PoV ArsyaDua hari sudah, aku hanya terbaring di tempat tidur. Tubuh menggigil dan perut yang sangat tidak nyaman membuatku sulit untuk menerima makanan sehingga tubuh terasa makin lemas saja. Untungnya ada Manda yang merawatku dengan sangat telaten. Dia sama sekali tidak meninggalkanku. Ternyata, aku bisa tumbang juga. "Mas sarapan dulu, ya." Manda sudah siap dengan satu piring bubur di tangan. Meskipun sebenarnya malas makan, aku tidak pernah bisa menolak saat Manda akan menyuapi. Aku tidak ingin menambah kekhawatirannya dan ingin lekas sembuh. Lagi pula, saat melihat senyumnya, makanan yang rasanya hambar, bisa begitu nikmat. Lagi pula, aku memang harus mengisi lambung setelah setengah jam yang lalu minum obat yang dianjurkan sebelum makan. "Aku sempet mikir. Apa lebih baik Mas Arsya sakit aja kayak gini biar nggak bisa ke mana-mana? Tapi, aku pikir-pikir lagi, nggak enak kalau Mas di rumah dan nggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan, cium aku aja jarang banget sekarang." Tiba-tiba, Ma
PoV ArsyaAku tidak boleh banyak bergerak setelah opsi operasi dilakukan. Itu semua karena hasil USG menyatakan jika terjadi lambung bocor dan membuatku sempat berada pada masa kritis. Alhamdulillah, sekarang aku sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah observasi pasca operasi selesai dan kesadaran benar-benar pulih. Namun, untuk sekadar bicara saja, aku masih kesulitan karena napas yang terasa berat. Tampak Manda menemaniku dengan kedua mata yang bengkak. Sepertinya, dia tadi menangis cukup lama. Ada juga Mama yang duduk di sofa dengan mata tertutup. Saat aku mengedar pandangan di ruangan ini, jam di dinding menunjuk angka sebelas untuk jarum pendeknya. Pun, dari suasana sepertinya sudah malam. Perlahan, aku mengulurkan tangan kanan untuk menyentuh wajah Manda. Namun, rasa sakit menyentak di perut sehingga aku mengurungkan niat. "Mas nggak usah gerak dulu. Nggak usah ngomong juga. Sekarang, Mas istirahat lagi saja. Aku akan di sini buat jagain Mas." Mendengar ucapan Manda, aku ju
PoV ArsyaSepulang dari makan siang dengan Manda, aku mendapat undangan untuk menghadiri sidang putusan kejahatan Tedi Bagaskara. Aku ditunjuk menjadi saksi sekaligus korban atas semua yang dilakukan teman SMA Manda itu. Tidak hanya aku, Manda pun mendapat undangan yang sama karena dia pernah menjadi korban penculikan saat di Puncak. Prosesnya ternyata cukup lama. Dari sejak laki-laki itu ditangkap hingga satu bulan lebih terlewat, sidang baru diadakan. Ya, hampir sama dengan saat Jihan dulu. Pengumpulan bukti-bukti itu butuh waktu. "Mas, apa aku harus ikut?" tanya Manda ragu-ragu. "Iya, Sayang. Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran. "Aku takut aja. Dulu waktu aku dateng pas sidangnya Mbak Jihan, aku—""Jangan mikir kejauhan, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Lagian, dia udah ditangkap. Nggak akan mungkin bisa ngapa-ngapain," selaku, menghentikan ucapannya. Manda mengangguk kecil. Kemudian, dia melangkah masuk ke kamar meninggalkanku di ruang tengah sendiri. Hari ini, Mama dan Pa
PoV ArsyaSejak bangun tidur Subuh tadi, aku melihat Manda yang sepertinya gelisah. Entah sudah berapa kali dia mondar-mandir keluar-masuk kamar mandi sampai sekarang. Bahkan, baru saja aku selesai mandi, dia kembali menyerobot masuk kamar mandi. Namun, tidak sekali pun dia memberitahu apa yang dirasakan. "Sayang kenapa?" tanyaku saat dia dengan lesu duduk di tepi tempat tidur usai dari kamar mandi."Nggak enak banget rasanya, Mas. Pengen pipis terus, tapi pas di kamar mandi, keluarnya dikit banget. Kayak orang bingung jadinya. Perut begah banget juga," jawabnya seperti putus asa. Aku jadi tidak tega meninggalkannya bekerja kalau seperti ini. Apa mungkin karena lelah seharian kemarin? Aku lalu memgambil ponsel dan akan menghubungi Sofyan, tapi Manda melarang. Katanya, dia mulai tidak nyaman kalau diperiksa laki-laki, meskipun seorang dokter juga. Aku pun memilih keluar dari kamar dan menemui Mama. Siapa tahu beliau mengerti dengan apa yang dirasakan Manda. Begitu mendengar ceritaku
PoV ArsyaManda tengah sibuk memilih dan memilah pakaian. Hampir semua yang dia keluarkan dari lemari, tertumpuk asal di tempat tidur. Padahal, aku sudah siap dari satu jam yang lalu, sedangkan dia masih belum beres hanya untuk menentukan pakaian yang akan dikenakan. Aku geleng-geleng sendiri melihat kelakuannya. Manda seperti bukan dia yang biasanya. Tidak pernah sebelumnya, dia memilih pakaian sampai seperti itu. "Sayang masih lamakah?" tanyaku yang duduk di depan meja rias sambil bertopang dagu. Manda menoleh sambil cemberut. "Aku nggak punya baju, Mas," rengeknya manja. Apa dia bilang? Tidak punya baju? Lalu, baju siapa. yang bertumpuk di tempat tidur itu? Ada-ada saja Manda itu. "Itu banyak, Sayang." Aku menunjuk tumpukan pakaiannya. "Aku nggak ikut, deh," ucapnya memelas, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Sayang, kok, gitu, sih? Aku udah nunggu sejam ini. Masa' iya aku dateng ke undangan pertemuan antar perusahaan sendirian? Terus pas liat tamu yang lain bawa pasangan, ak
PoV ArsyaManda membantu menyiapkan barang bawaanku semenjak selepas Subuh tadi. Hari ini, aku akan ke proyek resort kedua bersama Pak Zaidan dan tim untuk peletakan batu pertama siangnya. Ya, hanya formalitas saja sebenarnya karena ada beberapa media yang akan meliput proses itu dan menjadi awal dimulainya pembangunan. Kemudian, untuk malamnya akan diadakan konferensi pers tentang rencana pembangunan resort itu. Aku tidak membayangkan jika proyek yang aku jalankan bisa menarik perhatian publik. Ini kali pertama aku mangalami dan sedikit banyak karena kontribusi dari perusahaan Pak Zaidan. "Mas nanti pas di sana, jangan telat makan. Aku bawain kue, kalau laper, bisa dimakan dulu buat ganjel perut. Terus, vitaminnya jangan lupa diminum, soalnya Mas udah nggak konsumsi obat dari dokter. Kalau capek istirahat, jangan dipaksain kerja. Pokoknya—""Pokoknya, aku akan inget semua pesan Sayang." Aku menyambung ucapannya. "Rasanya berat banget biarin Mas nginep di luar kota pas mendekati HP
PoV ArsyaBerita kelahiran Syifa sudah tersebar di berbagai media sosial maupun elektronik. Ya, Manda memberi nama putri kami Asyifa, yang artinya penyembuh. Sementara aku menambahkan nama Hanin yang berati pemilik kasih sayang. Untuk nama Adnan, aku memberikannya sama seperti Afkar, yang berarti penenang hati. Memang anak adalah penyembuh dan penenang untuk orang tua. Seperti kehadiran Afkar dan Syifa, keduanya akan melengkapi kehidupan keluarga kecilku dengan kebahagiaan dan ketenangan. Di hari kedua kelahiran Syifa ini, Manda sudah bisa belajar duduk. Dia juga bisa menyusui putri kecil kami yang rupanya sangat lapar. Anak itu sangat nyaman di pangkuan sang bunda dan menikmati ASI dengan rakus. "Mas, kapan aku sama Syifa boleh pulang? Aku kangen Afkar," ucap Manda saat aku akan menyuapinya. "Belum tahu, Sayang. Nanti, aku tanya Sofyan. Sekarang, kamu sambil makan, ya. Syifa minum ASI-nya banyak banget," jawabku. Manda menerima suapan dariku dengan senyum. Tak lama, Syifa juga s
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S