maaf kemarin nggak up. Author lagi berduka. :-(. Mohon pengertian para readers apabila author update nya agak tersendat-sendat.
Aku segera menyembunyikan ponsel di belakang tubuh dan memasang senyum senatural mungkin di depan Mas Hadza."Yang nelfon Papa lah, Mas."Kemudian aku mengutak atik ponsel dan melakukan panggilan ke nomer Papa. Namun sebelum panggilan itu berubah 'berdering', aku segera menekan tombol merah. Dan jadilah, nomer Papa terpampang paling atas. Lalu aku menunjukkan layar ponselku padanya. "Tuh kan, aku ditelfon Papa."Mas Hadza nampak berpikir lalu aku segera menggandeng lengannya untuk naik ke lantai dua. "Ambil tas dulu yuk. Aku pengen nonton, Mas."Yang terpenting, aku bisa mengalihkan perhatian Mas Hadza terkait siapa yang baru saja menghubungiku. Jangan sampai dia mengetahui rahasia terbesarku yang sebenarnya telah menikah dengan atasannya. Dan Pak Akhtara yang nun jauh disana, pasti sedang kelimpungan karena aku mematikan ponsel sepihak tanpa salam apapun.Aku terlalu bodoh karena menerima panggilan darinya dengan posisi membelakangi anak tangga. Akhirnya aku tidak mengetahui kedat
Tidak berjumpa denganku baru setengah bulan saja Pak Akhtara sudah seperti singa kelaparan.Begitu tiba di rumah, beliau langsung menarikku ke kamar lalu menuntaskan kerinduannya. Beliau melepas seluruh pakaianku dengan sedikit tergesa-gesa lalu memimpin permainan halal itu.Meski sedikit tergesa-gesa namun tetap lembut dan aku menikmatinya. Meski saat bercinta dengan Pak Akhtara, yang ada di mataku adalah Mas Hadza.Usai mendapatkan ronde pertama, Pak Akhtara kembali melanjutkan kerinduannya padaku."Sayang, jangan capek dulu ya?"Bagaimana aku merasa capek jika sedari tadi Pak Akhtara lah yang paling banyak bergerak. Aku hanya menerima apa yang beliau lakukan padaku hingga ronde kedua berakhir dengan begitu manis."Sayang, ini benar-benar luar biasa."Kemudian Pak Akhtara menurunkan selimut yang kami pakai untuk menutupi raga kami saat bercinta. Lalu membaringkan tubuhnya di sebelahku dan menyelimuti raga kami berdua."Kamu benar-benar racun yang bikin saya mati kalau nggak nyentuh k
Kring ....Aku urung membereskan meja kerja karena dering ponselku mengalun. Di sana ada nomer lelaki yang sangat kucintai dan dengan senyum mengembang, lalu aku mengangkatnya."Ya, Mas?""Mau pulang bareng?"Sejauh ini, aku belum pernah menunjukkan dimana aku tinggal pada Mas Hadza. Jika dia tahu, maka Afifah bisa membocorkannya pada Pak Akhtara. Juga aku takut ketika Mas Hadza bertandang, Pak Akhtara juga pulang ke rumah. "Ehm ... aku ada acara jalan sama teman, Mas.""Siapa? Aku cemburu loh."Kemudian aku tertawa meningkahi ucapan Mas Hadza. "Ya ampun, Mas, ini tuh teman cewek jaman kuliah."Terpaksa aku membohonginya. Padahal aku akan bertemu Rara yang notabene adalah manajer aplikasi pacar sewaan yang dulu menjadi pekerjaan sampinganku. "Oh ... maaf kalau salah tebak. Emang mau nonton?""Iya, Mas, sama cerita kesana kemari gitu. Namanya ketemu teman lama, pasti ada yang digosipin.""Oke, hubungi aku kalau kamu mau dijemput atau apapun.""Iya, sayang.""Love you, Han.""Love you
"Pak Akhtara nelfon, Mbak."Aku mengerutkan kedua alis dengan ucapan Afifah. "Kok kamu tahu?""Pak Akhtara nelfon ke rumah, Mbak. Barusan tanya saya, Mbak dimana? Ya saya jawab kalau Mbak ada di kamar. Lalu disuruh nyampein pesannya kalau beliau nelfon."Oh ... Pak Akhtara tidak bisa menghubungiku lalu menyuruh Afifah menyampaikan pesannya. "Oke. Kamu boleh keluar."Setelah kepergian Afifah, aku menarik bantal dan menatap layar ponsel. Ah ... masih terhubung dengan Mas Hadza. Kemudian kembali menempelkannya di telinga. "Halo, Mas?""Kamu dari mana, princess?" Tanyanya sedikit kesal."Itu tadi, pembantu rumah bilang kalau makan malam udah siap.""Oh ... aku pikir kamu kemana.""Kemana lagi emangnya, Mas? Aku ya tetap di sini. Menunggumu dan selalu ada di hatimu." Dengan posisi berbaring dan menatap plafon kamar, aku menggombali Mas Hadza. Kemudian ia tertawa lirih sedang panggilan dari Pak Akhtara kembali menginterupsi. Namun aku lagi-lagi mengabaikan panggilannya dan terus berbicar
Dengan jatung bertalu-talu aku mendekati Pak Akhtara dengan kaki yang juga terasa berat. Padahal beliau sedang fokus melahap makan malamnya. Namun auranya sudah membuatku panas dingin.Ingin lari menuju kamar tapi aku ingat akan pesan pengacaraku. Jika tidak sekarang, kapan lagi?Bukankah jika semakin cepat maka akan semakin baik?“Malam, Pak.”Beliau tidak menjawab salamku dan masih fokus melahap makan malamnya.Aduh … bagaimana ini?Suapan demi suapan itu akhirnya habis ditelan Pak Akhtara dan aku masih setia berdiri di sebelahnya.Bukannya menatapku, Pak Akhtara merapikan piring kotor itu lalu membawanya ke wastafel sekaligus mencucinya. Ketika berbalik ke arahku, beliau seperti tidak melihat kedatanganku lalu berlalu menuju kamar.Aku pun bingung.‘Kenapa nggak marah?’ Batinku bertanya.Beliau tetap menuju ke kamar sedang aku hanya termangu menatap punggung tegapnya yang makin menjauh.Merasa ada yang tidak beres dengan rencanaku, akhirnya aku mengikuti beliau untuk mencari tahu.“
“Tolong, jangan sentuh Mas Hadza. Jangan membencinya.”Lalu Pak Akhtara tersenyum sinis sembari menatapku.“Panggilan yang manis. Mas Hadza.” Cibirnya.“Saya yang salah, Pak. Bukan Mas Hadza. Saya akui kalau saya lah yang menarik dia untuk masuk ke dalam kehidupan saya. Saya akui kalau saya mencintainya.”Bagaimanapun aku harus melindungi Mas Hadza. Jangan sampai dengan kekuasaannya, Pak Akhtara bisa membuat lelaki yang kucintai itu terluka atau menjadi pengangguran. Bisa-bisa kami batal menikah dalam waktu dekat.“Luar biasa. Istriku berkata terang-terangan tentang perasaannya pada selingkuhannya.”“Apapun sindiran Pak Akhtara, saya nggak peduli. Saya jahat? Iya! Saya tega? Iya! Saya nggak punya hati nurani? Iya! Semua keburukan itu ada pada saya kalau bukan karena takdir yang membuat saya begini!”Sekalian saja aku mengutarakan kekesalanku pada Pak Akhtara. Agar beliau tahu jika aku seperti itu juga karena keadaan.“Kalau aja kedua orang tua saya nggak bangkrut, saya nggak akan sudi
Rara langsung menepikan mobilnya lalu menatapku dengan ekspresi tidak habis pikir."Lo bener-bener nggak tahu terima kasih ya, Han? Udah gue bantuin banyak malah lo nuduh gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara. Atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu? Ada buktinya nggak? Atau lo cuma ngarang?!"Aku pun membalas ucapannya dengan emosi menggebu. "Karena yang tahu semua rahasia gue itu lo doang, Ra!" ucapku dengan menunjuk wajahnya. "Lantas, kalau gue tahu semua rahasia lo, apa itu artinya gue yang bocorin? Mana buktinya kalau gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara?! Mana, heh?!" Tantangnya. Benar juga apa kata Rara. Belum tentu dia yang membocorkan semua rahasiaku pada Pak Akhtara meski dia tahu segalanya. "Nggak bisa jawab kan?!" Tebaknya. "Tahu lah! Gue pusing!" Akhirnya aku mengelak karena pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak kacau jika sedari pagi aku sudah mendapat dua kejutan besar yang menjungkirbalikkan hidupku. "Makanya, kalau nggak mau pusing tuh jangan main api! A
Tidak mungkin aku keliling mencari kos-kosan ketika hari sudah gelap seperti ini. Ditambah tarif taksi di jam pulang bekerja seperti ini pasti mahal-mahalnya dan aku membawa tas besar.Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di stand kulinerku.Di lantai dua, ada sebuah kasur lantai yang pernah Pak Akhtara siapkan khusus untukku beristirahat. Di sana juga ada kamar mandi mini, setidaknya aku bisa bertahan sesaat di sana sampai menemukan kos-kosan yang cocok.Stand sedang ramai akan pengunjung, jadi tidak mungkin aku berjalan di tengah keramaian pengunjung dengan membawa dua tas besar seperti ini.Memalukan!Akhirnya aku duduk di kursi teras sendirian dengan menahan perih sejadi-jadinya di perut.Melihat pembeli melahap menu yang tersedia di standku, lalu aku menghubungi ponsel salah satu karyawan agar membawakan seporsi makan malam untukku. Tapi sayang, tidak ada yang mengangkat panggilanku.“Ponselnya pasti di taruh loker semua. Aduh!”Saat menurunkan tas dari taksi saja kepalaku sudah