Niken mengepel lantai ruang tamu sambil memasak. Gadis itu benar-benar dituntut bekerja keras hingga kelelahan. Karena kesal, dia lemparkan alat pel dan duduk di lantai sambil berselonjor. Beberapa saat kemudian, dia mengentak-entakkan kakinya ke lantai sambil ngedumel.
“Kenapa aku harus melakukan semua pekerjaan ini sendirian? Aku sedang hamil. Bahkan aku tidak memiliki waktu untuk diriku sendiri. Sialan! Kenapa aku harus dijadikan pembantu di rumah ini? Aku tidak tahan lagi! Haruskah kuakui kehamilanku agar dia segera melepaskanku? Atau sebaliknya, dia akan memintaku untuk menyingkirkan bayi ini?”
Ketika pikiran itu terlintas dalam benak, Niken mulai ketakutan. Dia memeluk perutnya yang mulai sedikit membuncit.
“Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Dia tidak boleh menyentuh bayi ini.”
Ding. Dong.
Niken menoleh ke arah pintu dan bergumam, “Siapa itu yang datang pada jam segini? Seharusnya, baik aku maupun Axel tidak memiliki tamu.”
Ding. D
Wajah Niken seketika pias saat tahu Axel mendengar semua percakapannya dengan Celine. Niken bahkan tak ada niat untuk membeberkan rahasia kehamilannya. Dia mengaku hamil di depan Celine, hanya bertujuan menggertak perempuan itu. Agar Celine tak mengusik Niken lagi. Rupanya, rencana Niken malah malah dianggap serius oleh Celine dan juga didengar oleh Axel. “Katakan padaku, Niken,” ujar Axel dengan serius dan nada sedikit tajam. “Apakah kau benar-benar hamil?” Niken menatap Axel dan berkedip dua kali. Dia bermaksud memberitahu Axel bahwa itu hanya sandiwara untuk membohongi Celine. Tapi, tampaknya Axel tak mengerti arti kedipan mata Niken. ‘Jika aku berkata itu hanya sandiwara, maka Celine pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku dan mengusirku dengan segala cara. Tapi, jika kukatakan memang sedang hamil, aku tidak tahu apa yang akan Axel lakukan. Meskipun aku memang sungguh hamil.’ “Kau tidak tahu jika gadis ini hamil?” Suara Celine menyita perh
Saat Axel bangun di pagi hari dan pergi ke dapur untuk mengambil air, dia melihat sebuah catatan tertempel di pintu kulkas. Dengan cepat, Axel menyambar catatan yang ditulis oleh Niken. Dia membacanya lalu meremas kertas tersebut menjadi gumpalan sebelum melemparnya ke tempat sampah. “Kau pikir bisa lolos dariku, Niken? Apalagi setelah aku tahu bahwa kau sedang hamil. Kau… tidak bisa pergi begitu saja.” Niken memanggil taxi untuk membawanya pergi meninggalkan rumah pantai. Gadis itu meninggalkan rumah ketika matahari bahkan belum terbit. Dia masih mengantuk dan tertidur di bangku belakang taksi. “Nona, kita sudah sampai.” Niken yang terus tertidur lelap pun akhirnya bangun. Dia masih setengah sadar ketika bertanya pada song sopir taksi berapa tagihan yang harus dia bayar. “Apakah saya perlu mengantarkan barang-barang Anda ke dalam?” Niken mulai duduk tegak. Dia mengucek mata dan melihat keluar jendela. “Kau membawaku ke mana?”
“Katy?“ Niken terkejut melihat kemunculan Katy di pesta pernikahannya. Setelah beberapa waktu yang lalu Andrew memburu dan mengejarnya, bahkan sampai mendatangi Niken di rumah pantai, kini tiba-tiba yang Katy muncul dengan membawa teror. Sekelebat, Niken melihat Katy membaur di antara para tamu undangan. Niken yang masih berada di altar, mulai teralihkan perhatiannya. Dia celingukan dan menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari Katy. Tapi, gadis itu sudah tidak terlihat di mana pun. ‘Apa yang dia inginkan dan rencanakan? Apakah dia dan Andrew bekerja sama untuk mengusikku? Tidak akan aku biarkan mereka sekali lagi menghancurkan kehidupanku.’ Niken sudah sangat penasaran dan gelisah. Tanpa sadar, dia sudah turun dari altar dan berjalan cepat meninggalkan Axel dan para tamu undangan untuk mencari Katy. Saat Niken hampir mendapatkan Katy yang mencoba keluar dari tempat pesta, seorang tamu undangan mengadang langkah Niken.
“Axel Marais,” desis Niken. “Bersikaplah dewasa. Kau hanya seperti bayi besar yang sedang merajuk saat ini.” Axel yang awalnya ingin menggoda Niken, tiba-tiba menjadi geram. Dia merasa tersinggung karena dikatai sebagai bayi besar. “Apa?” Axel mengangkat satu sudut bibirnya. “Bayi?” Axel pun mencebik. “Jadi, kau ingin kita seperti orang dewasa?” Di luar dugaan Niken, bukannya menjauh Axel malah melepas kemejanya dengan tergesa-gesa. Niken begitu gugup. Dia menjadi salah tingkah. Niken berusaha mengalihkan tatapan dari Axel, tapi lagi-lagi nalurinya terus menarik Niken untuk menikmati setiap lekuk tubuh berotot Axel yang telanjang. “Pernikahan kita tidak nyata!” ujar Niken dengan panik. Axel tidak peduli. Dia sudah terlanjur kesal. Dia sudah bertelanjang dada dan kini mulai melepas sabuk celananya. Axel berjalan mendekati Niken dengan penuh ancaman. “Pernikahan kita hanya sandiwara! Ingat kontrak kita!” teriak Niken.
“Dasar kau bajingan!” keluh Niken di antara isak tangisnya. “Kau hampir membunuhku dan calon bayiku!” Axel merasa sangat senang dan bahagia karena Niken sudah memiliki kembali gairah hidupnya. Dan itu ditunjukkan dari kemarahan serta gerutuannya. Sambil tetap memeluk gadis itu, Axel berujar dengan nada pura-pura marah. “Apa maksudmu dengan membunuhmu? Aku sudah menyelamatkanmu. Aku membawamu cepat-cepat ke rumah sakit untuk menyelamatkan kalian berdua. Kau harusnya berterima kasih padaku, bukan malah mengataiku sebagai seorang bajingan.” Niken langsung mendorong Axel kuat-kuat hingga hampir terjungkal karena tidak siap. “Apa-apaan ini? Setelah puas dengan pelukan hangatku dan sekarang kamu campakkan aku?” “Aku ingin pulang,” ujan Niken sambil cepat-cepat menghapus sisa air mata di wajahnya. “Aku tidak mau tinggal terlalu lama di sini. Rumah sakit membuatku gila!” Axel mengerti jika Niken merasa tertekan berada di rumah sakit. M
Clarissa mendatangi Niken dan Axel yang sedang bermain kembang api di pantai. “Apa yang kau lakukan di sini?” Wajah Axel terlihat sangat tidak suka dengan kemunculan Clarissa. Niken menyapa perempuan itu dengan sewajarnya. Meski pernah dibuat kesal oleh Clarissa, tapi Niken merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan Axel dan perempuan itu. “Katamu kau sedang sibuk,” ujar Clarissa. “Jadi aku mendatangimu ke sini.” Lalu Clarissa menoleh ke arah Niken. “Maaf jika aku mengganggumu.” Niken menunjukkan sikap ceria dan seolah-olah dia tidak terpengaruh. “Tidak masalah. Jika memang kalian ada urusan, silahkan selesaikan. Aku akan kembali ke rumah. Atau kau ingin ke rumah juga? Aku bisa menyiapkan camilan dan minuman untukmu.” Clarissa hanya melirik Axel menunggu pria itu memberinya izin. Niken mulai mendorong kursi rodanya sendiri. Ini pertama kali dia menggunakan kursi roda sehingga terlihat begitu kesulitan. Axel mendesah. Dia pun
Niken kembali ke rumah pantai. Dia melihat Axel sedang tertidur di bangku taman sambil menutupkan buku ke wajahnya. Niken tiba-tiba menjadi iri dan marah saat melihat Axel enak-enakan tidur di sana. “Kehidupan pribadi CEO misterius apanya? Dia tidak memiliki kehidupan pribadi selain makan, tidur, dan berolahraga. Lihat saja dia bahkan sekarang sedang bermalas-malasan di sana.” Niken berjalan cepat mendekati Axel yang berbaring terlentang di bangku taman. Niken mendorong kaki Axel dengan ujung sepatunya. “Geserlah! Aku mau duduk,” seru Niken sambil menggerutu. Buku yang menutupi wajah Axel pun terjatuh. Pria itu kaget karena tiba-tiba dibangunkan. Axel pun segera duduk dan terheran-heran melihat Niken pulang dengan bermuka masam. “Kau tidak bekerja?” sindir Niken. “Kau lupa? Aku mengambil cuti karena sedang berpura-pura menikah dan berbulan madu denganmu. Jadi bagaimana? Apa mereka akan menerbitkannya?” Niken sangat malu. Semala
Niken dan Axel sudah bersiap akan pergi ke Magic Land. Barang-barang pribadi sudah mereka masukkan ke mobil. Bahkan, Marco dan Carlos juga siap untuk mengikuti dan mengawal mereka dari kejauhan. Axel membukakan pintu mobil untuk Niken masuk. Saat itu, ponsel Niken berdering. “Siapa yang menghubungiku?” pikir Niken sambil merogoh tas dan mencari ponselnya. Itu adalah ponsel baru dan tidak banyak orang yang tahu nomornya selain Axel. Axel menyipitkan mata. Tangannya sampai lelah karena harus menahan pintu. Sedangkan Blari tidak segera masuk. Gadis itu malah menjawab telepon dan sedikit menjauh dari Axel. “Niken Raswani?” tanya seorang pria di telepon. “Yah, ini aku. Kamu siapa?” “Apa kau lupa sudah memberikan nomor ponselmu di kertas catatan yang kau tempelkan di atas naskah novelmu?” Niken segera berpikir cepat. Dia langsung teringat pada Louis Marais. “Oh, Louis Marais? Maaf, aku tidak mengenali suaramu.” Teling