Seperti janjinya kemarin, sore ini selepas syuting, Malik berencana untuk mengantar Isna memeriksakan kandungan sang istri ke Dokter.
Sayangnya, hal itu terkendala karena jadwal syuting yang selesai tidak tepat waktu alias ngaret, ditambah kondisi jalanan ibukota yang padat di waktu sore."Halo, Isna? Kamu sudah siap?" Tanya Malik di telepon saat lelaki itu hendak pulang menjemput sang istri di rumah. Malik tau Isna pasti sudah menunggunya sejak tadi."Sudah, Om. Eh, Mas...""Apa?" Pekik Malik sedikit kaget."Mas Malik, Aku udah siap,"Ucapan Isna diseberang sukses membuat Malik tersenyum. Lelah yang dia rasakan usai bekerja sedikit terobati setelah mendengar suara Isna."Mas? Aku?" Goda Malik menahan tawa.Wajah Isna memanas. "Yaudah kalau nggak mau dipanggil Mas juga nggak apa-apa, aku panggil Om lagi," ancamnya yang jadi ikutan senyum-senyum sendiri."Oke-oke, jangan ngambek dong, nanti manisnya hilaSetelah mendapat penanganan dari pihak medis, kini kondisi Wildan sudah lebih baik. Pemuda itu tersadar setelah dua jam lebih dia kehilangan kesadaran karena terlalu syok mendengar berita duka atas kematian sang Ayah tercinta.Jenazah Tuan Haidar Kusuma yang merupakan Ayah Wildan sudah selesai dimandikan dan siap dibawa pulang ke rumah duka.Isna terus mendampingi di sisi Wildan.Dia duduk di dalam ambulance bersama Wildan tepat di sisi Jenazah ayah Wildan terbaring.Perjalanan menuju rumah duka berjalan lancar tanpa hambatan apapun.Sesampainya jenazah di rumah duka, kedatangan Jenazah disambut dengan tangis pilu dari pihak keluarga Wildan yang lain.Para kerabat dan tetangga terdekat tampak memberikan semangat pada Wildan.Sebagai salah satu orang terdekat Wildan yang juga menjalin hubungan baik dengan Almarhum semasa hidup, Malik terlihat wara-wiri di rumah duka. Membantu pihak keluarga mempermudah terlaksananya prose
"Kamu habis beli cincin?" Tanya Wildan saat itu.Isna berpikir keras untuk jawaban yang harus dia kemukakan pada Wildan. Sayangnya, otaknya benar-benar tak bisa diajak berkompromi. Lamaran dadakan ini membuat Isna tak bisa berpikir lebih jauh. Terlebih dengan keberadaan Aryan dan Sonya saat ini, jika pun dia harus berkata jujur, Isna justru takut salah bicara. Malik bilang, Aryan itu tipikal orang yang sangat sensitif, egois dan temperamen, itulah mengapa, akan menjadi hal yang sangat sulit bagi Malik dan Isna untuk mengungkap rahasia hubungan mereka saat ini.Dan kehadiran Malik di tengah-tengah mereka membuat Isna akhirnya bisa bernapas lega.Lelaki berkemeja hitam itu baru saja selesai mengucapkan salam dan kini melangkah santai memasuki ruang keluarga.Bagi Isna, kehadiran Malik merupakan penyelamatnya, sementara Aryan justru terlihat tidak suka dengan keberadaan Malik di tengah-tengah mereka. Isna bisa merasakan adanya aura negatif yang begit
Pagi itu, Malik menyaksikan semuanya.Adegan panas yang terjadi antara Isna dengan Wildan di dalam mobil Wildan meski hanya berupa siluet karena keadaan yang gelap. Tapi sorot lampu jalan yang tepat terarah ke mobil Wildan membuat Malik bisa merasakan betapa panas cumbuan Wildan terhadap Isna begitu pun sebaliknya.Malik masih terus menyaksikan adegan itu dari dalam mobilnya yang terparkir tepat di belakang mobil Wildan terparkir.Hingga setelahnya, Malik melihat Isna yang tiba-tiba berlari keluar.Setelah mobil Wildan pergi, Malik buru-buru keluar dan menyusul Isna ke kediamannya.Diketuknya pintu kamar Isna beberapa kali."Isna, kamu sudah tidur? Ini aku Malik," kata lelaki itu dengan segenap api cemburu yang seolah ingin meledak ke permukaan.Pagi itu, Malik tak mampu lagi menahan diri.Lelaki itu benar-benar menuntaskan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap Isna, begitu pun sebaliknya.Isna ti
FLASH BACK ON...Seharian ini setelah beristirahat selama beberapa jam di kediamannya, Wildan berniat untuk mendatangi Isna.Dia ingin mengajak Isna menghadiri acara yasinan nanti malam di kediamannya. Selain itu, Wildan juga ingin meminta maaf atas sikap kurang ajarnya pada Isna tadi pagi di mobil.Wildan sadar dirinya sangat kalut setelah mengalami tragedi kecelakaan itu hingga membuatnya lepas kontrol. Isna pasti marah padanya sampai puluhan pesan yang dia kirim sejak tadi pagi tak ada satu pun yang dibalas.Wildan baru saja memparkirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari gang kediaman Isna.Lelaki berkemeja hitam itu pun melangkah keluar dari mobil dengan membawa setenteng buah tangan untuk Ayah Isna."Assalamualaikum," ucap Wildan memberi salam setelah lima menit dia berjalan kaki dan sampai di depan teras kediaman sang kekasih."Waalaikum salam," sahut sebuah suara dari arah dalam.Suara Hasna.Melihat kedatangan Wildan, wajah Hasna tampak bingung. Hal itu terbukti dari keruta
Jam di dinding ruang keluarga terus berputar, namun tak ada pergerakan dan suara yang terdengar dari mulut ketiga manusia yang sejak tadi duduk di sofa ruang keluarga.Mereka adalah Malik, Isna dan Wildan.Sejak kepergian Aryan dan Sonya beberapa menit yang lalu, Wildan memilih untuk melanjutkan niatnya semula, yakni mencari tahu kebenaran.Sebenarnya, saat Aryan hendak pergi tadi, Malik berniat untuk mengejar namun langkah lelaki itu tertahan saat dia melihat cairan bening yang perlahan menetes dari kelopak mata Isna.Di hadapan Wildan, Malik dengan leluasa menyeka air mata itu."Tadi, aku sempat mampir ke rumah kamu Isna," ucap Wildan memecah kesenyapan yang ada. Lelaki itu mencoba duduk serileks mungkin meski tak ada satu pun posisi duduk yang membuatnya merasa nyaman.Menyaksikan kedekatan Isna dengan Malik saat ini, Wildan ingin marah, meski tak diluapkannya juga.Kepala Isna yang sejak tadi menunduk akhirnya mendongak, membalas takut-takut tatapan Wildan."Aku udah tau semuanya,
"Nggak perlu Wil! Apapun yang kamu lakukan sekarang aku udah nggak perduli. Karena sekarang aku adalah istri Mas Malik. Hubungan kita udah berakhir Wil..."Lagi...Kalimat itu yang kembali terngiang dalam telinga Wildan.Mengaduk-ngaduk hati dan pikirannya.Memporak-porandakan harapannya.Menghancurkan impiannya.Kedatangannya ke Jakarta yang seharusnya menjadi indah kini hanya ada dalam angan-angan.Kenyataan tak sesuai bayangan.Isna bilang, alasan utama pada akhirnya dia lebih memilih Malik karena Wildan berselingkuh. Tanpa pernah Isna memberi Wildan kesempatan untuk membuktikan kebenaran.Semua Isna putuskan sendirian.Dan bagi Wildan, ini tidak adil.Bukankah dalam menjalani hubungan sebaiknya semua masalah diselesaikan berdua?Tidak seperti ini!Tidak seharusnya kini hanya dirinya yang menanggung kesakitan ini, sendirian!Kenapa Isna begitu tega padanya?Kenapa Isna bisa dengan mudah membuangnya, melupakannya, mengkhianatinya!Sungguh, Wildan benar-benar tak sanggup menahan beba
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" Tanya Isna saat Malik memasuki mobil.Mereka baru saja mampir di kantor polisi untuk mendapat kejelasan lebih lanjut mengenai kasus hilangnya Aryan.Sejak malam di mana Malik dan Isna berkata jujur tentang hubungan mereka lalu Aryan pergi bersama Sonya, pemuda itu menghilang tanpa kabar.Setelah dia meminta Sonya untuk kembali ke Jogya lebih dulu dan hanya mengantar Sonya sampai stasiun, Sonya yang sempat ditemui Malik di Jogya pun tak tahu menahu kabar Aryan setelahnya."Saya dan Aryan pisah di Stasiun. Aryan belikan saya tiket ke Jogya dan dia cuma bilang kalau dia akan kembali ke Jogya besok. Itu aja Om, selebihnya saya nggak tahu Aryan kemana. Bahkan saat besoknya saya coba hubungi dia sesampainya saya di Jogya, nomor ponselnya udah nggak aktif,"Itulah keterangan yang berhasil didapat oleh Malik dari Sonya.Seluruh keluarga besar Malik sudah diberitahu soal ini dan Malik pun sudah menyebar foto-foto Aryan di berbagai tempat namun satu bulan berla
Wildan sampai di kostannya ketika hari sudah gelap.Tiket kepulangannya ke Jakarta sudah di tangan.Setelah mengemas barang-barangnya dan berpamitan pada pemilik kost dan beberapa penghuni Kost yang dikenalnya, Wildan akan langsung berangkat ke Bandara untuk kembali ke Ibukota malam ini juga."Oy Wil? Apa kabar? Lama nggak keliatan?" Sapa Mas Bari pemilik kost lain."Oy Mas, Alhamdulillah baik. Iya nih Mas, sibuk," jawab Wildan dengan kekehan khasnya. Penghuni kostan memang tak ada yang tahu tentang musibah yang baru saja menimpanya di Jakarta terkecuali Aryan, tentunya.Mas Bari hanya manggut-manggut dan menunjukkan ibu jarinya sebagai isyarat agar Wildan bisa kembali melanjutkan aktifitasnya.Sesampainya di kamar kost miliknya Wildan langsung mengeluarkan pakaiannya di lemari dan memasukkannya ke dalam koper yang sudah dia siapkan.Barang-barang Wildan memang tak banyak karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar daripada di kostan selama berkuliah di Jogya.Selain pakaia