Sementara di Istana Utama Kerajaan Baskara, Selir Madhavi yang tengah asyik mencari perhatian Senapati Khandra dikejutkan dengan kehadiran tamu tidak diundang yang sedang duduk dengan angkuhnya di kursi singgasana. “Apa kabar Selir Madhavi?” Suara halus seorang wanita menyambut kedatangannya ke Istana Utama, tepatnya di ruang singgasana raja. “Permai … suri … Rengganis,” ujar Selir Madhavi mendadak tergagap. “Prajurit, tangkap wanita pengkhianat ini!” teriaknya lantang. “Pengkhianat?” Permaisuri Rengganis yang santai duduk di singgasana kemudian menegakkan tubuh. Dia memincingkan mata membuat satu alisnya naik. “Ini kerajaan milikku, Jalang!” Permaisuri Rengganis mengumpat. “Senapati Khandra, tangkap wanita itu, dia … dia yang telah melenyapkan bayi dalam kandunganku,” pinta selir Madhavi memelas. Wanita itu menuding ke arah Permaisuri Rengganis tanpa tahu malu. “Kapan kau akan sadar dengan situasi juga statusmu Madhavi?” Rengganis merasa mir
Bau anyir semakin kuat, burung pemangsa bangkai mulai berputar-putar di atas langit dermaga. Seorang prajurit lari tunggang langgang menuju ke tempat penjagaan raja. “Gawat Gusti Prabu Abra, pasukan kita kalah jumlah. Lebih baik Gusti Prabu segera meninggalkan tempat ini kembali ke Kerajaan Baskara,” sarannya. Raja Abra semakin tersulut emosi, hari sudah menjelang sore. Namun, dari tadi dia tidak mendapati pasukan bantuan dari Khandra, juga Ki Kastara yang maju ke barisan depan entah di mana sekarang. “Ke mana Ki Kastara, dia baik-baik saja bukan?” tanya Raja Abra. “Ampun Gusti, kami tidak tahu, kami sudah mencari ke mana-mana,” ujar lelaki tadi. Raja Abra berkacak pinggang, “Sialan, apa Ki Kastara tewas?” “Jika tewas, pasti akan banyak orang berteriak memberi tahu,” ujar prajuritv tadi. “Jangan bilang dia melarikan diri?” Mata Abra terbuka lebar, “Sungguh lelaki tua pengkhianat, kurang ajar!” geram Raja Abra. Amarah memuncak itu sementa
Senapati Khandra khawatir dengan keadaan Rengganis yang masuki sendirian ke dalam sebuah balai pengobatan. Bukan tanpa persiapan lelaki tersebut membawa sang permaisuri pergi ke sarang musuh. Ratusan kesatria bayangan yang dia miliki pun turut serta. Sajani juga Kayana bersiap di tempat masing-masing menghimpun bala bantuan. Jika sewaktu-waktu Senapati Khandra memberikan tanda mereka akan bersiap menuju ke dermaga. “Semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja,” ujar Khandra yang sedang dalam tempat persembunyian. “Aku akan menyusup dan mengintip, kalian tetap di sini dan tunggu aba-aba dariku. Jangan menyerang tanpa perintah!” ujar Khandra pada anak buahnya. Beberapa kesatria bayangan yang mengintai di dekat Khandra mengangguk. Satu gerakan melompat, Khandra menghilang ke udara menggunakan jurus peringan tubuh, energi dalam tubuhnya benar-benar tersamarkan bersama angin. Tapak kaki yang menapak ranting pohon pun seperti burung mampir bertengkar lalu dengan cepat melo
Tengah malam Raja Abra kembali ke kerajaan, tidak ada hal mencurigakan. Petapa Bagaspati dan para sesepuh menyambut dengan hangat, seolah tidak ada hal sulit terjadi. Para dayang menyiapkan air mandi untuk raja. Raja Abra masih diperlakukan layaknya raja meski kini semua yang ada di istana adalah pengikut setia mendiang Raja Arkha. “Di mana Madhavi, biasanya dia menunggu kedatanganku?” Raja Abra yang tengah berendam air hangat bertabur bunga mawar sesuai dengan apa yang diperintahkan Rengganis pada para dayang. “Selir Madhavi sedang mempersiapkan diri menyambut Gusti Prabu, dia menunggu di kamarnya,” jawab salah seorang dayang yang tengah menyiapkan makan malam di meja dekat tempat mandi. “Dia pikir aku akan sudi menemuinya setelah apa yang dilakukan Ki Kastara sang paman. Aku ingin memberi perhitungan padanya atas apa yang dilakukan sang paman. Suruh dia ke mari!” titahnya. Para dayang saling pandang, “Sendiko dawuh Gusti Prabu,” jawab mereka kompak.
Rengganis berhasil membunuh Raja Abra, kondisi mayat sangat memprihatinkan. Tubuh penuh luka sayatan dengan kepala terpisah, juga genangan darah segar membasahi lantai. Rengganis hanya duduk diam mematung. Tidak peduli darah segar mengalir ke arahnya dan membasahi kain sutra yang dikenakan. Brak! Pintu terbuka, Khandra masuk ke dalam ruangan melihat keadaan mengenaskan tersebut. lelaki tersebut melihat sang junjungan dengan tatapan yang, entahlah tidak mampu dijabarkan. Antara terkejut juga bingung harus bagaimana. “Permaisuri, kau baik-baik saja?” tanya Khandra memegangi pundak Permaisuri Rengganis. Rengganis mendongak dengan tatapan kosong, wajah lusuh pun terdapat bercak darah. Senapati Khandra membimbing sang permaisuri untuk bangkit berdiri. Lelaki tersebut menarik kain sutra yang menerawang tersebut. Lelaki itu menahan napas sejenak melihat tubuh putih polos itu, dia menggelengkan kepala saat memikirkan hal yang tidak-tidak. Dia segera melepas jubah yang lalu meng
Meski Rengganis belum resmi naik tahta, warga sudah berbondong-bondong memberikan dukungan. Berita kematian Raja Abra pun tersebar ke segala penjuru kerajaan tetangga. Termasuk Kerajaan Bamantara. Sebuah surat datang pada pagi buta mengabarkan tewasanya salah satu pangeran di Kerajaan Bamantara. Raja Arutala mendesah usai membaca surat tersebut, Ratu Zarina mengelus pundak sang suami untuk bersabar. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Raja Abra marah besar karena kalah perang kemudian berusaha mencelakai Permaisuri Rengganis. Tentu Raja Arutala tidak sepenuhnya percaya dengan surat tersebut. Pasalnya dia tahu benar jika dalam tubuh Rengganis ada jiwa lain bersemayam. Raja Arutala dapat melihat aura berbahaya saat berhadapan langsung terakhir kali. Dian masih bergidik ngeri mengingat pertempuran singkatnya dengan Rengganis tempo hati. “Apa kita perlu membalaskan kematian Raja Abra, Gusti Prabu Arutala?” tanya sang senapati membangunkan Raja Arutala pada lamunan. Raja
“Sepertinya Senapati Khandra dan juga Permaisuri Rengganis memiliki hubungan yang spesial. Aku tidak pernah melihat Permaisuri sedekat itu dengan lelaki sebelumnya,” kata salah seorang sesepuh yang meletakkan pantatnya di kursi miliknya yang berjajar di bagian bawah singgasana kecil. “Aku setuju saja jika mereka berdua menikah,” jawab Petapa Bagaspati. “Khandra berdedikasi besar bagi Kerajaan Baskara,’ lanjutnya. “Itu benar, kita sudah paham benar siapa Khandra, dibandingkan menikahkan Permaisuri Rengganis dengan pangeran atau raja dari kerajaan luar lalu berakhir seperti yang sudah-sudah,” keluh Mang Damar. Para sesepuh mulai masuk ke aula di istana utama untuk berkumpul di aula utama membahas pasal kekosongan kekuasaan di kerajaan. Baru saja mereka hendak bersiap tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar. “Tolong!” teriak Mbok Berek lari tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. “Ada apa, Mbok?” tanya Petapa Bagaspati. “Anu Ki, anu ….” Wajah Mb
Di sebuah gua dekat hutan lebat pada perbatasan Kerajaan Baskara dan kerajaan lain tempat sarang para penyamun, seorang wanita ayu berpakaian lusuh sedang menuangkan arak ke dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Tangan dan kaki lebam penuh luka, sedang tubuh bagian dada atas yang tidak tertutup kain terdapat banyak tanda merah. Wanita itu tertatih berjalan menuju ke arah bebatuan rata yang beralas daun pisang. “Hei, kau wanita murahan, cepat tuangkan aku arak!” Seorang lelaki bertubuh tambun berteriak seraya menggaruk kakinya yang gatal. Mereka duduk bersila tanpa alas. “Siapa wanita cantik itu?” tanya salah seorang lagi membenahi letak celana lusuhnya yang kedodoran lalu kembali mengiris daging rusa untuk di bakar di perapian. “Oh, itu Madhavi, wanita yang dibawa ketua Goga dan Gautam,” jawab salah seorang di antara mereka. “Hahaha … sungguh malang sekali nasibnya, apa yang dia perbuat hingga Goga dan Gautam membuatnya menjadi wanita penghibur di si