Khandra melangkah ke arah ujung ruangan berdinding kayu tersebut. Dia membuka pengait jendela dan membukanya. Sorot sang surya memancar menyeruak masuk ke dalam. Pemuda itu lantas duduk di bangku samping amben, di mana pada bagian depan ada meja yang berisi tumpukan lontar, juga beberapa buku usang. "Mengingat keributan semakin membesar seperti ini." Petapa Bagaspati mulai berkata. "Aku sungguh khawatir pada Permaisuri Rengganis. Bukan cuma kubu Raja Abra yang menginginkan. Namun, akan ada banyak mengincarnya. Lebih menakutkan jika mereka berbuat hal diluar dugaan," ujarnya lagi cemas. Kayana menatap Khandra lantas menggerakkan kepala sedikit mendongak. Sebagai kode agar sahabat karibnya itu menjawab. Namun, Khandra bergeming tanpa kata, mulut masih tertutup. "Kakek, kita doakan saja semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja," cakap Kayana pada akhirnya. 'Dasar kau.' Kayana melemparkan tatapan tajam pada Khandra sebentar. "Kulak nuwun (permisi)." Suara
Malam harinya, di sebuah gubuk tua beratap rumbia. Bangunan milik Petapa Bagaspati yang berada di tempat paling belakang, yang biasa digunakan sebagai tempat menyimpan lumbung padi. Adalah tempat yang merangkap untuk pertemuan penting. Beberapa orang tua duduk lesehan mengelilingi meja untuk para sesepuh atau orang yang lebih tua. Sedangkan Kayana dan para muda-mudi lain duduk di belakang mereka. Petapa Bagaspati dituntun Ki Chandra melangkah ke arah depan. Tatapan mata di ruangan remang tersebut terlihat iba. Melihat kondisi sang petapa nan sahaja dan menjadi panutan para bawahan, sungguh memprihatinkan. Dalam samar damar menyala temaram, apinya terombang-ambing menari tersapu angin. "Sugeng ndalu (selamat malam) untuk semua saudaraku, mari kita mulai musyawarah." Ki Chandra mulai memberikan sambutan. "Tentunya kita yang berada di sini, mengharapkan Permaisuri Rengganis segera ditemukan sebelum Gusti Prabu Abra atau kerabat mendiang Raja Arkha menemukan terlebih da
Khandra menginterupsikan kepada orang-orang yang ada di tempat. Dia menggunakan kode tangan untuk yang lain tetap bercakap-cakap seperti biasa agar si penguntit tidak curiga. Kayana yang baru saja membuka pintu jendela, dia melirik sekelebat bayangan hitam di semak sampingnya dengan ekor mata lalu menutup kembali. Khandra bangkit berdiri diikuti Mang Damar dan Kayana lalu masik ke dalam ruang belakang dan keluar. Ketiganya bergerak cepat menggunakan jurus peringan tubuh. Bergerak cepat melompat dan menari lalu berhenti di dekat kuda yang sangat mencurigakan. "Ada kuda di sekitar sini, apa ini milik mereka?" tanya Kayana. "Bisa jadi, kita tunggu saja mereka di sini," ungkap Mang Damar, "aku merasakan ada dua aura yang berbeda mendekati tempat ini," lanjutnya. Sring! Suara pedang beradu dengan sarungnya. Kayana memutar pedang dengan tangan lalu bersembunyi di balik pohon dekat kuda diikat. Sedang Mang Damar dan Khandra menyingkir ke samping, bersedekap dengan awas
Senapati gagah itu tidak ingin gegabah dalam bertindak. Terlebih ada yang lebih sepuh, berpengalaman lebih baik dibandingkan dirinya. Masalah kekuatan pastilah Khandra lebih kuat, hanya saja untuk pengalaman. Mang Damar termasuk prajurit bayangan yang sangat dipercaya mendiang Raja Arkha. Bertindak dalam diam, dan tanpa jejak. Bahkan para sesepuh pun tidak tahu jika Mang Damar prajurit bayangan di sisi sang Raja. Para sesepuh hanya menganggap lelaki tua itu sebagai mantan abdi dalem yang lemah. Sungguh luar biasa, semakin padi berisi akan semakin merunduk. "Mengingat keributan yang sudah terjadi, sepertinya ada banyak pihak yang saling memata-matai." Mang Damar memberi jawaban atas pertanyaan Khandra. "Mungkin saja ini anak buah Ki Kastara atau bisa jadi Petapa Bagaspati?" celetuk Kayana. "Entahlah, ayo kita kembali," ajak Khandra. Hyat! Hyak! Hap! Mereka melompat dengan cepat dan berlari untuk kembali ke kedai. *** Sementara itu di Curug Sidangk
Mbok Berek berjalan cepat menelusuri hutan belantara untuk menuju tempat persembunyian. Dia baru saja pulang dari pasar diantar salah seorang kesatria. Hatinya gundah gulana, perasaan tidak enak menyelimuti. Ditambah sang surya yang mulai naik, sengatnya begitu luar biasa membakar kulit. 'Duh Gusti, ada apa dengan perasaan ini?' tanyanya dalam hati. Cepat dia melangkah untuk menerobos semak belukar. Wajahnya sumringah ketika mendapati mulut gua tempat persembunyian sudah lebih dekat. Khandra dan Kayana sedang berada di depan menyambut dengan senyum. "Celaka, ada yang mengikuti Simbok," bisik Khandra ketika Mbok Berek mendekat. "Astaga, benarkah, bagaimana ini?" Mbok Berek kebingungan bukan kepalang. "Cilaka dua belas, Gusti." "Tenang Mbok, jangan panik," kata Kayana dengan berbisik. "Jadi, tempat apa ini Senapati Khandra, apa kau menghimpun pasukan untuk melakukan pemberontakan pada Rajamu, hah!" Suara lelaki terdengar dari arah belakang saat Mbok
"Ah, sialan!" Teriakan menggema. Raja Abra terlihat mondar-mandir di depan aula Istana Utama. Yah, lelaki tersebut sedang dirundung masalah. Pusing memikirkan di mana harus mencari Rengganis. Para tetua dan kerabat jauh mendiang Raja Arkha terus saja mendesak. Bahkan jika Rengganis sampai tidak ditemukan, mereka akan menuntut Abra menikahi salah satu putri dari kerabat jauh pemilik sah Kerajaan Baskara. Hal tersebut tentu membuat Madhavi merajuk. Mereka salah langkah awal, menyingkirkan Rengganis bukan suatu pilihan terbaik melainkan sebaliknya. Madhavi pun lebih memilih untuk menerima Rengganis kembali. Wanita itu berpikir jika Rengganis, wanita lemah yang bisa dikendalikan sesuka hati mereka akan lebih mudah dibandingkan putri kerabat jauh raja yang pastinya sudah mendapatkan tekanan dari para sesepuh, mengingat apa yang terjadi saat ini di Kerajaan Baskara. "Apa yang harus aku lakukan sekarang!" Raja Abra geram sendiri lalu meninju tembok. "Berhenti mel
"Aihihihi." Nyi Gendeng Sukmo tertawa melihat Rengganis yang begitu bersemangat. Balas dendam membuat Permaisuri Kerajaan Baskara itu hilang akal. Oh, betapa Rengganis yang malang. "Jangan terburu-buru, Rengganis. Kau perlu mempelajari jurus dan ajian yang lain untuk pertahanan dirimu, Cah Ayu. Kau harus lebih kuat sebelum kembali ke Kerajaan Baskara," cicit Nyi Gendeng Sukmo. "Jaran goyang sudah kau kuasai. Sekarang mari aku ajarkan untuk menggunakan selendang merah milikku. Kita keluar dari gua!" ajak Nyi Gendeng Sukmo. "Kau yakin Nyi, Mbok Berek baru saja keluar, apa dia sudah pergi menjauh?" "Aihihihi." Gendeng Sukmo tertawa, "Kau lupa, aku penunggu Curug Sidangkrong. Aku bisa menutup kawasan Bukit Alang-alang ini Rengganis," kata Nyi Gendeng Sukmo menyombongkan diri. 'Apalagi sekarang aku bisa memanfaatkan tubuhmu itu, ah, benar-benar tubuh yang luar biasa.' Nyi Gendeng Sukmo tertawa dalam hati. 'Aku hampir lupa jika wanita itu adalah iblis,' ke
Suara burung berkicauan memecah keheningan antara Mbok Berek dan lelaki pengelana asing yang ditemuinya. Wanita tua itu bingung mencari alasan tepat. "Anu Tuan, em …." Mbok Berek mulai bersuara. "Saya kehilangan rombongan, kami pedagang dari kampung seberang, Tuan," jawab Mbok Berek. "Hutan ini sangat berbahaya, Mbok. Bagaimana kalian bisa berjalan melewati tempat ini?" "Yah, mau bagaimana lagi, tidak ada jalan lain, bukan? Dan untuk masuk ke kawasan desa tetangga lewat pintu masuk, pasti para prajurit penjaga akan mengambil pajak dari kami. Padahal dagangan kami belum tentu laku." Mbok Berek mengurut dada sedih luar biasa, bukan bohongan, dia memang sedih mengingat ketidakadilan yang pernah terjadi. "Mbok, tabahkan hati Simbok, doakan saja yang terbaik untuk Kerjaan Baskara," kata pendekar itu. "Saya tidak bisa menghantar lagi, karena kita sudah berbeda arah. Dari arah sini Mbok lurus saja, jangan pernah menoleh ke belakang, ingat itu!" Dia memperingatkan