Alaric berjalan di koridor perusahaan. Dia berjalan mengabaikan beberapa staff yang menatapnya. Alaric pergi ke perusahaan Gio, tentu saja untuk memperingatkan sepupunya itu karena berani menemui Emily. Begitu masuk ruang kerja Gio. Alaric melihat sepupnya itu duduk sambil memandang dirinya. “Seperti keajaiban kamu mau datang ke kantorku,” ucap Gio sambil menutup berkas yang baru saja dibaca lantas menatap Alaric. Namun, bukan tanggapan sebuah ucapan yang didapat Gio, tapi bogem mentah yang menghantam pria itu. Alaric berdiri di depan meja kerja Gio, lantas menarik kerah kemeja sepupunya itu dengan cepat dan menghantamkan sebuah pukulan tepat di pipi. “Sialan! Berhenti bersikap kamu yang paling kuat hingga menghajarku dan selalu meremehkanku!” Gio mengumpat kesal karena Alaric tiba-tiba memukulnya. Alaric mencengkram erat kerah kemeja Gio, amarahnya memuncak hingga rahangnya mengetat dan membuat gigi-giginya bergemeretuk. “Selama ini aku diam dengan segala tingkahmu untuk meng
[Aku mau mengajakmu ke suatu sempat sepulang kerja nanti. Aku akan menjemput tepat waktu.]Emily tersenyum membaca pesan dari Alaric. Dia pun membalas pesan itu, lantas meletakkan ponsel kembali di meja.Emily mengecek berkas yang bertumpuk di meja. Dia harus segera menyelesaikan itu agar bisa pulang tepat waktu.Saat Emily masih sibuk mengecek berkas sebelum ditandatangani, ponselnya berdering dan langsung diangkat Emily tanpa melihat nama yang terpampang di layar.“Halo.”“Kupikir kamu tidak mau menjawab panggilanku, Kakak Ipar.”Emily terkejut ada yang memanggilnya kakak ipar. Dia langsung menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek nomor yang terpampang hingga membuatnya terkejut.“Mau apa kamu? Untuk apa menghubungiku, aku tidak punya urusan denganmu,” ucap Emily dengan ekspresi wajah malas.Emily hendak mengakhiri panggilan itu tapi mendengar suara Gio yang mencegah.“Apa kamu tidak mau tahu alasan Alaric menikahimu, bahkan setelah bertunangan kenapa malah memilihmu?”Emily te
“Bekas lipstik ini?”Emily menarik lengan Alaric, memperlihatkan ada bekas lipstik berbentuk bibir di sana. Dia pun menatap tak senang ke suaminya.Alaric melirik ke lengannya, hingga memejam mata sekilas sambil mendesis. Dia pun buru-buru melepas jas itu kemudian melemparnya serampangan.Emily menatap Alaric yang baru saja membuang jas. Dia menatap tak senang karena suaminya belum menjelaskan.“Ada yang mau kamu jelaskan?” tanya Emily sambil meletakkan buket bunga yang dibawa ke meja.“Saat membeli kue, aku bertemu dengan rivalmu,” jawab Alaric jujur karena tak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.“Selena?” Emily langsung mengerutkan alis mendengar jawaban Alaric.“Ya. Dia tiba-tiba muncul dan menabrakku, membuat kue yang aku beli jatuh. Dia memaksa ingin mengganti kue itu, tapi aku tolak. Lalu saat akan pergi ….” Alaric menjeda ceritanya ketika ingat apa yang terjadi.“Sial!” umpatnya sambil memukul udara.Emily masih memperhatikan Alaric dengan eksprei wajah datar, hingga sua
“Aku senang kamu tak langsung menilai dari satu sudut pandang saja. Aku benar-benar tak salah memilihmu,” ucap Alaric saat sudah melepas pagutan bibir mereka, lantas menatap Emily yang ada di bawahnya.“Aku bukan wanita sembarangan. Kamu takkan menyesal memilihku sebagai teman seumur hidup,” balas Emily jemawa.Alaric gemas mendengar Emily yang penuh percaya diri. Dia pun menyentuhkan kening mereka, hingga hidung mereka saling bersentuhan.“Aku takkan melewati batas jika berniat membuangmu, jadi jangan pernah berpikir seperti itu,” ucap Alaric mencoba meyakinkan Emily.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan suaminya itu.“Kita menginap malam ini di sini, aku ingin berdua denganmu tanpa ganguan,” bisik Alaric lantas kembali mendekatkan bibir.“Al, aku lapar.”Baru saja Alaric ingin memadu kasih dengan istrinya setelah ketegangan yang terjadi, Emily malah mencegah karena lapar.Dia benar-benar merasakan sesuatu karena sikap Emily yang blak-blakan, merasa wanita itu yang terbaik karena
“Kenapa kamu murung seperti itu?” tanya Claudia saat siang itu bertemu Emily di kafe.Emily sedang mengaduk-aduk jusnya ketika mendengar pertanyaan Claudia. Dia menatap sahabatnya itu, lantas membalas, “Tidak murung.”Claudia mengerutkan alis mendengar jawaban Emily. Jelas-jelas sahabatnya itu sedang murung, bagaimana bisa berkata tidak.“Seharusnya yang murung itu aku,” ucap Claudia tiba-tiba.“Kenapa murung?” tanya Emily langsung menatap sahabatnya itu. Dia menyedot jusnya sambil memperhatikan Claudia.“Aku bertengkar dengan pacarku, lalu sekarang break. Rasanya aneh saat dia tak menghubungiku sama sekali,” jawab Claudia lantas menghela napas kasar.Emily langsung menyemburkan jus yang baru saja masuk mulut saat mendengar jawaban Claudia.“Tunggu! Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Emily sangat syok karena tak tahu bahkan Claudia tak pernah bercerita soal itu.Claudia langsung mengulum bibir melihat Emily terkejut. Dia keceplosan bicara hingga akhirnya ketahuan sahabatnya i
“Aku akan mengantarmu,” ucap Claudia setelah selesai makan siang bersama Emily. “Tidak usah, aku naik taksi saja. Atau manggil anak buah suamiku yang mengawasiku untuk mengantar,” tolak Emily enteng. “Siapa?” Claudia terkejut mendengar ucapan Emily. “Anak buah suamiku, tuh!” Emily menunjuk menggunakan dagu ke arah salah satu sudut kafe. Claudia menoleh ke arah Emily menunjuk hingga melihat dua pria yang langsung memalingkan muka. “Suamimu protektif sekali, apa dia pikir aku akan menculik atau menganiayamu sampai dia meminta orang mengawalmu?” tanya Claudia tapi tentunya dengan nada ledekan. Emily tergelak mendengar pertanyaan Claudia, hingga kemudian membalas, “Dia itu cinta mati denganku, makanya takut kalau ada semut yang menggigitku.” “Dih, lebay.” Claudia malah gemas dengan ucapan Emily yang memang penuh percaya diri. “Sudah, ayo balik,” ajak Emily lantas berdiri sambil mencangklong tasnya. Emily dan Claudia pun berdiri karena harus kembali ke perusahaan. Hingga l
“Aku sudah tidak bisa membiarkan Gio berbuat seenaknya.”Billy menatap Alaric yang bicara dengan nada penuh emosi. Dia melihat sahabatnya itu terlihat begitu kesal.“Mau aku yang bertindak?” tanya Billy sambil memainkan pulpen di jarinya.Alaric langsung menatap Billy. Dia mendengkus kasar karena masih berpikir dua kali untuk membalas perbuatan Gio.“Jika bukan karena Kakek, aku ingin sekali menghajarnya sampai dia tak bisa bangun,” geram Alaric dengan telapak tangan mengepal.Billy menghela napas kasar, lantas meletakkan pulpen di meja.“Perbuatannya sudah keterlaluan untuk menjatuhkanmu, apa kamu masih terus saja memikirkan perasaan kakekmu sedangkan perasaanmu juga bakal jadi tumbal,” ucap Billy sambil menatap Alaric yang terlihat sangat kesal.“Blokir semua aksesnya untuk mendapat proyek, aku takkan membiarkannya mendapat satu proyek pun sebagai pelajaran karena sudah main-main denganku!” perintah Alaric tanpa berpikir lagi.Alaric mungkin tak bisa main fisik karena semua itu akan
“Akhirnya kamu mau menemuiku.” Farrel terlihat senang saat melihat Emily menemuinya di private room sebuah restoran. “Dari mana kamu mendapatkan ini semua?” tanya Emily sambil melempar amplop coklat yang ditemukannya di ruang kerjanya. Di sana ada secarik kertas bertuliskan permintaan Farrel untuk bertemu. “Kamu lupa kalau keluargaku ada yang bekerja di kepolisian? Tentu saja rekaman itu valid, semua itu benar,” jawab Farrel. Emily diam dengan telapak tangan mengepal. Dia benar-benar tak menyangka banyak fakta yang mendadak muncul hingga membuat kepalanya begitu sakit. “Aku tidak tahu kamu kecelakaan malam itu. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu terluka. Tapi jujur aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya khilaf saja karena Selena terus menggodaku,” ucap Farrel mencoba membujuk Emily. “Kamu pikir, dengan memberiku semua bukti ini, lantas aku akan memaafkan perbuatanmu?” Emily tersenyum miring ke Farrel. “Aku hanya berharap kamu memaafkanku. Juga aku ingin menunju