Mendengar suara jeritan yang amat kencang hingga memusatkan pikiran semua orang yang sedang berada di dalam apartemen tersebut tentu saja sang pendengar langsung buru-buru keluar termasuk aku yang saat ini kondisinya tengah memesan makanan kepada mbak resepsionis. Kami semua menuju pada satu titik sumber suara yang berada tepat di luar apartemen. "Astaga.........." Teriak salah satu resepsionis dengan wajahnya yang berubah menjadi ketakutan. Aku melihat persis tangan resepsionis itu sedang gemetaran sembari pelan-pelan merogoh kantongnya. Ia mengambil ponselnya, dan entah siapa yang sedang ia komunikasikan saat ini. Sementara pengunjung lain pada sibuk menelepon ambulance untuk segera datang ke tempat kejadian perkara. Aku masih terpaku pada semua hal yang ku lihat larut malam ini, aliran darah yang menyelimuti aspal, seseorang yang terbaring entah masih bernyawa atau tidak, serta keriuhan malam ini yang membuat hampir seluruh kamar atas apartemen membuka jendelanya untuk melihat apa
"Kenapa lo bawa Tania kayak gini, Drew?" Terang saja aku membentaknya di tengah resto yang masih terdapat beberapa orang sedang menyantap makan malamnya."Lo pasti gak akan mau ketemu gue lagi jika bukan dengan cara ini. Gue gak punya pilihan." Balasnya dengan senyum tipis sembari mengarahkan tangan agar aku segera duduk dan menenangkan diri."Lo seharian pasti belum makan, kan? Pesan aja yang lo suka." Bak seorang peramal yang tahu persis seharian ini hariku sudah terlalu hectic dengan semua hal yang terjadi."Kak, makan dulu aja. Tadi aku sudah pesan banyak menu. Mas Andrew baik banget deh." Ucap Tania sembari mengunyah kentang goreng yang sudah dihidangkan lebih awal dari menu utama.Aku langsung mengangkat tanganku sembari berucap menu meskipun tanpa suara namun pelayan sepertinya telah memahami gerakan bibirku. Selang dua menit, salah satu dari mereka datang."Silahkan ibu ini buku menunya." Sembari tersenyum ramah.Aku langsung meraihnya, membuka satu per satu halaman menu dari
"Gue udah coba bilang kan ke lo sejak awal La. Selidiki suami lo, selidiki semua hal tentang dia." Celoteh Andrew yang masih kekeh dengan pendapatnya."Lo ada hubungannya dengan ini semua?""E... E.... Enggak...." Ia terbata-bata seperti tengah menutupi sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan."Gue tahu lo bohong!" Jelas saja sangat kebaca pola kebohongannya seorang Andrew yang telah bersamaku sejak lama.Tak lama kemudian, dering ponsel Andrew berdering, bahkan deringannya pun mampu menggetarkan meja."Sebentar gue keluar dulu." Pamitnya dengan mengarahkan tangan kanannya menuju telinga untuk mendengar sapaan dari balik telepon itu.Selang satu menit ia pergi, notifikasi ponselku pun berbunyi, dari layar yang terkunci ini dapat diketahui ada nama bertuliskan suami yang berarti kini Re kemungkinan besar mencari keberadaanku yang tak ia jumpai di apartemen.[Sayang, kamu kok belum sampai di apartemen, kemana?] 22.30."Kak, dari siapa?" Tania yang sedari tadi memperhatikan raut wajahku ya
Aku mendahuluinya, melewati tubuh tegap dengan wajah yang penuh amarah padahal seharusnya aku yang pantas marah, bukan dia.“Lo dengerin gue gak sih?” Pria itu mengejarku dan menari tangan kiriku.“Apa sih? Gue mau istirahat!” Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya yang amat kuat melilit di pergelangan tanganku.“Kamu jalan sama mantanmu?” Ia membentak. Sementara aku langsung terdiam menghentikan langkah kakiku yang sedang menuju kamar.“Dia tau darimana tentang Andrew....” Bisikku dalam hati.“Gak jawab? Oke artinya iya!” Ia menyimpulkan sendiri atas argumennya.“Kamu ada apa sama dia? Coba kasih tahu aku!” Tanyanya lagi seakan tengah menginterogasiku lagi.“Apa sih mau lo Re? Seharusnya gue yang tanya.....” Belum sempat lagi ku ungkapkan seluruh amarah yang ku pendam, aku disadarkan bahwa ini adalah misi rahasia untuk mencari tahu identitas dan hubungan mereka siapa.“Apa yang mau lo tanya?” Ia mencurigaiku.“Sudah hentikan!” Aku langsung berjalan cepat menuju pintu k
Semua yang dikatakan Re hari ini seolah memangkas hebat semua hal yang kemarin ku curigai sebab bagiku sebagai seorang pemimpin di perusahaan, kehidupan karyawan amat ku agungkan. Meskipun pada akhirnya Re menyerah dengan perusahaannya, ku pastikan akan ku ulurkan tanganku untuk membantu perusahaannya."Lantas, aku harus bagaimana lagi, Sayang?" Ia justru bertanya kepadaku dengan kondisi perusahaannya yang sudah di ujung tanduk."Kamu butuh suntikan dana?" Justru langsung ku tembakkan saja pertanyaan pamungkas itu."Jangan, kalau begitu tentu saja Papa akan murka terhadapku, La." Bantahnya."Lalu?""Bagaimana kalau kita merger saja?" Ia memberikan tawaran agar perusahaanku dan perusahaannya bergabung sehingga punya kekuatan baru untuk bangkit."Bukannya terlalu berisiko?" Aku sepintas mempertimbangkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi apabila kedua perusahaan ini bergabung secara dasar perusahaannya beda, aku di bagian tekstil sementara ia dibagian percetakan. Namun, hal itu bis
"Mbak, sepertinya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan ini deh." Aku mengucapkan kalimat ini dengan amat pelan sebab ku tahu persis pasti ia kaget dengan keputusanku ini."La...." Belum sempat ia meneruskan perkataannya, ketukan dari pintu sudah mengalihkan perhatiannya."Iya masuk." Jawabnya kepada si pengetuk pintu yang ternyata adalah Cessi. Ia membawa dua buah kotak dan dua gelas minuman pada satu wadah nampan."Permisi Bu, Mbak." Ucapnya sembari masuk dan meletakkan makanan dan minuman tersebut di meja kami."Thank you ya Ces." Ucapku kepadanya sembari tersenyum."Sama-sama Mbak, permisi ya Bu, Mbak." Ia kembali keluar dari ruangan ini."Coba lo minum dulu La." Rosi menawarkan agar aku minum terlebih dahulu sembari memikirkan lagi apa yang sudah menjadi keputusanku."Sudah final?" Tanyanya yang masih dengan raut wajah tak percaya atas keputusan ini."Atau gajimu kurang?" Bombardir pertanyaan darinya membuatku justru sedih sebab ini pun adalah keputusan terberat ya
Tak berapa lama asistenku ini meninggalkan ruangan dengan gelagat anehnya di hari ini, aku langsung menghubungi pria yang membawa berita tidak baik tentang Tika, asistenku. Ku cari kontak Andrew dalam ponsel ini, baru saja aku mau menekan simbol ponsel berwarna hijau, notifikasi pesan darinya sudah keburu masuk duluan. [La, bisa ketemu?] 11.00 [Jam makan siang?] 11.00 [Wah, tumben banget lo bisa balas cepat, biasanya super lama hahaha] 11.01 [Temuin gue aja di cafe biasa jam 12 ya] 11.01 Setelah janjian dengannya, kini aku harus menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan sebelum resmi resain dari kantor yang telah membesarkan namaku secara pribadi bukan karena embel-embel pangkat papa yang konglomerat melainkan karena hasil jerih payahku untuk menempuh jalur tes hingga berhasil masuk dan bahkan menepati fungsi sebagai manajer di sini. Meskipun pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar, namun ya inilah risiko yang harus aku ambil demi mengembangkan usaha yang telah diberikan oleh papa
"Drew sepertinya apa yang lo bilang kemarin ada sedikit kebenaran yang terungkap." "Yang mana?""Semua tentang Re dan Tika." Ucapku lirih."Udah udah lo tenang dulu. Sebentar gue pesanin minum lo dulu. Lo mau apa?" Tanyanya."Matcha kan." Belum sempat lagi aku menjawab pertanyaannya dengan kondisi pikiran yang kalut, Re langsung saja berucap demikian seperti sudah paham apa yang menjadi menu favoritku.Aku melihatnya berdiri dan menuju kasir untuk memesan minumanku, sementara aku merogoh tas kembali sekedar untuk menghubungi suamiku yang kini tidak tahu apa yang sedang ia lakukan bersama perempuan itu.Selang tiga menit kemudian, Andrew kembali dengan segelas matcha kesukaanku."Udah, minum dulu La." Ucapnya yang sepertinya kini lega karena aku sudah tahu semua kebenaran yang terjadi tentang suamiku sendiri.Aku meneguk segelas matcha ini, menyeruputnya dengan pelan."La, lo kalau mau nangis, ya nangis aja jangan ditahan gitu." Ungkapnya, seolah bisa membaca suasana hatiku kini."Dre