“Sepertinya Senapati Khandra dan juga Permaisuri Rengganis memiliki hubungan yang spesial. Aku tidak pernah melihat Permaisuri sedekat itu dengan lelaki sebelumnya,” kata salah seorang sesepuh yang meletakkan pantatnya di kursi miliknya yang berjajar di bagian bawah singgasana kecil. “Aku setuju saja jika mereka berdua menikah,” jawab Petapa Bagaspati. “Khandra berdedikasi besar bagi Kerajaan Baskara,’ lanjutnya. “Itu benar, kita sudah paham benar siapa Khandra, dibandingkan menikahkan Permaisuri Rengganis dengan pangeran atau raja dari kerajaan luar lalu berakhir seperti yang sudah-sudah,” keluh Mang Damar. Para sesepuh mulai masuk ke aula di istana utama untuk berkumpul di aula utama membahas pasal kekosongan kekuasaan di kerajaan. Baru saja mereka hendak bersiap tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar. “Tolong!” teriak Mbok Berek lari tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. “Ada apa, Mbok?” tanya Petapa Bagaspati. “Anu Ki, anu ….” Wajah Mb
Di sebuah gua dekat hutan lebat pada perbatasan Kerajaan Baskara dan kerajaan lain tempat sarang para penyamun, seorang wanita ayu berpakaian lusuh sedang menuangkan arak ke dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Tangan dan kaki lebam penuh luka, sedang tubuh bagian dada atas yang tidak tertutup kain terdapat banyak tanda merah. Wanita itu tertatih berjalan menuju ke arah bebatuan rata yang beralas daun pisang. “Hei, kau wanita murahan, cepat tuangkan aku arak!” Seorang lelaki bertubuh tambun berteriak seraya menggaruk kakinya yang gatal. Mereka duduk bersila tanpa alas. “Siapa wanita cantik itu?” tanya salah seorang lagi membenahi letak celana lusuhnya yang kedodoran lalu kembali mengiris daging rusa untuk di bakar di perapian. “Oh, itu Madhavi, wanita yang dibawa ketua Goga dan Gautam,” jawab salah seorang di antara mereka. “Hahaha … sungguh malang sekali nasibnya, apa yang dia perbuat hingga Goga dan Gautam membuatnya menjadi wanita penghibur di si
Seorang gadis muda berdiri menantang, sombong dan terlihat angkuh, memutar pedang di hadapan Rengganis, Kayana yang berada tidak jauh di tempat tersebut langsung menarik pedang miliknya dan mengarahkan kepada wanita tersebut. Permaisuri pun mendekat ke arah kedua orang yang saling menatap tajam. Rengganis dapat melihat tatapan juga amarah terpendam dari wanita tersebut. Sayangnya, Rengganis bukan wanita yang mudah terbawa emosi, itu akan berakhir memalukan, dia tetap menjaga wibawanya. “Lancang, apa yang kau lakukan Sajani, kau bisa saja mencelakai Permaisuri Rengganis!” cebik Kayana. Yah, wanita yang melakukan serangan dadakan tersebut adalah Sajani, entah apa maksud dari itu Rengganis masih setia memperhatikan gelagat gadis tersebut. “Aku hanya ingin melihat kemajuan Permaisuri dalam menghalau serangan dadakan,” jawab Sajani. ‘Astaga, apa yang wanita itu lakukan, apa dia ingin dihukum mati?’ monolog Khandra. “Kau---” “Tidak apa Kayana, aku pun b
Sementara kuda yang dinaiki Senapati Khandra sudah sampai di pintu gerbang padepokan Elang Putih. Lelaki tersebut masuk ke dalam dituntun salah seorang murid terpilih, padepokan itu hanya akan memilih beberapa pemuda berbakat saja, entah dengan cara apa Khandra pun tidak tahu penilaian, hanya Guru Besar yang paham. Waktu dulu, dirinya seorang anak kecil tidak tahu apa-apa, seorang lelaki bercadar dengan jubah putih berkunjung dan mengajaknya ke padepokan itu. Tempat yang masih terlihat sama, Khandra mengedarkan pandang. Ada gapura kecil, Khandra lalu masuk ke dalam bangunan. “Guru Besar sudah menunggu, Senapati,” kata seorang lelaki yang mengantar tadi. “Terima kasih,” ujar Khandra lalu membuka pintu kayu tersebut. Terlihat seorang lelaki berjubah putih dengan cadar masih setia menutup mulutnya. “Sudah sangat lama sekali, Khandra,” ujarnya tanpa menoleh, dia masih sibuk memperhatikan lontar yang ada di tangannya. “Pasti ada hal serius terjadi hingga membawamu berku
Musyawarah untuk mencapai mufakat dilaksanakan di ruang pertemuan Istana Utama, bersamaan dengan itu Guru Besar dan juga Khandra sudah sampai di tempat. Khandra mengedarkan pandang melihat sekeliling. “Hormat hamba kepada Guru Besar,” ujar Kayana menyatukan kedua tangan ke arah depan melihat sang guru berdiri di dekat pintu. Guru Besar menganggukkan kepala menerima hormat Kayana. “Ada apa ini, Kayana?” Khandra bertanya. “Permaisuri Rengganis mengumpulkan kita,” jawab Kayana, “mungkin untuk membahas Ki Kastara dan hari baik penobatan Ratu Rengganis,” lanjut Kayana. “Penobatan Ratu memang harus segera dilaksanakan agar tidak ada lagi orang-orang licik yang mengincar,” terang Guru Besar. “Permaisuri Rengganis memasuki ruangan!” teriak salah seorang prajurit. Orang-orang lalu berdiri di samping kanan-kiri menundukkan kepala saat Permaisuri Rengganis berjalan ke arah singgasananya. Suasana mendadak sepi sesaat, sampai akhirnya Petapa Bagaspati membuka
Rengganis mengernyit, dia berpikir keras antara lanjut atau melepaskan Nyi Gendeng Sukmo. Satu sisi dia ingin menjadi kuat, satu sisi lagi tidak ingin raganya dikuasai Nyi Gendeng Sukmo. Iblis itu berbahaya, tetapi Rengganis pun menginginkan. Khandra dan Guru Besar saling menatap, mencoba memahami dilema Rengganis. Bagaimana pun dia seorang Ratu masa depan, kekuatan memang penting guna melindungi diri dan bangsanya. “Permaisuri apa pun keputusannya, saya selalu mendukung,” ujar Khandra. “Jika memang Permaisuri tidak mau kekuatan itu hilang, kita bisa menekan jiwa Gendeng Sukmo, menguncinya. Lalu memanfaatkan energi kekuatan yang Gendeng Sukmo punya. Namun, jika Permaisuri tidak mampu bertahan, kita harus segera mengeluarkan saja jiwa wanita tersebut. Dalam artian kita harus mencari Empu Jagat Trengginas,” terang lelaki berwibawa itu. “Ada apa dengan Guru Jagat Trengginas?” Khandra bertanya. “Yang bisa mengeluarkan jiwa Gendeng Sukmo dari Raga Rengganis hanya
Trash! Tangan Guru Besar mengayunkan kembali tongkat untuk menghalau sabetan Nyi Gendeng Sukmo dalam tubuh Rengganis yang di arahkan kepada Senapati Kerajaan Baskara itu. Terjadi tarik menarik antara Nyi Gendeng Sukmo dengan Guru Besar di mana ujung selendang merah tersebut menggulung di tongkat milik Guru Besar. “Kurang ajar, lepaskan!” teriak wanita itu. Khandra memulihkan tenaga dengan cepat, melihat Nyi Gendeng Sukmo yang sibuk menangani Guru Besar. Pemuda itu langsung menarik selendang merah lalu mendorong tubuh Rengganis. Wanita itu melayang melompat ke arah lain. Terjadi tarik-menarik antara Khandra dan Gendneg Sukmo memperebutkan selendang merah. Hingga akhirnya Guru Besar melemparkan tongakat miliknya. Trak! Bagh! Tongkat itu mengenai tubuh Rengganis yang dikuasai Gendeng Sukmo. Brugh! Tubuh Rengganis terkantuk ke meja. Prang! Bunyi kendi tempat air beserta beberapa gelas tanah liat jatuh ke lantai. Guru Besar memperhatikan dengan seksama, takut jika sesuatu t
Varen sudah sampai di Istana Baskara untuk menjemput Sajani setelah Rengganis memanggilnya pagi tadi. Lelaki bersama dayang muda kepercayaannya tersebut sedang dijamu para dayang di bagian dapur istana. Mereka mengagumi keindahan juga kemegahan Istana Baskara, sepanjang jalan pilar-pilar besar berhias emas sungguh menyita perhatian. Para dayang ramah menyambut hingga kini jamuan spesial mereka sungguh sangat berkesan bagi Varen. Di tempat lain di kamar khusus para abdi dalem. Seorang wanita tua bertubuh gempal menangis duduk memunggungi sang putri yang tengah berlutut di lantai tanah itu. “Maafkan Sajani, Biyung.” Yah, gadis yang bersimpuh tersebut adalah Sajani. Mbok Berek, wanita sepuh itu sungguh sangat kecewa pada apa yang dilakukan sang putri. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Kau membuatku malu Sajani, aku sungguh kehilangan muka di hadapan Putri yang aku asuh. Kau juga mempermalukan Gurumu di padepokan Elang Putih!” pekik Mbok Berek. “Maafkan aku, Mbok.”