“Axel Marais,” desis Niken. “Bersikaplah dewasa. Kau hanya seperti bayi besar yang sedang merajuk saat ini.”
Axel yang awalnya ingin menggoda Niken, tiba-tiba menjadi geram. Dia merasa tersinggung karena dikatai sebagai bayi besar.
“Apa?” Axel mengangkat satu sudut bibirnya. “Bayi?” Axel pun mencebik. “Jadi, kau ingin kita seperti orang dewasa?”
Di luar dugaan Niken, bukannya menjauh Axel malah melepas kemejanya dengan tergesa-gesa.
Niken begitu gugup. Dia menjadi salah tingkah.
Niken berusaha mengalihkan tatapan dari Axel, tapi lagi-lagi nalurinya terus menarik Niken untuk menikmati setiap lekuk tubuh berotot Axel yang telanjang.
“Pernikahan kita tidak nyata!” ujar Niken dengan panik.
Axel tidak peduli. Dia sudah terlanjur kesal. Dia sudah bertelanjang dada dan kini mulai melepas sabuk celananya. Axel berjalan mendekati Niken dengan penuh ancaman.
“Pernikahan kita hanya sandiwara! Ingat kontrak kita!” teriak Niken.
“Dasar kau bajingan!” keluh Niken di antara isak tangisnya. “Kau hampir membunuhku dan calon bayiku!” Axel merasa sangat senang dan bahagia karena Niken sudah memiliki kembali gairah hidupnya. Dan itu ditunjukkan dari kemarahan serta gerutuannya. Sambil tetap memeluk gadis itu, Axel berujar dengan nada pura-pura marah. “Apa maksudmu dengan membunuhmu? Aku sudah menyelamatkanmu. Aku membawamu cepat-cepat ke rumah sakit untuk menyelamatkan kalian berdua. Kau harusnya berterima kasih padaku, bukan malah mengataiku sebagai seorang bajingan.” Niken langsung mendorong Axel kuat-kuat hingga hampir terjungkal karena tidak siap. “Apa-apaan ini? Setelah puas dengan pelukan hangatku dan sekarang kamu campakkan aku?” “Aku ingin pulang,” ujan Niken sambil cepat-cepat menghapus sisa air mata di wajahnya. “Aku tidak mau tinggal terlalu lama di sini. Rumah sakit membuatku gila!” Axel mengerti jika Niken merasa tertekan berada di rumah sakit. M
Clarissa mendatangi Niken dan Axel yang sedang bermain kembang api di pantai. “Apa yang kau lakukan di sini?” Wajah Axel terlihat sangat tidak suka dengan kemunculan Clarissa. Niken menyapa perempuan itu dengan sewajarnya. Meski pernah dibuat kesal oleh Clarissa, tapi Niken merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan Axel dan perempuan itu. “Katamu kau sedang sibuk,” ujar Clarissa. “Jadi aku mendatangimu ke sini.” Lalu Clarissa menoleh ke arah Niken. “Maaf jika aku mengganggumu.” Niken menunjukkan sikap ceria dan seolah-olah dia tidak terpengaruh. “Tidak masalah. Jika memang kalian ada urusan, silahkan selesaikan. Aku akan kembali ke rumah. Atau kau ingin ke rumah juga? Aku bisa menyiapkan camilan dan minuman untukmu.” Clarissa hanya melirik Axel menunggu pria itu memberinya izin. Niken mulai mendorong kursi rodanya sendiri. Ini pertama kali dia menggunakan kursi roda sehingga terlihat begitu kesulitan. Axel mendesah. Dia pun
Niken kembali ke rumah pantai. Dia melihat Axel sedang tertidur di bangku taman sambil menutupkan buku ke wajahnya. Niken tiba-tiba menjadi iri dan marah saat melihat Axel enak-enakan tidur di sana. “Kehidupan pribadi CEO misterius apanya? Dia tidak memiliki kehidupan pribadi selain makan, tidur, dan berolahraga. Lihat saja dia bahkan sekarang sedang bermalas-malasan di sana.” Niken berjalan cepat mendekati Axel yang berbaring terlentang di bangku taman. Niken mendorong kaki Axel dengan ujung sepatunya. “Geserlah! Aku mau duduk,” seru Niken sambil menggerutu. Buku yang menutupi wajah Axel pun terjatuh. Pria itu kaget karena tiba-tiba dibangunkan. Axel pun segera duduk dan terheran-heran melihat Niken pulang dengan bermuka masam. “Kau tidak bekerja?” sindir Niken. “Kau lupa? Aku mengambil cuti karena sedang berpura-pura menikah dan berbulan madu denganmu. Jadi bagaimana? Apa mereka akan menerbitkannya?” Niken sangat malu. Semala
Niken dan Axel sudah bersiap akan pergi ke Magic Land. Barang-barang pribadi sudah mereka masukkan ke mobil. Bahkan, Marco dan Carlos juga siap untuk mengikuti dan mengawal mereka dari kejauhan. Axel membukakan pintu mobil untuk Niken masuk. Saat itu, ponsel Niken berdering. “Siapa yang menghubungiku?” pikir Niken sambil merogoh tas dan mencari ponselnya. Itu adalah ponsel baru dan tidak banyak orang yang tahu nomornya selain Axel. Axel menyipitkan mata. Tangannya sampai lelah karena harus menahan pintu. Sedangkan Blari tidak segera masuk. Gadis itu malah menjawab telepon dan sedikit menjauh dari Axel. “Niken Raswani?” tanya seorang pria di telepon. “Yah, ini aku. Kamu siapa?” “Apa kau lupa sudah memberikan nomor ponselmu di kertas catatan yang kau tempelkan di atas naskah novelmu?” Niken segera berpikir cepat. Dia langsung teringat pada Louis Marais. “Oh, Louis Marais? Maaf, aku tidak mengenali suaramu.” Teling
“Apa maksudmu? Apa kau memintaku untuk melakukan hal-hal yang buruk, Louis?” Louis tersenyum kaaku. Dia pun melepaskan cengkramannya dari tangan Niken dan meminta maaf. “Tidak, aku benar-benar menawarkan pekerjaan untukmu. Kirimkan satu sinopsis setiap minggu. Jika hasilnya baik, mungkin akan bisa dijadikan film. Aku akan membayarmu sesuai dengan kualitas naskah yang kau kirimkan padaku.” Niken kaget antara percaya dan tidak. Akhirnya dia menyadari bahwa itu tantangan yang sangat serius. Pekerjaan yang ditawarkan oleh Louis benar-benar akan menguji kemampuan Niken dalam hal menulis. “Baiklah! Aku sepakat.” Louis tertawa. “Cepat sekali kau berubah pikiran? Tapi aku suka dengan sikap terbuka dan ceriamu. Beruntung sekali kakakku bisa menikahi perempuan seperti dirimu.” Senyum hilang sama sekali di wajah Niken dan berubah menjadi rasa bersalah. “Louis, maafkan aku atas kejadian yang tadi.” “Tidak masalah, aku bisa mengerti posisim
Niken tidak bisa berlari cepat karena dia harus berhati-hati dengan keselamatan bayi di dalam perutnya. Tepat saat Niken akan meraih gagang pintu kamar, Axel sudah mendahului dan mengadang Niken.Niken terkesiap.“Oke, aku minta maaf. Tadi aku hanya bercanda. Oke?”Axel tersenyum sinis. “Minta maaf? Bercanda? Semudah itu?”Niken mulai gugup dan ketakutan. Tampaknya Axel kali ini benar-benar marah dan serius ingin melakukan sesuatu padanya.“Ah, kau lapar, kan? Kau belum makan malam? Bagaimana jika aku saja yang menyiapkan makan malam untukmu?”Niken pun berbalik arah dan akan turun lagi ke dapur.Axel menarik tangan gadis itu dan menyeretnya ke dalam pelukan. Niken membeku selama beberapa detik yang sangat panjang. Axel memeluknya dari belakang dengan sangat posesif.“Axel? Apa yang kau lakukan?”“Hukuman untukmu,” bisik Axel di telinga Niken.Gadis itu b
Celine Marais dan Niken Raswani duduk berhadapan di sofa ruang tamu rumah pantainya. Niken merasa sangat canggung dan tidak tahu harus berbicara apa di hadapan ibu mertua tirinya. Beberapa menit yang lalu usai Celine menarik tangan Niken keluar dari pintu, tiba-tiba perempuan itu nyelonong masuk ke rumah. Niken tidak bisa mengusir Celine. Tapi, dia juga tidak senang melihat kemunculan perempuan yang kehadirannya sangat mengintimidasi tersebut. Celine duduk sambil bertopang kaki dengan angkuh. Dia mengipas-ngipaskan tangannya ke badan sambil memperhatikan rumah pantai itu dengan seksama. Niken sebenarnya tidak tega melihat Celine kepanasan. Dia pun mengambilkan kipas kertas dan mencoba mengipasi Celine. “Apa-apaan kau ini?” Celine menampik kipas kertas yang sedang diayunkan Niken. “Kau hanya akan merusak tatanan rambutku dengan kipas itu. Lagian kenapa kau tidak memakai pendingin udara?” “Oh, itu. Sebenarnya, sejak hamil aku tidak bersahabat dengan pendingin udara. Dan kurasa ang
Axel buru-buru kembali ke rumah. Niken sudah menunggunya di ruang makan. Sejumlah hidangan sudah tersaji di sana. Axel terkejut melihat Niken menyiapkan makan siang yang terlihat begitu menggiurkan. Dia senyum-senyum sendiri. “Oh, jadi kau ingin aku cepat-cepat pulang untuk memamerkan hasil masakanmu?” Setelah menanggalkan jas dan menggulung lengan kemeja, Axel segera mengambil piring dan menyantap makan siangnya. Niken masih duduk diam di seberang Axel. Dia hanya memperhatikan Axel yang lahap menyantap masakannya. “Kau tidak ikut makan?” “Tidak. Makanlah lebih dulu. Jika selesai, kita harus membicarakan sesuatu yang penting.” “Katakan saja sekarang,” pinta Axel sambil mengunyah sepotong daging ayam yang dimasak dengan saus kedelai. Niken terlihat ragu-ragu pada awalnya. Karena Axel sudah memberinya izin, Niken tidak perlu ragu dan menunggu hingga Axel selesai makan. “Axel, kita punya masalah besar. Ibu tirimu tadi datang ke sini.” Uhuk! Axel tersedak. Dia memukul-mukul dad