Lelaki bertubuh gempal itu tampak mengangkat tangan kanan lalu berencana membelai wajah mulus Sajani. Dengan gesit wanita itu menangkis. Senyum lelaki itu lenyap berubah menjadi tatapan tajam, dadanya nampak kembang kempis. Dia mengintimidasi Sajani melalui tatapan mata merahnya. Sungguh sayang seribu sayang, Sajani bergeming. Dengan santai dia menghela napas kasar sebagai protes rasa keberatan dirinya diusik. "Enyahlah dari hadapanku bandot tua!" cebik Sajani. "Kau." Lelaki itu menunjuk ke arah wajah Sajani. "Dasar jalang sialan, kau menghinaku, huh?" Lelaki tersebut berdiri lalu berkacak pinggang. "Argh! Wanita sialan, pelacur jual mahal!" umpatnya mengibaskan tangan hingga hidangan di atas meja Sajani berhamburan. "Argh!" desis lelaki tersebut. Gedebuk! Prang! Minuman dan makanan bersama perkakas lainnya jatuh ke tanah. Argh! Teriakan wanita dan beberapa pengunjung terkejut ada pula yang ketakutan melihat lelaki tadi murka. Suasana menjadi tidak enak, sang
Khandra masih belum sadar jika dirinya berada di tempat yang sebelumnya pernah disegel. Curug Sidangkrong yang tertutup bukit Alang-alang sama sekali tidak kentara aura negatif dan lainnya. Seolah tempat tersebut memang menyatu dengan tempat yang berdampingan lainnya. Lelaki itu memungut beberapa kayu bakar lalu gegas kembali ke dalam gua. Rengganis menyambut dengan senyuman. Ah, lelaki mana yang tidak meleleh melihat senyuman manis tersebut. Khandra pun sebentar seperti terkena mantra jampi-jampi, tersihir akan kecantikan Rengganis. Deretan gigi putih terpampang menambah kesan ayu nan menggoda. 'Astaga, apa yang aku pikirkan?' Monolong Khandra, dia menggelengkan kepala agar kembali fokus ke alam nyata. Tangan Khandra cekatan menumpuk kayu, lalu satu gerakan menarik pedang, mengayun secara cepat, percikan api keluar dari pedang Sawer Geni. "Aw!" pekik Rengganis terkejut melihat percikan api keluar. Mata gadis itu melebar, jantung berdetak terasa mau loncat ke
Hilang sudah imajinasi liar Khandra mendengar kata tersebut. "Saya dan Sajani?" Seperti orang linglung Khandra tersebut. "Iya, kalian berdua sangat serasi. Sajani pendekar bayangan wanita yang hebat, dan kau adalah Senapati terhormat dari Kerajaan Baskara pilihan ayahanda. Kalian pasangan luar biasa jika kelak menikah nanti," ujar Rengganis. Entah harus bernapas lega atau bagaimana, yang pasti sekarang Khandra terkekeh kecil mendengar penuturan Rengganis. Nampaknya sang permaisuri telah salah paham akan kedekatan Khandra dan Sajani. "Semoga saja semua berjalan seperti apa yang kita harapkan Khandra, aku akan merebut tahtaku lalu kalian bisa menikah, akan aku buat pesta megah agar semua orang bahagia dengan pernikahan pahlawan Baskara," lanjut Rengganis penuh antusias. "Kerajaan Baskara pasti akan kembali pada pemiliknya Permaisuri," kata Khandra menepuk-nepuk pundak Rengganis. Wanita itu kembali memeluk Khandra, rasanya lelaki itu benar-benar se
Suara ketukan teratur terdengar dari genting di atas kamar tidur Khandra. Lelaki yang baru saja pulang menjelang pagi usai melatih para kesatria itu mendongakkan kepala, dia bangkit dari tidur. Menajamkan pendengaran untuk memperhatikan kode ketukan tersebut. 'Satu, dua, tiga … dua." Khandra melebarkan mata, ketukan pelan sebanyak tiga kali kemudian tempo cepat sekali. Pertanda jika ada yang tidak baik dan mengharapkan kehadiran Khandra secepatnya. Lelaki itu gegas ke arah pintu lalu menguncinya. Tidak lupa dia mengunci jendela. Khandra menyambar jubah mengenakan cepat lalu meraih pedang di atas meja dekat amben. Sekali lompatan lelaki itu berada di atas, sudut ruang. Bergelantungan pada kusen, lalu menarik simpul dinding kayu samping terbuka seukuran jendela. Khandra mengayunkan kaki melompat keluar, dan membalikkan tubuh hingga sampai berpijak di atap. Tempat itu dia gunakan untuk pulang pergi tanpa melewati jendela dan pintu agar tidak ada yang curiga. Kh
Khandra melangkah ke arah ujung ruangan berdinding kayu tersebut. Dia membuka pengait jendela dan membukanya. Sorot sang surya memancar menyeruak masuk ke dalam. Pemuda itu lantas duduk di bangku samping amben, di mana pada bagian depan ada meja yang berisi tumpukan lontar, juga beberapa buku usang. "Mengingat keributan semakin membesar seperti ini." Petapa Bagaspati mulai berkata. "Aku sungguh khawatir pada Permaisuri Rengganis. Bukan cuma kubu Raja Abra yang menginginkan. Namun, akan ada banyak mengincarnya. Lebih menakutkan jika mereka berbuat hal diluar dugaan," ujarnya lagi cemas. Kayana menatap Khandra lantas menggerakkan kepala sedikit mendongak. Sebagai kode agar sahabat karibnya itu menjawab. Namun, Khandra bergeming tanpa kata, mulut masih tertutup. "Kakek, kita doakan saja semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja," cakap Kayana pada akhirnya. 'Dasar kau.' Kayana melemparkan tatapan tajam pada Khandra sebentar. "Kulak nuwun (permisi)." Suara
Malam harinya, di sebuah gubuk tua beratap rumbia. Bangunan milik Petapa Bagaspati yang berada di tempat paling belakang, yang biasa digunakan sebagai tempat menyimpan lumbung padi. Adalah tempat yang merangkap untuk pertemuan penting. Beberapa orang tua duduk lesehan mengelilingi meja untuk para sesepuh atau orang yang lebih tua. Sedangkan Kayana dan para muda-mudi lain duduk di belakang mereka. Petapa Bagaspati dituntun Ki Chandra melangkah ke arah depan. Tatapan mata di ruangan remang tersebut terlihat iba. Melihat kondisi sang petapa nan sahaja dan menjadi panutan para bawahan, sungguh memprihatinkan. Dalam samar damar menyala temaram, apinya terombang-ambing menari tersapu angin. "Sugeng ndalu (selamat malam) untuk semua saudaraku, mari kita mulai musyawarah." Ki Chandra mulai memberikan sambutan. "Tentunya kita yang berada di sini, mengharapkan Permaisuri Rengganis segera ditemukan sebelum Gusti Prabu Abra atau kerabat mendiang Raja Arkha menemukan terlebih da
Khandra menginterupsikan kepada orang-orang yang ada di tempat. Dia menggunakan kode tangan untuk yang lain tetap bercakap-cakap seperti biasa agar si penguntit tidak curiga. Kayana yang baru saja membuka pintu jendela, dia melirik sekelebat bayangan hitam di semak sampingnya dengan ekor mata lalu menutup kembali. Khandra bangkit berdiri diikuti Mang Damar dan Kayana lalu masik ke dalam ruang belakang dan keluar. Ketiganya bergerak cepat menggunakan jurus peringan tubuh. Bergerak cepat melompat dan menari lalu berhenti di dekat kuda yang sangat mencurigakan. "Ada kuda di sekitar sini, apa ini milik mereka?" tanya Kayana. "Bisa jadi, kita tunggu saja mereka di sini," ungkap Mang Damar, "aku merasakan ada dua aura yang berbeda mendekati tempat ini," lanjutnya. Sring! Suara pedang beradu dengan sarungnya. Kayana memutar pedang dengan tangan lalu bersembunyi di balik pohon dekat kuda diikat. Sedang Mang Damar dan Khandra menyingkir ke samping, bersedekap dengan awas
Senapati gagah itu tidak ingin gegabah dalam bertindak. Terlebih ada yang lebih sepuh, berpengalaman lebih baik dibandingkan dirinya. Masalah kekuatan pastilah Khandra lebih kuat, hanya saja untuk pengalaman. Mang Damar termasuk prajurit bayangan yang sangat dipercaya mendiang Raja Arkha. Bertindak dalam diam, dan tanpa jejak. Bahkan para sesepuh pun tidak tahu jika Mang Damar prajurit bayangan di sisi sang Raja. Para sesepuh hanya menganggap lelaki tua itu sebagai mantan abdi dalem yang lemah. Sungguh luar biasa, semakin padi berisi akan semakin merunduk. "Mengingat keributan yang sudah terjadi, sepertinya ada banyak pihak yang saling memata-matai." Mang Damar memberi jawaban atas pertanyaan Khandra. "Mungkin saja ini anak buah Ki Kastara atau bisa jadi Petapa Bagaspati?" celetuk Kayana. "Entahlah, ayo kita kembali," ajak Khandra. Hyat! Hyak! Hap! Mereka melompat dengan cepat dan berlari untuk kembali ke kedai. *** Sementara itu di Curug Sidangk