Share

Bab 2

Yulia berdiri cukup lama di depan pintu kamar cucian, cukup untuk menyimpulkan bahwa Minah berbahaya baginya. Awalnya, ia ingin meminta tolong Minah membuat secangkir kopi pahit untuknya karena sakit kepala tiba-tiba menyerangnya setelah bertengkar dengan Elia. Tapi, apa yang didengarnya dari balik pintu, nyatanya mampu menyembuhkan sakit kepalanya.

Dibukanya pintu kamar dengan keras.

“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” hardik Yulia. Hatinya bersorak, manakala melihat wajah pias Minah dan gurat kejengkelan adik tirinya. “Lho, malah bengong. Lagi main petak umpet? Kok cuman berdua, kurang seru, dong. Ikutan, boleh gak?”

Tanpa bicara, Elia mendorong bahu Yulia dengan kesal agar perempuan itu menyingkir dari jalan dan membiarkannya keluar ruangan. Minah bermaksud mengekor Elia, tapi lengan Yulia mencekalya.

“Bik Minah, tolong buatin kopi pahit, dong,” pinta Yulia dengan nada lembut yang dibuat-buat tertuju pada Minah, sedang matanya mengiring kepergian Elia.

Setelah memastikan Elia masuk ke dalam rumah utama, Yulia berpaling menatap Minah dengan mata mendelik marah.

“Heh, bacot! Mau lapor apa kamu ke Elia, hah?! Mau aku kirim pulang seperti adikmu?!” desis Yulia geram.

“A-ampun, Neng. Bibik bukannya mau lapor, hanya menjawab pertanyaan Neng Elia. Kasihan, Neng.” Minah menjawab terbata dengan kepala menunduk, menghindari tatapan tajam Yulia.

“Kasihan, kasihan, apaan?! Pikir aja nasib keluargamu sendiri, kalau sampai kamu juga pulang kampung. Kasihan mana, Elia atau mereka?”

Remasan kuat jemari Minah, sudah cukup memberi Yulia jawaban.

“Bagus! Jangan sampai lupa kalau bapakmu di kampung harus cuci darah tiga kali seminggu!” tegas Yulia seraya mengacungkan tangan kanannya dengan jari manis dan kelingking menekuk ke dalam.

Minah tidak bisa berkata-kata, hanya mengangguk pasrah.

“Oke. Aku anggap tidak melihat dan mendengar kejadian barusan.” Yulia meremas kedua bahu Minah. “Sekarang, tolong buatkan saya kopi hitam pekat tanpa gula, bisa?” pinta Yulia lembut sarat kepura-puraan.

***

Kantin Fakultas Kedokteran

Sepiring gado-gado menjadi korban kegalauan Elia. Jemari rampingnya terus bergerak mengaduk bumbu kacang, telur rebus, kentang serta berbagai olahan daging ayam yang terbungkus tahu putih, pare dan kulit pangsit. Di depannya, gadis seusianya berpenampilan culun lengkap dengan kacamata bulat berlensa besar menggoyangkan dua kuncir kudanya melihat kelakuan sang sahabat.

“Astaga … El! Bentar lagi, itu gado-gado berubah jadi bubur kacang semua!” tegur Shinta.

Elia masih melanjutkan kegiatannya, seolah tidak mendengar teguran sahabatnya.

“El, Elia! Hellow ….” Shinta melambaikan tangannya di depan wajah Elia. “Whoi!”

Tang!

Elia menjatuhkan sendok di tangannya dan mengerjap kaget karena hardikan Shinta.

“Astaga … apaan, sih?!” sungut Elia kesal.

“Apaan, sih. Harusnya gue yang ngomong gitu. Tuh, gado-gadonya udah cair, siap diminum!” balas Shinta tak kalah kesal.

Elia terbeliak melihat kondisi gado-gado di piringnya. “Ini ulah gue?” tanyanya ragu.

“Bukaaannn! Sendok garpu pelakunya.” Bibir Shinta seketika manyun mendengar pertanyaan konyol mahasiswa terpintar di angkatannya. “Lu napa, sih? Bengong mulu. Kena panah si Ciprut?”

Cebikan Elia membuat Shinta terbahak sambil menahan gagang bagian tengah kacamatanya agar tidak merosot.

“Panah Ciprut, apaan?”

Shinta masih saja tertawa.

“Shin, lu tau gak, Rafi i-ship di mana?” tanya Elia polos.

Tawa Shinta makin menjadi.

Kening Elia mengkerut karena respon sahabatnya. “Ehh … ditanya bukannya jawab, malah ngakak! Gue serius ini!”

Shinta membekap mulutnya agar tawanya berhenti. Dibutuhkan sebuah tatapan tajam bak pedang untuk membuat Shinta berhenti tertawa. Gadis berkacamata itu mengangkat kedua tangannya tanda setuju bekerja sama.

“Oke, serius.” Shinta mengambil selembar tisu untuk mengelap sudut matanya yang basah. “For your information, ya. Rafi itu udah lulus, Jeng. Dia sekarang udah jadi dokter magang di rumah sakit bapaknya. Keren, lho, dia.” Shinta memainkan kedua alisnya seraya mengulum senyum.

“Medistra, bukan?” tanya Elia memastikan.

“Yups! Betul banget.” Shinta mengacungkan dua jempolnya bersamaan. “Gue gak nyangka, diem-diem, ternyata lu perhatian juga.”

“Sial!”

Elia meraih tas ransel dan ponselnya. “Tolong, bayarin dulu, ya. Bye.

Shinta hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Elia yang belum pernah dilihatnya.

“Hmm, cinta memang bisa merubah segalanya,” desah Shinta sendu.

***

IGD Rumah Sakit Medistra

Elia memarkir motornya dengan tergesa. Ia tidak sabar bertemu Rafi dan memastikan sesuatu. Kaki jenjangnya setengah berlari memasuki pintu IGD sebuah rumah sakit besar di kotanya.

“Permisi, Sus. Bisa saya bertemu dengan dokter Rafi?” tanya Elia saat mencapai meja perawat.

Alih-alih menjawab, dua suster yang kebetulan sedang bertugas, saling pandang.

“Sus, bisa saya bertemu dokter Rafi?” ulang Elia.

“El,” sapa sebuah suara bariton dari balik punggung Elia, membuat gadis itu menoleh cepat ke arah suara.

“Raf …,” balas Elia dengan suara yang tiba-tiba bergetar.

Entah kenapa, emosi Elia menjadi tidak terkontrol saat matanya bertemu mata bening Rafi yang begitu intens menatapnya. Seluruh wajahnya mendadak menghangat, pandangannya buram.

“El?” tegur Rafi cemas manakala melihat Elia limbung.

Bruk.

Elia pingsan. Beruntung, dua lengan kokoh Rafi berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum gadis itu ambruk ke belakang.

“El, Elia!” Rafi menoleh cepat ke meja perawat. “Bantuin, Sus!”

Satu Jam Kemudian

Aroma antiseptik membuat Elia sadar bahwa ia masih berada di rumah sakit. Lengan kanannya terangkat ke atas dahi, menghalangi sinar lampu yang menusuk pupilnya.

“Kamu sudah sadar, El?”

Elia meneleng ke kanan mendengar teguran Rafi. Senyum lemah tersungging di bibirnya.

“Mau aku ambilkan sesuatu, El?”

Gadis itu menghela napas dalam sebelum menarik tubuhnya bangun. Ia duduk di tepi ranjang dengan kaki menggantung.

“Minum,” jawab Elia singkat.

Jari panjang dan kokoh meraih gelas kaca bening dari atas meja pasien dan mengisi setengahnya dengan air. Tak lama, isi gelas itu sudah berpindah ke dalam lambung Elia.

Hening.

Rafi hanya berani menatap jemari Elia yang menggenggam erat gelas pemberiannya. Ia khawatir, kegugupannya akan mudah diketahui Elia bila ia terlalu banyak bersuara.

“Hmm …,”

Gumaman Elia membuat Rafi mendongak.

“Kenapa, El? Ada yang tidak nyaman?” tanya Rafi cemas.

Elia menggeleng. “Aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu, Raf.”

“Katakan saja.” Rafi menegakkan punggungnya.

“Aku ingin melihat rekam medis ayahku, Surya Wijaya. Seminggu lalu, ia meninggal di sini,” tukas Elia jujur.

Rafi terperanjat mendengar permintaan Elia. Ia tidak menduga, ayah gadis pujaannya meninggal di sini, rumah sakit tempatnya magang, tanpa ia tahu.

“Ayahmu meninggal di sini? Kapan? Causa?”

Elia tersenyum getir. “Aku rasa, kita akan tahu pasti penyebab kematiannya, setelah membaca rekam medisnya.”

Rasa malu membuat wajah Rafi terasa panas. Pertanyaan itu tentu terdengar konyol di telinga Elia, terlihat dari cara gadis itu menjawab.

“Ehem! Kamu tentu tahu, rekam medis tidak bisa dengan mudah diakses meskipun oleh anggota keluarga, kecuali untuk alasan pemeriksaan kepolisian atau pengajuan klaim asuransi,” balas Rafi diplomatis.

“Ya, aku tahu. Itu sebabnya, aku datang meminta bantuanmu. Aku dengar dari Shinta, kamu anak pemilik rumah sakit. Betul?”

Rafi terdiam sejenak. Dahinya berkerut mencari jalan keluar. Putra pemilik rumah sakit, tidak berarti membuatnya bisa bertindak sesuka hati.

“Hmm, kamu tunggu sini. Aku akan pinjam laporan harian perawat jaga IGD.” Rafi bergegas keluar tanpa menunggu persetujuan Elia.

“Makasih,” lirih Elia, yang sepertinya tidak sempat Rafi dengar.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status