Setelah mengulik semua dokumen keuangan, entah kenapa hatiku masih tidak yakin Tika bisa mengkhianatiku. Dia adalah orang yang ku percaya selama ini, bahkan rasanya tak mungkin dia bisa berpikir dengan sengaja mencuri uang perusahaan. Benar juga yang disampaikan oleh ayah untuk tidak percaya dengan siapapun itu. Rasanya begitu menyakitkan dikhianati olehnya."Eh kenapa bengong?" Suara maskulin ini memecahkan lamunanku."Udah datang? Kurang lama datangnya!" Balasku."Yaelah maaf La. Tadi ada deadline di kantor sebentar, makanya gue baru bisa kesini setelah semua udah beres.""Apa yang mau lo sampaikan?" Tanyaku."Bentar dong, gue aja belum pesan minum ini. Gue pesan dulu ya," jawabnya yang langsung beranjak menuju meja barista.Aroma parfumnya masih sama, orangnya masih sama, namun statusnya saja sudah berbeda. Ya setidaknya aku tak pernah menyesal mengenal manusia ini, sebab ia begitu baik hati mesti terkadang seringkali ku berpikir bahwa aku lah yang begitu jahat selama menjalani hu
"Gimana kamu sudah telisik semua laporan keuangan perusahaan?" Ayah menyapaku bukan dengan salam melainkan menanyakan laporan perusahaan yang sedikit mengalami masalah. "Iya, aku sudah skimming namun pengecekan detail sudah dilakukan oleh kepala keuangan." Jawabku sembari meletakkan beberapa dokumen penting yang ia minta. "Lalu apa hasilnya?" Tanyanya. sembari membuka satu per satu lembar yang berada dalam map tipis warna-warni tersebut. "Kami masih menyelidiki siapa pelakunya, Yah. Berikan aku waktu untuk mencari tahu siapa yang sesungguhnya sedang bermain peran di atas kepentingan perusahaan." Balasku yang masih berdiri di hadapan meja kerjanya. Sengaja ku tutupin apa yang sebenarnya terjadi, sebab masalah internal ini benar-benar mengagetkan, bagaimana mungkin asisten pribadiku bisa dengan tega melenyapkan uang yang berada di rekening perusahaan. "Masa bisa lama banget, La. Ini kasus kriminal loh harusnya kamu bisa melaporkan kepada pihak polisi terdekat!" Ayah yang tampak emos
"Sayang, kamu dimana sekang?" Ucapku melalui sambungan telepon."Lagi di jalan nih. Ada apa sayang?" Tanyanya yang terdengar hiruk pikuk klakson dari suara latarnya."Ini ibu dan ayah mau ngajakin makan malam di rumah, kamu bisa datang?" "I'm not sure karena ada jadwal meeting kantor nih.""Selarut ini. Meeting apa emangnya dan dimana?" Tanyaku yang membuat rasa curiga ini kian bergemuruh dalam benak pikiran."Belum tahu sih aku masih menunggu respon staffku terkait lokasinya." Jawabnya singkat.Mulai lagi keanehan yang aku rasakan dari suamiku ini. Bagaimana bisa mengadakan suatu pertemuan tanpa ada obrolan sebelumnya? Bagaimana bisa dia pergi tanpa tujuan? Apakah ini ada hubungannya dengan telepon di hari lalu tentang PHK? "Loh kok bisa gak tahu tapi kamu sudah jalan aja." Aku langsung menanyakan apa yang menjadi pikiranku."Ya kepengen aja merasakan udara malam." Setelah jawaban singkatnya itu, langsung saja aku mematikan panggilan ini, sebab semakin lama berkomunikasi dengannya
"Andrew bukan sih itu?" Desisku dalam hati sambil mengamati postur tubuhnya yang sangat mirip dengan pria yang ku kenal.Aku masih mengamati dari dalam mobil dengan modal sedikit pencahayaan yang terdapat dari lampu jalan di pinggiran taman resto itu.Pria yang ku curigai sebagai Andrew memegang ponsel dan mengarahkan ponselnya ke telinga, lalu berjalan menyusuri resto itu."Duh ini sama sekali gak ada urusan di gue, tapi gue pengen tahu apa hubungannya Andrew dengan Tika." Tambahku yang masih berbicara sendiri di dalam mobil ini.Aku perlahan menuruni mobil dan seperti mengendap-endap agar tak tampak dicurigai oleh orang yang melintas. Suasana resto malam ini begitu ramai dipenuhi dengan anak muda. Entah ada pertunjukkan apa disini sampai begitu antusiasnya mereka datang beramai-ramai.Masih terus mengikuti jejak kaki Andrew dan ia berhenti di sebuah bar lalu duduk dan terlihat sedang memesan minuman dengan posisi tangan terus mengarah ke telinga seperti menelfon seseorang yang berad
Aku mengalah dan akhirnya keluar menuju mobilku lagi yang sudah ku parkir di ujung sana. Aku gak punya kuasa barangkali sedikit pun membantah Re yang sudah jelas mengusirku berkali-kali. Entah yang katanya sakit, entah yang katanya meeting, entah yang katanya hanya keliling kota Jakarta, aku sudah tidak percaya sedikit pun kepadanya. Aku ingin menuduhnya, seribu kali aku yakin perasaan ini bilang demikian, namun masih belum ada bukti satu pun yang menguatkan perasaan ini."Laila!" Jleb tanganku ditarik kencang oleh seorang pria yang tentu saja aku kenal. Ia memegang erat tanganku tanpa bisa aku lepaskan dan bawa aku menuju mobil biru metalik miliknya."Apa sih Drew! Lepas gak! Atau gue teriak!" Aku berusaha sekuat tenaga ingin melepaskan tangannya. Namun, tenaga ia seolah seratus kali lipat dari sisa tenaga yang ku punya."Sebentar aja La, sebentar!" Ia merogoh saku celananya dan didapatkan sebuah kunci mobil dengan remote control yang otomatis membuka kunci pintu mobil. Ia membukakan
Mendengar suara jeritan yang amat kencang hingga memusatkan pikiran semua orang yang sedang berada di dalam apartemen tersebut tentu saja sang pendengar langsung buru-buru keluar termasuk aku yang saat ini kondisinya tengah memesan makanan kepada mbak resepsionis. Kami semua menuju pada satu titik sumber suara yang berada tepat di luar apartemen. "Astaga.........." Teriak salah satu resepsionis dengan wajahnya yang berubah menjadi ketakutan. Aku melihat persis tangan resepsionis itu sedang gemetaran sembari pelan-pelan merogoh kantongnya. Ia mengambil ponselnya, dan entah siapa yang sedang ia komunikasikan saat ini. Sementara pengunjung lain pada sibuk menelepon ambulance untuk segera datang ke tempat kejadian perkara. Aku masih terpaku pada semua hal yang ku lihat larut malam ini, aliran darah yang menyelimuti aspal, seseorang yang terbaring entah masih bernyawa atau tidak, serta keriuhan malam ini yang membuat hampir seluruh kamar atas apartemen membuka jendelanya untuk melihat apa
"Kenapa lo bawa Tania kayak gini, Drew?" Terang saja aku membentaknya di tengah resto yang masih terdapat beberapa orang sedang menyantap makan malamnya."Lo pasti gak akan mau ketemu gue lagi jika bukan dengan cara ini. Gue gak punya pilihan." Balasnya dengan senyum tipis sembari mengarahkan tangan agar aku segera duduk dan menenangkan diri."Lo seharian pasti belum makan, kan? Pesan aja yang lo suka." Bak seorang peramal yang tahu persis seharian ini hariku sudah terlalu hectic dengan semua hal yang terjadi."Kak, makan dulu aja. Tadi aku sudah pesan banyak menu. Mas Andrew baik banget deh." Ucap Tania sembari mengunyah kentang goreng yang sudah dihidangkan lebih awal dari menu utama.Aku langsung mengangkat tanganku sembari berucap menu meskipun tanpa suara namun pelayan sepertinya telah memahami gerakan bibirku. Selang dua menit, salah satu dari mereka datang."Silahkan ibu ini buku menunya." Sembari tersenyum ramah.Aku langsung meraihnya, membuka satu per satu halaman menu dari
"Gue udah coba bilang kan ke lo sejak awal La. Selidiki suami lo, selidiki semua hal tentang dia." Celoteh Andrew yang masih kekeh dengan pendapatnya."Lo ada hubungannya dengan ini semua?""E... E.... Enggak...." Ia terbata-bata seperti tengah menutupi sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan."Gue tahu lo bohong!" Jelas saja sangat kebaca pola kebohongannya seorang Andrew yang telah bersamaku sejak lama.Tak lama kemudian, dering ponsel Andrew berdering, bahkan deringannya pun mampu menggetarkan meja."Sebentar gue keluar dulu." Pamitnya dengan mengarahkan tangan kanannya menuju telinga untuk mendengar sapaan dari balik telepon itu.Selang satu menit ia pergi, notifikasi ponselku pun berbunyi, dari layar yang terkunci ini dapat diketahui ada nama bertuliskan suami yang berarti kini Re kemungkinan besar mencari keberadaanku yang tak ia jumpai di apartemen.[Sayang, kamu kok belum sampai di apartemen, kemana?] 22.30."Kak, dari siapa?" Tania yang sedari tadi memperhatikan raut wajahku ya