Setelah mengantarkan Rengganis ke Curug Sidangkrong, kini Khandra gegas kembali ke istana. Sebagian besar dia sudah mendengar cerita dari Kayana. Tengah malam, lelaki tersebut menghadap ke Istana Utama. Perang melawan Raja Arutala akan dilaksanakan di perbatasan. Raja Abra sudah meminta bantuan dari sekutu dan beberapa kerajaan yang ada di bawah kuasanya. Ki Kastara pun mengumpulkan anak buahnya yang telah dia sebar dari beberapa tempat. Khandra dimohon untuk mempersiapkan ribuan pasukan miliknya untuk membantu menghalau. “Susul mereka ke perbatasan!” perintah Raja Abra. “Kita hadang mereka sebelum menyeberangi lautan sembari menunggu bala bantuan dari Kerajaan sekutu datang!” Khandra hanya diam mematung di tempat duduknya, ‘Apa dia tidak tahu akibatnya jika mengibarkan bendera perang. Sepertinya memasang Raja Arutala sebagai umpan adalah keputusan tepat yang dilakukan Permaisuri Rengganis dibandingkan meminta bantuan kerajaan sekutu. Aku hanya tidak menduga Raja Ar
Teriakan memilukan langit sore penuh debu dan juga berwarna merah darah. Dermaga porak-poranda sebagai saksi biksu di mana Raja Abra memproklamirkan perang. Prajurit yang hanya menjalankan tugas, seorang hamba sahaya banyak yang mati bergelimpangan. Tidak ada yang berani mendekat, para warga tanpa dosa yang berada di sekitar pun banyak yang kehilangan, kapal untuk mencari ikan, harta benda, dan tempat bernaung mereka. Petapa Bagaspati serta anak buahnya membantu sebisa mungkin warga untuk mengungsi ke tempat aman. Ki Chandra sukses memukul mundur pasukan Raja Arutala. Tentu Raja Arutala kalah jumlah, tetapi dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Raja Arutala menyuruh para prajurit dan anak buahnya tetap di dermaga. Sedang dirinya dengan beberapa orang saja sudah berlayar menggunakan perahu kayu nelayan agar tidak ada pengintai Raja Abra curiga. Sampai di kerajaan Bamantara tentu Raja Arutala segera mengumpulkan puluhan ribu pasukan, juga memanggil ratusan kesatria b
Kayana mengenakan pakaian berwarna putih sebagai pertanda siap siaga, tanda itu hanya anak buah di bawah Khandra yang paham. Sehingga beberapa prajurit di bawahnya segera mengganti pakaian sebagai pembeda antara lawan dan kawan. Anak buah Ki Kastara heran melihat pakaian prajurit berwarna putih. “Seragam kalian bagus, mengapa kami tidak diberikan hal sama?” Salah seorang prajurit berpakaian hitam bertanya. “Karena hanya yang berjiwa suci mempertahankan tanah air yang punya, bukan pengkhianat seperti kalian,” ujar Sajani menarik pedangnya. “Apa?” orang itu melebarkan mata, semua anak buah Ki Kastara terkejut bukan kepalang. “Jangan biarkan ada seorang anak buah Ki Kastara yang melarikan diri, bunuh mereka semua!” teriak Kayana penuh kebencian. “Serang!” Lawan pun menantang. Pertempuran sengit terjadi di antara dua kubu berpakaian putih anak buah Khandra dan berpakaian hitam anak buah Ki Kastara. Gua tempat singgah istirahat, tempat pel
Sementara Raja Abra dan Ki Kastara beserta ribuan prajurit terbaik yang mereka miliki menuju dermaga. Khandra mempersiapkan diri untuk kembali ke tempat pelatihan. Dia sedang mengeluarkan kuda yang dimiliki. Istana di jaga ketat oleh prajurit bayangan terbaik yang dimiliki Khandra. Suasana istana tampak senyap, hanya beberapa ocehan para wanita di dapur mempersiapkan makanan untuk di bawa ke medan perang. Mengingat pasal perang memang hal yang sangat membuat Khandra cukup sensitif, mengingat dampak perang itu selalu bukan hal baik. “Senapati Khandra.” Suara halus seorang wanita memanggil. Khandra menoleh, terlihat Selir Madhavi berjalan mendekat dengan senyum yang sungguh menjijikkan bagi Khandra. “Ada apa Selir Madhavi?” tanya Khandra. Madhavi menoleh ke arah para dayangnya sebentar sebagai pertanda agar meninggalkan mereka berdua. Para dayang tersebut menundukkan kepala dan berjalan mundur lalu pergi. “Bisakah kau menemaniku jalan-jalan, aku butuh seorang te
Crash! Tring! Ribuan panah berhamburan ke udara memenuhi langit di lautan perbatasan Kerajaan Baskara dan wilayah kekuasaan Kerajaan Bamantara. Kapal-kapal kecil yang membawa prajurit Bamantara yang hampir menepi ke dermaga beberapa telah karam. Mayat-mayat bergelimpangan, bau asin air laut bercampur bau anyir darah. Air lautan berubah merah dalam waktu sekejab. Tidak mau kalah, lelaki bertubuh kekar nan gagah, seorang panglima perang Kerajaan Bamantara pun berdiri menjulang di ujung kapal. “Hyat!” sebisa mungkin prajurit Bamantara menghalau anak panah dengan pedang atau pun tombak mereka. Trang! Trang! Anak panah dihalau menggunakan perisai, meski banyak pula prajurit Bamantara yang bergelimpangan gugur. “Tarik panah kalian!” teriak panglima Kerajaan Bamantara ketika hampir menepi ke dermaga. “Lepas!” Dia kembali berteriak lantang saat kapal menepi. Kembali anak panah berhamburan saling beradu di langit dermaga. Teriakan memilukan awal dari sebuah pertumpahan d
Sementara di Istana Utama Kerajaan Baskara, Selir Madhavi yang tengah asyik mencari perhatian Senapati Khandra dikejutkan dengan kehadiran tamu tidak diundang yang sedang duduk dengan angkuhnya di kursi singgasana. “Apa kabar Selir Madhavi?” Suara halus seorang wanita menyambut kedatangannya ke Istana Utama, tepatnya di ruang singgasana raja. “Permai … suri … Rengganis,” ujar Selir Madhavi mendadak tergagap. “Prajurit, tangkap wanita pengkhianat ini!” teriaknya lantang. “Pengkhianat?” Permaisuri Rengganis yang santai duduk di singgasana kemudian menegakkan tubuh. Dia memincingkan mata membuat satu alisnya naik. “Ini kerajaan milikku, Jalang!” Permaisuri Rengganis mengumpat. “Senapati Khandra, tangkap wanita itu, dia … dia yang telah melenyapkan bayi dalam kandunganku,” pinta selir Madhavi memelas. Wanita itu menuding ke arah Permaisuri Rengganis tanpa tahu malu. “Kapan kau akan sadar dengan situasi juga statusmu Madhavi?” Rengganis merasa mir
Bau anyir semakin kuat, burung pemangsa bangkai mulai berputar-putar di atas langit dermaga. Seorang prajurit lari tunggang langgang menuju ke tempat penjagaan raja. “Gawat Gusti Prabu Abra, pasukan kita kalah jumlah. Lebih baik Gusti Prabu segera meninggalkan tempat ini kembali ke Kerajaan Baskara,” sarannya. Raja Abra semakin tersulut emosi, hari sudah menjelang sore. Namun, dari tadi dia tidak mendapati pasukan bantuan dari Khandra, juga Ki Kastara yang maju ke barisan depan entah di mana sekarang. “Ke mana Ki Kastara, dia baik-baik saja bukan?” tanya Raja Abra. “Ampun Gusti, kami tidak tahu, kami sudah mencari ke mana-mana,” ujar lelaki tadi. Raja Abra berkacak pinggang, “Sialan, apa Ki Kastara tewas?” “Jika tewas, pasti akan banyak orang berteriak memberi tahu,” ujar prajuritv tadi. “Jangan bilang dia melarikan diri?” Mata Abra terbuka lebar, “Sungguh lelaki tua pengkhianat, kurang ajar!” geram Raja Abra. Amarah memuncak itu sementa
Senapati Khandra khawatir dengan keadaan Rengganis yang masuki sendirian ke dalam sebuah balai pengobatan. Bukan tanpa persiapan lelaki tersebut membawa sang permaisuri pergi ke sarang musuh. Ratusan kesatria bayangan yang dia miliki pun turut serta. Sajani juga Kayana bersiap di tempat masing-masing menghimpun bala bantuan. Jika sewaktu-waktu Senapati Khandra memberikan tanda mereka akan bersiap menuju ke dermaga. “Semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja,” ujar Khandra yang sedang dalam tempat persembunyian. “Aku akan menyusup dan mengintip, kalian tetap di sini dan tunggu aba-aba dariku. Jangan menyerang tanpa perintah!” ujar Khandra pada anak buahnya. Beberapa kesatria bayangan yang mengintai di dekat Khandra mengangguk. Satu gerakan melompat, Khandra menghilang ke udara menggunakan jurus peringan tubuh, energi dalam tubuhnya benar-benar tersamarkan bersama angin. Tapak kaki yang menapak ranting pohon pun seperti burung mampir bertengkar lalu dengan cepat melo