"Mbak, tolonglah aku ...." Nada suara Kayla terdengar putus asa.Sabrina menggeleng keras, berpikir selogis mungkin dan mengedepankan akal sehat. Saat ini, hati nurani harus mengalah terlebih dahulu agar hidupnya ke depan tidak makin runyam."Maaf, Kay, aku tidak bisa menemanimu ke luar negeri. Aku mungkin bisa memberi bantuan lain, tapi tidak untuk mengantar mamimu berobat.""Mbak Bina nggak kasihan sama aku? Papiku tergila-gila sama perempuan muda. Mamiku stress karena perempuan itu minta mahar nggak kira-kira. Terus tadi siang, Mbak Bina juga menolak datang waktu dijemput sopirku!"Sabrina mengawasi sekitar, takut-takut kalau Alifa atau orang tuanya bangun. Isi kepalanya seperti benang kusut."Kay, ingat, aku bukan siapa-siapa! Kamu masih punya ayah, punya banyak pembantu, dan punya kerabat baik dari pihak ayah atau ibu.""Semuanya aja ... Semuanya aja pergi ninggalin aku!" seru Kayla histeris.Sabrina tidak tahu apakah ada yang menemani gadis itu di rumah sakit, tapi emosinya jela
"Maafin aku, Mbak ...." Kayla mengucapkannya dengan terbata-bata di sela isak tangis.Hidungnya memerah dan beberapa kali dia harus menyekanya dengan tisu karena keluar cairan bening."Sssttt, nggak ada yang perlu dimaafkan," ucap Sabrina lembut. Dia mengusap kepala Kayla yang terbalut pashmina hitam."Aku udah nggak punya ibu, Mbak. Aku bisa apa di dunia ini kalau Mami pergi?" Gadis itu semakin membenamkan wajahnya di pelukan Sabrina."Ambil jeda Kay, nggak apa-apa. Kamu nggak harus selalu melakukan sesuatu. Ada kalanya kita memang butuh berhenti sesaat untuk menerima semuanya."Sabrina tahu rasanya ditinggal pergi oleh orang yang amat dicintai. Sesak, sakit, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti ada lubang yang menganga di dalam hati, yang seberapa kuat pun ditambal, tetap tidak akan bisa utuh kembali. Sesakit itu, memang.Perlahan-lahan Sabrina menuntun Kayla untuk duduk di kursi sebelah yang kebetulan memang masih kosong. Sabrina tidak melepaskan genggaman tanga
Lima orang peserta kursus jahit dasar duduk melingkar di teras rumah Sabrina yang tidak seberapa luas. Dari lima belas orang yang sudah mendaftar, Sabrina terpaksa membaginya menjadi tiga kelompok karena keterbatasan tempat. Selain itu, proses pembelajaran akan lebih efektif jika pesertanya tidak terlalu banyak.Masing-masing dari mereka sudah menyiapkan selembar kain, gunting, jarum pentul, penggaris, dan pensil. Hal pertama yang dipelajari adalah cara membuat dan memotong pola."Ternyata menjahit itu nggak mudah, ya? Saya kira tinggal pasang di mesin jahit, grek grek grek ... Jadi," celetuk Bu Marni, peserta kursus yang juga merupakan tetangga terdekat Sabrina.Peserta lain terkekeh dan mengangguk setuju."Benar, Bu. Nggak heran kalau ongkos jahit itu mahal. Yaa, karena ilmunya susah. Setelah belajar gini, saya jadi merasa bersalah karena dulu-dulu sering minta diskon waktu jahit seragam sekolah anak," sahut seorang wanita berkacamata bernama Bu Eli.Sabrina tersenyum kalem. Dia jad
Katanya, pernikahan adalah ibadah seumur hidup untuk menggenapkan separuh agama. Menikah adalah ikrar suci yang bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan Tuhan. Namun, masihkah pernikahan itu dianggap sakral jika hanya didasari hawa nafsu dan tipu muslihat?Pertanyaan-pertanyaan itulah yang muncul di benak Kayla kala memantapkan hati untuk mengeksekusi usulan Sabrina. Awalnya dia takut jika perbuatannya itu akan berbuntut dosa. Bagaimanapun, status Pas Muklis adalah duda. Sah-sah saja seandainya dia menikah lagi, di luar fakta bahwa istrinya belum genap sebulan meninggal.Akan tetapi, tetap saja hati kecilnya tidak terima. Miskah adalah wanita licik yang sepertinya punya niat jahat terhadap keluarganya. Bahkan sebelum menikah pun, dia sudah meminta mahar di luar nalar.Masih terngiang jelas ucapan Miskah pada hari pemakaman Bu Muklis."Kamu yang sabar ya, Kayla. Saya akan belajar menjadi ibu pengganti yang baik buat kamu."Saat itu Kayla t
Tidak salah jika ada yang bilang jodoh itu misteri. Buktinya, Adam dan Kayla pernah dekat di masa lalu dan kini akan melangsungkan pernikahan di tanggal yang sama. Bedanya, mereka akan duduk di pelaminan yang berbeda. Adam dengan Sofia sedangkan Kayla dengan Arfan.Itulah yang dipikirkan Sabrina saat menimang dua buah undangan di tangannya. Dia tersenyum, terkadang hati kecilnya mencelus karena roda kehidupan sungguh tidak bisa ditebak naik turunnya. Kalau boleh jujur, Sabrina pun pernah menaruh hati kepada Adam. Namun, dia tidak mau egois. Keadaannya serba terjepit saat itu. Lagipula, statusnya yang merupakan serang janda hanya akan membuat wajah keluarga Adam tercoreng. Bukan ... Sabrina bukan minder, tetapi tahu diri. Emas akan lebih pantas bersanding dengan emas, bukan dengan perak atau perunggu.Kini, tidak ada lagi ruang untuk galau. Sabrina akan terus berjuang menghidupi mimpinya. Meski harus berdiri di satu kaki, atau bahkan kaki bertukar posisi dengan kepala, Sabrina tidak a
"Mas Hasan?!" Sabrina tidak bisa menutupi kekagetannya.Sosok yang muncul di ambang pintu adalah Hasan Maulana, kakak Sabrina yang selama ini tinggal berbeda kota dan hampir tidak pernah memberi kabar.Tiada angin tiada hujan, lelaki berusia 30 tahun itu pulang ke rumah orang tua bersama istri dan dua orang anaknya.Bu Retno mendekat perlahan. Ada rasa kesal sekaligus rindu yang merebak dalam dada. Selama ini, Hasan sering mengabaikan teleponnya. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa kehidupan anaknya sedang tidak baik-baik saja.Deru mobil meninggalkan sedikit kepulan debu saat meninggalkan pekarangan rumah Sabrina. Tidak ada sorak sorai kegembiraan di sana. Yang ada hanyalah kebekuan ganjil."Assalamu'alaikum, Bu." Hasan meraih tangan Bu Retno dan menciumnya, diikuti istri dan kedua anaknya."Wa'alaikumsalam. Sehat, Mas?"Sabrina tahu, ibunya sedang mati-matian menahan tangis. Ibu mana yang tidak sedih ketika melihat anaknya kurus dan penampilannya sedikit berantakan? Padah
Teriakan Sinta dari dalam kamar membuat seluruh penghuni rumah bergegas menghampirinya. Wanita itu berdiri di atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Rambutnya yang panjang hampir sepinggang tampak kusut."Kenapa, Sayang?" tanya Hasan dengan nada khawatir. Sebelumnya, dia dan Pak Jaya masih menonton siaran langsung sepak bola nasional. Kedua anak mereka tertidur di depan televisi."Itu, Mas, ada kecoa!" rengeknya. Dia menunjuk sudut ruangan yang terhimpit lemari pakaian.Empat orang yang berjejal di ambang pintu mengedarkan pandangan. Mereka tidak mendapati hewan berwarna cokelat yang biasanya identik dengan tempat yang kotor tersebut."Mana? Nggak ada," sanggah Hasan."Tadi beneran ada, kok!""Seumur-umur tidur di sini, Ibu juga belum pernah lihat kecoa," sahut Bu Retno.Kamar yang mereka pakai memang sebenarnya adalah kamar Bu Retno. Dia tidak sekamar dengan Pak Jaya karena lelaki itu sering butuh kipas angin untuk meredam gatal pada kulit. Bu Retno sendiri tidak terlalu ta
Sinta mematut diri di depan cermin besar di kamar Sabrina. Sebuah setelan celana kulot warna nude berpadu cantik dengan tunik motif bunga-bunga. Pashmina yang senada dengan kulot turut memperlengkap penampilan. Semua pakaian yang dikenakan Sinta itu adalah milik Sabrina. "Bikinin aku baju kayak gini juga dong, Sab. Kalau beli di mall mahal pasti," pinta Sinta. "Iya, Insyaa Allah kapan-kapan aku bikinin. Tunggu ada sisaan kain, ya. Lagian Mbak Sinta juga bakalan tinggal di sini, jadi nggak harus buru-buru." Wanita berwajah oval itu merengut. "Kok dibikinnya pakai kain sisa, sih? Yang baru, dong!" "Gini aja. Mbak Sinta beli kainnya, nanti aku yang jahitkan semuanya." "Ish, pelit banget sama saudara sendiri. Ya udah, deh, tunggu ada kain lebihan yang penting aku nggak bayar. Kamu kan tahu sendiri kalau Mas Hasan sekarang udah nggak kerja." Sabrina memasang senyum yang dipaksakan. Dia sudah banyak bersabar semenjak keluarga Hasan menginvasi kamarnya. Masalahnya, sebelum menjatuhkan