Hallo, Pembaca! Jika kamu suka karya ini, jangan lupa masukan ke pustakamu, Ya! Ikuti terus kisah Alisya hanya di Goodnovel! 😃 Dukung author dengan memberikan review bintang 5, vote/gem, dan ajak teman-teman anda untuk membaca kisah ini. Terima kasih.
"Maaf Tuan Daryan, saya tidak bisa menerima lamaranmu." Alisya mengembuskan napas berat . Lelaki berjubah hitam terlihat tidak suka mendengar penolakan Alisya. Perasaan Alisya tidak enak. Baru beberapa saat yang lalu pria itu membunuh orang. Sekarang dia melamar seorang wanita untuk putranya. Bukankah ini terlalu mulus? "Kenapa?" "Bukankah sudah aku katakan sebelumnya, aku telah menikah ...." Belum selesai Alisya berucap Daryan memotong ucapan Alisya, "Berbohonglah yang lebih masuk akal!" Alisya mendengkus kesal. Dia begitu jengkel dengan tingkah Daryan. Seringai licik Daryan kembali terlihat di bibirnya. "Aku tidak berbohong, Tuan Daryan. Kita mungkin bisa berdamai, tetapi tidak dengan cara pernikahan." Entah bagaimana Alisya harus menjelaskan, satu-satunya kejujuran yang dia ucapkan adalah tentang status pernikahannya. "Lalu bagaimana caramu menawarkan perdamaian?" tanya Daryan. "Sebutkan saja berapa nominal yang kamu inginkan," ujar Alisya memberikan penawaran. "Meski aku b
Sesampainya di dalam kereta Alisya masih terdiam. Dafandra pun masih membiarkan Alisya memeluknya. "Apa kamu terluka?" tanya Dafandra sambil membelai rambut merah sang putri. Lidah Alisya yang kelu tidak mampu mengeluarkan suara. Sang putri hanya menggeleng pelan. "Syukurlah jika kamu tidak terluka. Tidurlah! Tidak perlu takut. Ada aku di sini." Dafandra mengembuskan napas berat seraya memandang wanita yang tidur dipangkunya. Rasa hangat dan bahagia tiba-tiba saja memenuhi hati Dafandra. Apakah karena dia berhasil membunuh seorang pejabat kerajaan? Ataukah karena pelukan hangat dari putri berambut merah? 'Rasa takut membuatmu begitu jujur dan memelukku tanpa berpikir. Aku rasa hal ini tidak akan bertahan lama, terlebih setelah kesadaranmu kembali.' batin Dafandra gelisah karena merasa dipermainkan. Ketika pagi hari datang Alisya terbangun masih dengan posisi yang sama, kemudian menyingkir dari pangkuan pangeran kedua Kosmimazh. 'Semalam yang mulia tidur dengan memangkuku. Ku
Setelah cukup lama beristirahat, rombongan Dafandra kembali berjalan menuju Tigryzh. Dalam perjalanan Alisya menyodorkan ramuan herbal pada pangeran kedua Kosmimazh untuk menambah stamina setelah semalam bertarung. "Tanganmu memar!" Dafandra terkejut ketika melihat pergelangan tangan Alisya yang berwarna merah. "Ah ini ... bukan masalah. Aku telah mengobatinya," jawab Alisya. Dafandra masih mengamati pergelangan tangan sang putri. "Yang Mulia ... ramuan herbal ini kubuat khusus agar staminamu kembali pulih. Tenang aja, rasanya tidak pahit." Alisya kembali menyodorkan ramuan buatannya, baru kemudian sang pangeran meminum sampai habis. Setelah gelas dalam genggaman Dafandra kosong. Alisya mendekat sambil menatap wajah tampan sang pangeran. 'Aku berhutang nyawa keladamu.' Tangan sang putri terulur menyentuh bahu kekar pria berambut pirang. "Jangan sentuh aku!" ucap Dafandra pelan sambil menepis tangan mulus Alisya. "Kenapa? Bukankah kamu memintaku untuk memijat?" sepasang alis A
"Habisi mereka!" perintah Dafandra segera. Seketika suasana kembali menegang. Segerombolan pasuka berbaju hitam datang menyerang rombongan Pangeran Dafandra. "Apakah itu orang suruhan Daryan?" tanya Alisya khawatir. "Entahlah." Dentingan pedang, ringikan dan derap langkah kuda terdengar nyaring. Pria berbadan kekar di samping Alisya bangkit dari tempat duduk untuk menyambut serangan orang-orang tidak dikenal. Akan tetapi, sebelum Dafandra melangkah ke luar kereta, Alisya mencengkeram erat lengan sang pangeran. "Tolong jangan pergi!" pinta putri berambut merah dengan tatapan memelas. Dia masih terlihat ketakutan mengingat belum lama ini dia mengalami hal yang sama. Pertarungan sengit terjadi dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Pasukan elit pangeran kedua pontang-panting menghadapi serangan musuh yang terlatih dalam jumlah banyak. Seorang dari penyerang itu masuk ke dalam kereta dan menyerang Alisya dengan pedang. Akan tetapi, sebelum serangan itu sempat mendarat di kuli
"Alisya ...." lirih Dafandra begitu membuka mata setelah dua hari tidak sadarkan diri. Rasa nyeri langsung menyapa sang pangeran begitu membuka mata. Perlahan dia mengangkat kepala dalam posisi tengkurap untuk melihat keadaan sekitar. "Kiron, Pangeran Dafandra telah bangun!" Seorang pria bermabut hitam menyenggol lengan pria di sebelah. Dua orang pria yang menunggu sang pangeran tampak gembira. "Syukurlah Yang Mulia telah sadar," kata lelaki berambut coklat. Mata biru pria itu berbinar-binar sambil tersenyum lebar. Dalam ingatan Dafandra, pria itu bernama Kiron. Usia pria itu berkisar empat puluh lima tahun. Penampilannya sangat rapi, khas seorang kepala pelayan. Yah, pria itu memang kepala pelayan di kastil Nikyzh. Di samping Kiron ada seorang pria berjubah putih. Sepertinya dia seorang dokter. Dafandra berusaha menggerakkan tubuh, tapi buru-buru lelaki berjubah putih itu melarangnya. "Yang Mulia terluka cukup parah. Sebaiknya jangan buru-buru untuk bergerak agar luka cepat p
"Syukurlah Yang Mulia telah sadar," kata wanita itu bahagia. Dafandra menoleh ke asal suara. Di depan pintu berdiri seorang gadis pelayan dengan sebuah nampan di tangan. Pria bertubuh kekar di ranjang memalingkan wajah dari gadis pelayan, kemudian melihatnya kembali. Ternyata pandangan matanya tidak salah. Wanita itu memang gadis pelayan. 'Sialan! Aku kira dia!' umpat Dafandra di dalam hati. Gadis pelayan itu memberikan hormat kepada Dafandra, juga kepada Kiron dan Kirila. Kemudian dia berjalan mendekati Kirila. Pria itu memerintah gadis pelayan untuk meletakkan nampan pada meja di dekat ranjang. Di atas nampan terdapat semangkuk obat dan juga perban. Begitu mencium aroma obat itu Dafandra segera memalingkan muka. 'Astaga, aroma obat ini membuatku ingin muntah!' umpat Dafandra dalam hati. Sebelum gadis pelayan itu pergi Kirila berkata, "Jika Putri Alisya telah terbangun dari tidurnya, kabarkan kepada Putri, Yang Mulia Dafandra telah sadar. Juga, cepat bawakan makanan untuk Yang
Bukan itu. Dafandra tidak meminta Alisya untuk melepaskan pakaiannya. Akan tetapi, dia merasa tidak nyaman dengan kalimat perintah. Sebagai seorang pangeran, Dafandra selalu bertindak dominan di hadapan Alisya. Seumur hidupnya tidak ada yang pernah memberikan kalimat perintah kepadanya selain raja dan ratu. "Astaga, beraninya kamu memberikan kalimat perintah kepadaku!" umpat Dafandra. Perlahan Dafandra melepaskan kancing baju sambil menahan rasa perih di bagian luka. Alisya yang menyaksikan kejadian itu sedikit iba. Sebenarnya dia ingin membantu. Tapi melihat Dafandra bisa melakukan sendiri tanpa bantuan, Alisya mengurungkan niatnya. Setelah melepas baju Dafandra melempar asal-asalan pakaian di salah satu sisi ranjang. Tampak tubuh bagian atas sang pangeran yang dibalut perban. Untuk pertama kalinya Alisya melihat tubuh Dafandra dengan jelas tanpa ada rasa khawatir "Aku sudah selesai!" Sesaat kemudian Alisya melepaskan ikatan perban dan membukanya perlahan. Wanita itu memang sa
Pangeran bermabut pirang menatap Alisya dengan tatapan tidak suka. Selagi dalam kondisi sadar, dia tidak akan sudi untuk menelan ramuan dengan rasa pait dan aroma menjijikkan. "Apa kamu lupa masih punya hutang kepadaku? Kapan kamu akan membayarnya?" ucap Dafandra mengalihkan perhatian Alisya. Akan tetapi, Alisya tidak terkecoh dengan mudah. Tindakan Dafandra justru menguatkan dugaan sang putri benar. Pandangan Alisya begitu bersemangat ketika menemukan kelemahan Dafandra. Ternyata pria arogan itu punya kelemahan yang sangat sederhana. Alisya tidak sabar ingin menggunakan hal itu untuk menindas pangeran kedua Kosmimazh. Mungkin ini saat yang tepat bagi Alisya untuk membalaskan kekesalannya. "Silahkan Yang Mulia." Alisya menyodorkan mangkuk berisi obat untuk Dafandra. Dafandra bergeming. Perutnya terasa mual karena aroma obat itu. Sementara Alisya semakin mendekatkan mangkok itu ke mulut Dafandra. "Aku tidak mau meminumnya," kata Dafandra seraya membuang muka. "Kalau kamu tidak