Bab 54Bapak memanggilku ke ruang pasien. Ia duduk di situ dengan wajah serius. Sungguh fenomena yang sama sekali tak biasa. "Nak, Bapak amati kau selalu murung akhir-akhir ini. Bagaimanapun, kita ini keluarga. Jika ada persoalan, jangan disimpan sendiri." Aku menunduk. Dalam duduk bersila, kupijat-pijat betis karena tak tahu harus menjawab apa. "Nak, bicaralah. Bapak ingin dengar apa keluhanmu." Aku mengangkat wajah. "Pak, bisakah satu hari saja tak ada pasien datang di rumah ini? Aku mulai bosan dengan rutinitas yang sama," ujarku datar.Senyum mengembang di wajah Bapak. Ia menatapku lekat, sesekali ia membuat kedipan-kedipan iseng di matanya. "Bapak rasa bukan itu yang membuatmu bosan. Kau malas menangani pasien karena susah fokus, 'kan? Kau lagi kepikiran sama Abigail." Nada suara Bapak sama sekali tak menghakimi. Malah seperti tengah menggodaku. "Kau sudah besar, Nak. Bapak tak berhak mengatur takdirmu. Jika kau ingin ke Jakarta, Bapak tak akan menahan.""Sudah sepantasnya
Bab 55"Rahim tante tidak bisa dibuahi secara normal. Dipijat alternatif sekalipun nihil juga hasilnya." Sepasang suami istri itu menatapku jengah. Sang suami merangkul istrinya, berusaha memberi impuls menenangkan. "Apa artinya saya mandul?" tanya si wanita. Aku mengangguk. "Masakan dokter kandungan tidak bicara jujur? Rahim tante lebih kecil loh dari rahim wanita normal." Ucapanku membuat si wanita mulai terisak. Bapak mengode agar aku tak menyinggung perasaan mereka. "Apa tak ada cara lain agar istri saya bisa hamil?" Sang suami menekan bicaranya. Ini yang kutunggu. Setelah mempermainkan mental mereka dengan ucapanku yang menyinggung. Aku rasa tawaran kali ini akan membuat keduanya setuju. "Ada satu cara. Asalkan kalian setuju," ketusku santai. "Gimana caranya?"Aku meneguk liur, "Transfer janin!""Hah?!" Si wanita terkejut. "Waduh, kalau anaknya hitam dan keriting, saya gak akan sudi." Aku tertawa pelan. Suaminya pun ikutan nyengir. "Transfer janin itu susah-susah gampan
Bab 56Matahari berada di atas kepala saat aku selesai mencuci pakaian. Satu per satu pakaian kujemur pada tali yang dikaitkan di antara dua pohon. Tak lupa kuberi jepitan plastik, agar tak jatuh kala tertiup angin pegunungan. "Bone, hape-mu berdering," panggil Bapak dari jendela kamarku. Pria gagap tekhnologi itu nampak gugup menggenggam ponselku. Apalagi dering dan getarnya kusetel bersamaan. Bapak seakan ingin melempar dari tangannya. “Iya, benar saya Bone. Maaf ini siapa?" Aku menjawab telepon masuk. Bapak turut menguping di sampingku."Dek Dukun, saya Tante Hana. Pasien transfer janin yang waktu itu." "Ah maaf, Tante. Nomor baru soalnya. Gimana, apa Tante uda USG?" tanyaku penasaran. "Udah, Dek. Saya beneran hamil. Kata dokter, janinnya sehat. Saya gak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Kirim nomor rekening ya Dek, akan saya transferkan sejumlah uang." "Gak usah membayar saya. Kebetulan saya lagi berbaik hati." Aku tertawa kecil. Di sampingku, Bapak ikutan senyam-s
Bab 57Sepanjang hari ini, Bapak sibuk menyiapkan tetek bengek keperluan untukku. Mulai dari pakaian, sepatu, tas hingga peralatan mandi, Bapak sudah mirip Emak-Emak rempong. Semalam aku menelpon Ibu. Mengatakan bahwa aku ingin ke Jakarta. Wanita bernama Amira itu sangatlah gembira. Ia berjanji mengutus supir pribadinya, agar menjemputku besok. Kurasa Bapak sedang galau. Ia merasa sedih lantaran kami akan berpisah. Menyembunyikan semuanya itu, ia memilih berjibaku mengurus barang-barangku. Detik demi detik terasa berat. Mendadak aku bak orang asing di rumah ini. Tak ada lagi percakapan hangat, apalagi humor dan candaan. Semua makhluk gaib peliharaan pun terlihat murung. Bersembunyi di balik pohon dan enggan menampakkan diri padaku. Ini masalah waktu saja. Mereka hanya belum terbiasa menjalani hari-hari tanpaku.***Bapak pernah bilang, pria sejati adalah mereka yang cenderung menggunakan logika ketimbang perasaan. Namun pagi ini dia menangis. Tanpa isakan, tanpa sedu sedan, bulir
Bab 58Sepekan tinggal di Jakarta, Ibu mendaftarkan aku ke kursus penyetaraan. Semacam kelas percepatan agar aku bisa mendapatkan ijasah SMP dan SMA. Maklum! Dahulunya aku cuma lulus Sekolah Dasar. Sempat melanjut ke SMP tapi terhenti karena sibuk membantu Bapak melayani pasien. Di kelas penyetaraan ini, semua muridnya sudah berumur. Bahkan banyak yang rambutnya beruban. Mereka ingin memperoleh ijasah agar bisa mendaftarkan diri jadi calon anggota dewan. Sedangkan aku, semata agar bisa melanjut ke perguruan tinggi. ***Suatu hari, saat kursus sedang berlangsung. Tiba-tiba seorang wanita dewasa terjatuh dari kursinya dan menggelepar di lantai.Ia meronta-ronta, hingga mulutnya berbusa dan kornea matanya hampir memutih total. Belum lagi karena dia mengenakan rok kembang, maka auratnya dilihat oleh semua murid.Guru yang tengah mengajar dibuat bingung. Mau dibawa ke rumah sakit, malah nanti takutnya materi pelajaran tertinggal gara-gara urusan satu orang. Jakarta memang berat. Hampi
Bab 59Tak terasa, sudah sebulan aku mengikuti kursus. Semua berjalan normal. Saat pergi, Ayah dan Ibu yang mengantar. Kebetulan tempat kerja mereka searah dengan tempat aku kursus. Namun saat pulang, supirlah yang menjemput. Hari ini, guru menjelaskan pelajaran trigonometri. Pelajaran tersulit dalam hidupku selama 20 tahun di dunia ini. Aku mampu menghafal ribuan mantra, tapi satu soal trigonometri rasanya seperti mau mati saja. Guru memberi tugas sebanyak lima nomor. Murid yang sudah selesai mengerjakan, diizinkan pulang. Satu per satu murid mengumpulkan tugas dan meninggalkan kelas. Termasuk si Tante epilepsi yang waktu itu kusembuhkan. Tersisa tiga murid di kelas, termasuk aku. Pikiranku amat buntu. Simbol-simbol akar kuadrad melayang dalam pikiranku. Mencakar pun sama saja. Terpaksa, kuisi jawaban asal-asalan di nomor terakhir. Setelah mengumpulkan lembar jawaban, aku beringsut keluar dari kelas. Rasanya seperti bebas dari kurungan penjara selama satu abad lamanya.Aku menuj
Bab 60Bangun pagi tanpa merapikan kembali ranjang adalah tabiat burukku yang terbawa sejak masih di dusun. Bapaklah yang biasa merapikannya untukku.Pagi ini, Ibu menyuruh Mbok Laksmi intuk membereskan kamarku. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Menonton serial Spongebob yang merupakan tontonan favorit keluarga. Beberapa saat kemudian, Mbok Laksmi turun dari lantai dua dan menenteng bed cover yang ia copot dari ranjangku. Ia akan menuju ke ruang cucian saat Ibu mencegahnya."Lho kok mau dicuci bed cover-nya, Mbok? Kan baru dipasang kemarin. Aturannya tiga hari sekali ganti." "Ngerti, Bu. Ini terpaksa harus dicuci karena anu ...." Mbok Laksmi merona malu. Asisten rumah tangga itu beralih menatapku. "Opo?" Ibuku penasaran."Den Bone semalam mimpi basah,” jawabnya sembari terkikik geli.Ibuku senyam-senyum, ia salah tingkah dan tak tahu harus merespon apa. Sementara Ayah yang sempat mendengar, mulai berkelakar di sela tontonan yang masih menyala. "Hahaha, semalam Bone ber
Bab 61Dua tahun berlalu. Ijasah penyetaraan SMP dan SMA sudah kugenggam. Tinggal menunggu waktu untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi. Banyak yang berubah selama aku tinggal di Jakarta. Setiap hari minggu, aku diajak Ibu ke gereja. Di sana kami berdoa, bernyanyi dan memuji Tuhan. Aku menjalaninya bukan karena iman, tapi hanya sebagai rutinitas biasa. Selain itu, demi menjaga amanah Bapak di dusun yang menginginkan agar aku fokus pada tujuan, maka selama dua tahun ini, tak pernah sekalipun diriku menghubungi Abigail. Pacaran memang ada bagusnya. Namun jika berlebihan, bisa merusak konsentrasi belajar. Apalagi aku sadar, birahi ular yang meletup-letup ini, terkadang susah dikendalikan. Tentu Abigail akan menjadi pihak yang dirugikan. Padahal perempuan seharusnya dijaga dan dihargai. ***Sudah lama sekali tubuh ularku tak diberi makan. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali menyantap ayam mentah. Itu tak masalah, tapi pagi ini ... hal yang kutakuti terjadi. Ruh ularku mendominasi tub