cemas. Mata ini tiba-tiba menangkap sosok Mas Mas Arsya. Dia berjalan mendekat dari arah pintu dapur. Senyumnya yang begitu mania selalu mengembang sekarang. Namun, laki-laki itu berjalan melewatiku tanpa berkata, lalu berhenti di depan pohon pisang. "Pohon pisang ini, pohon yang sangat baik dan tidak peduli diri sendiri. Dia cuma berpikir, bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk makhluk hidup lain. Bayangan saja, setelah satu kali berbuah, dia pasti akan mati. Namun, daunnya masih bisa dimanfaatkan, buahnya bisa dimakan, dan dia sudah menumbuhkan tunas baru untuk menggantikan tugasnya ya
Mas Arsya sekalian mengajakku memeriksakan kandungan bersamaan jadwal kontrolnya. Kondisi Mas Arsya sudah sangat baik, tapi dokter memberikan surat rujukan untuk bisa kontrol di rumah sakit lain setelah kami mengatakan akan kembali ke Jakarta. Pun kondisi kehamilanku normal, sehingga sudah diperbolehkan melakukan perjalanan menggunakan pesawat. Aku rindu juga dengan suasana ibu kota negara tercinta ini. Apalagi dengan Bi Narti dan Kaniya. Mereka pasti juga merindukanku. Aku meminta Mas Arsya untuk tidak memberitahu kepulangan kami kepada asisten rumah tangga itu agar menjadi kejutan. Saat sedang berbenah, Mas Arsya melarangku membawa semua pakaian. Katanya, biar kalau kami kembali ke Jogja, tidak perlu membawa pakaian lagi. "Tapi, Mas. Bajuku di rumah Mas udah nggak ada. Dulu, aku bawa semua," bantahku. "Siapa suruh kamu kabur?" sahutnya menyebalkan. Dia malah mengungkit kesalahanku. "Siapa dulu yang mulai? Main rahasia-rahasiaan pula! Mana setiap hari aku dibikin sakit hati, dik
Aku merasakan sentuhan lembut di kepala, tapi mata ini masih enggan terbuka. Lelah di perjalanan tadi membuatku tidur sangat nyenyak. Telinga ini terasa seperti ditiup-tiup berulang kali, tapi masih tak kuhiraukan. Aku sedang dalam posisi tidak mau diganggu. "Ada kecoa!" Kecoa? Aku gelagapan saat mendengar nama hewan kecil itu disebut. Bulu-bulu halus di tangan langsung berdiri semua. Namun, saat bangkit dengan buru-buru dari tidur, aku disambut dengan pelukan dari Mas Arsya. Dia sudah duduk manis di tepian tempat tidur. "Cepet usir kecoanya, Mas! Aku geli," ucapku cepat sambil menenggelamkan wajah pada dada Mas Arsya. "Kecoanya banyak, Nda. Aku juga geli. Ini pasti Bi Narti bersihin kamarnya asal, deh," gerutu Mas Arsya. Pelukannya justru makin kencang. Aku pun lantas berteriak, memanggil Bi Narti dan menyuruhnya mengusir hewan pengganggu itu. Rasanya enggan menarik diri dari pelukan Mas Arsya jika masih ada kecoa yang berkeliaran. Hewan kecil itu sebenarnya tidak menakutkan, ta
Mas Arsya mengatakan jika pagi ini, Mama akan datang berkunjung. Dia juga mengingatkan agar aku bersiap karena harus datang ke persidangan pertama Jihan. Gadis itu rupanya sudah ditahan sejak dua pekan yang lalu karena semua bukti yang diperlukan pihak kepolisian sudah komplet. Aku sebenarnya tidak tega, tapi hukum sudah berjalan dan semuanya harus jelas. Ada rasa takut yang masih melekat di hati, tapi pengacara yang mengurus kasus kami dengan Jihan, sudah mengarahkanku untuk mengatakan apa saja yang diperlukan. Terkadang, aku sadar jika hati ini begitu rapuh. Namun, ada saatnya aku harus tetap waras dengan memperlihatkan tawa di depan banyak orang. Konyol memang, tapi saat aku bersama Mas Arsya yang sekarang, sikap Amanda berubah drastis. Seperti orang yang awalnya garang, bisa berubah begitu manis. Lalu, orang yang awalnya penyabar, bisa berubah menjadi pemarah. Itu memang bukan watak bawaan, tapi cenderung ekspresi pada kenyataan yang dialami. Dan aku sekarang memilih untuk meni
Hari ini, hari terakhir cuti Mas Arsya. Tepat satu bulan lamanya dia tidak bekerja. Ria harus kembali ke tempat kerjanya untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai sebelum akhirnya mengajukan resign. Mas Arsya sudah bertekad untuk mengajakku pindah meskipun rencana itu belum terlalu matang. Ditambah lagi, permintaan Mama dan Papa yang menambah dilema. Mama meminta Mas Arsya membantu di perusahaan Papa dan mengajak kami untuk tinggal bersama di rumah mereka. Aku sendiri juga bingung, tapi semua keputusan kuserahkan kepada Mas Arsya. Dia pasti mencari solusi yang terbaik. Lagi pula, hubunganku dengan Mama memang sudah lebih baik meskipun masih ada rasa canggung saat bertemu. "Kalau Sayang bersedia, kita akan pindah ke rumah Mama sama Papa. Kamu baru sekali ke sana, 'kan, setelah kita menikah?" cetusnya saat kami sedang bercengkrama di depan televisi yang menyala. Mendengar ucapan Mas Arsya, aku justru menunduk. Masih ada sedikit keraguan jika harus tinggal bersama Mama dan Papa. Ak
Aku dan Mas Arsya terpaksa menerima permintaan Mama untuk menginap. Kami tidak enak menolak karena ini adalah kali pertama aku tidur di rumah mertua sejak menikah dengan Mas Arsya. Dulu, acara ngunduh mantu dilaksanakan di rumah Mas Arsya dan aku hanya sempat diajak satu kali saja di rumah besar ini untuk bertemu keluarga besar. Itu pun tidak menginap.Mama benar-benar sudah berubah sikap terhadapku. Namun, seperti masih ada ganjalan di hati mengenai apa alasan beliau. Bukannya ingin berprasangka buruk kepada mertua, tapi memang keraguan belum mau enyah dari pikiran. "Belum tidur?" Mas Arsya muncul dari balik pintu yang baru saja terbuka. Aku menggeleng pelan, lalu berkata, "Nggak bisa tidur. Mungkin karena belum terbiasa aja sama tempat ini. Aku orangnya susah buat adaptasi."Mas Arsya lantas naik ke tempat tidur, di sampingku. "Kalau ada aku, harusnya bisa tidur nyenyak di mana pun."Kamu duduk berdampingan, lalu kusandarkan kepala di lengannya. Kehadirannya memang sangat berarti.
Bi Narti mengoceh panjang saat aku datang. Katanya ada tamu semalam, tapi saat diminta menunggu untuk menghubungiku atau Mas Arsya, orang itu memilih pergi. Bi Narti juga belum sempat menanyakan nama orang itu. Aku memilih masuk kamar saat Bi Narti menawari makan siang. Tadi, aku sudah makan di acara arisan dengan Mama. Jadi, rasanya masih cukup kenyang. Aku lantas berganti pakaian rumahan yang lebih nyaman dan bergegas mengambil wudu. Sudah pukul satu siang, sedangkan aku belum salat Zuhur. Aku masih saja kepikiran dengan sikap Mama. Apa yang sebenarnya membuat dia marah? Kenapa meskipun sudah dijelaskan, prasangkanya terhadapku masih saja ada? Adam? Apa mungkin Mama ada masa lalu buruk dengan laki-laki itu? Atau masih ada hubungannya dengan Jihan? Ah, memikirkan itu membuatku kembali dilanda kebingungan. Terserah saja Mama mau menganggapku seperti apa, yang penting tuduhan itu tidaklah benar. Usai salat, pintu kamarku diketuk, lalu diikuti panggilan dari Bi Narti. Aku pun berge