"Marni, bangun. Aku sudah di sini, sekarang katakan siapa yang telah tega melakukan semua itu padamu?" Ucap Dono sembari menggenggam tangan sang istri. Sejak tadi Marni belum juga sadarkan diri. Kekarasan S3ksu4l yang di alami mengakibatkan jaringan saraf dan pembuluh darah pecah, sehingga Marni hilang kesadaran. Para pria brandal itu seolah menguliti habis diri Marni sampai tak bersisa."Buka mata mu! Katakan siapa dalang di balik semua ini? Aku akan membuatnya membayar mahal. Barang siapa berani menyentuh wanita ku, maka dia akan berhadapan langsung dengan ku." Amarah membara terlihat jelas sekali. Semua suami tidak akan rela apa bila pasangan hidup di lukai orang lain.Tak lama kemudian Dono merasa tangan Marni bergerak beberapa kali "Rika.....,tangan ibumu bergerak, cepat panggil Dokter, cepat." Seru Dono dari dalam ruangan.Mendengar suara pak Dono Aku bersama Mas Darwin segera berlari mencari Dokter. Tak lama tim medis pun datang dan memeriksa kondisi ibu Marni. Tak berselang la
Kedatangan Ridho membuat Marni ketakutan bukan main, rasa takut terus membuatnya tidak tenang. "Tidak, jangan mendekat pergi kamu...." Marni meringkuk ketakutan ketika melihat Dono datang bersama Ridho. Trauma yang di alami seolah membuatnya hidup dalam ketakutan. Keganasan Ridho pada waktu itu sungguh kejam, sungguh tidak manusiawi. Belum lagi beberapa pria bertato itu sangat membuatnya gemetaran."Jangan mendekat, pergi kamu!" Teriak Marni sembari menenggelamkan kepala pada sela kaki. Meringkuk bulat seperti orang ketakutan. Seluruh badan terlihat menggigil sembari terus memejamkan mata. Semua nampak kebingungan harus berbuat bagaimana atas sikap Marni. Pernah sekali melirik Ridho lalu kembali meringkuk. Semua orang mengira Marni hanya trauma saja, jadi setiap kali ada laki-laki dia akan ketakutan tanpa sebab. Dari belakang Ridho pun menjulurkan lidah seolah tengah menggoda Marni. Melihat Ridho semakin mendekat membuat tubuh Marni semakin gemetaran. Aksi brut4lnya meruntuhkan men
Beberapa hari kemudian, Marni sudah di perbolehkan pulang. Atas keputusan bersama akhirnya kami memutuskan untuk merawat beliau di rumah selama beliau sakit. Sebagai anak tiri tentu aku tidak kebaratan meski beliau harus tinggal di rumah, walau sampai waktu yang lama. Sebab, beliau sudah banyak berjasa bagiku. Awalnya pak Dono tidak setuju jika harus memberikan kuasa penuh kepada kami, namun kami terus memaksa dengan dalih pak Dono suka kerja berhari hari sampai jarang pulang, oleh sebab itu kami meminta beliau merelakan ibu tinggal bersama kami untuk sementara waktu. Setelah beliau pulih barulah Ibu Marni bisa kembali pulang bersamanya. Siang itu kami berdiskusi banyak pada akhirnya pak Dono setuju. "Sekarang kami akan membawa ibu Marni pulang ke rumah, jika bapak ingin menjenguknya silahkan pintu rumah akan selalu terbuka lebar. Kami berjanji setelah ibu kembali sehat bapak bisa mengajaknya pulang." Sebenarnya malas juga harus debat dengan si sandot tua itu. Kalau bukan karena dia
Membuka pintu rumah nan begitu senyi. Dono langsung memabnting tubuh gemuknya ke atas kursi kayu. Hari begitu terik membuatnya kelelahan setelah beberapa hari bekerja di jalanan. Tidak hanya runah terasa sepi tapi hatinya pun juga sama. Sejak sang istri jauh darinya perasaan ada yang kurang. Sejenak Dono mendongak menatap langit-langit rumah."Sepi juga gak ada istri. Marni sedang apa ya sekarang, kok jadi kangen begini." Setelah banyak mikir akhirnya dia memutuskan mandi. "Pikiranku kacau kalau begini terus menetus, sepertinya lebih baik menjemput dia saja dari pada kesiksa rindu"Setelah beberapa jam kemudian, Dono memutuskan pergi ke menjemput sang istri. "Rika, Darwin, keluar kalian ada yang perlu aku bicarakan." Dari dalam terdengar suara teriakan seorang pria. Entah siapa pagi buta berteriak di depan rumah kami. Suara tak asing itu sepertinya kami mengenalnya, kalau tebakanku tidak meleset itu adalah pak Dono, suami baru ibu Marni. Jujur saja perilaku beliau sangat tudak sopan,
"Eh mbak Rika belanja sayuran juga?" Salah seorang wanita parubaya baru saja datang dan langsung menyapaku. Beliau tidak terlalu dekat denganku sebab aku jarang sekali keluar rumah, meski hanya beli sayur sekali pun. Tidak setiap hari aku belanja sayur keliling karena tidak punya waktu banyak untuk itu. Terkadang sepulang kerja mampir di mini market membeli bahan pokok dan sayur mayur, jadi aku jarang sekali beli sayur keliling. Bahkan mas Darwin juga tidak keberatan jika aku tidak masak. Dia tau bahwa setelah bekerja aku pasti lelah. Kerap kali mas Darwin membeli lauk dari luar sepulang kerja, setelah itu menanak nasi. Di rumah memang ada ibu Marni, tapi beliau kerap makan di luar. Katanya sih tidak mau repot masak, soalnya aku dan mas Darwin jarang makan siang di rumah. Maka dari itu hanya hari tertentu saja ketika hari libur tiba baru aku belanja sayur keliling. "Iya buk mumpung libur, tadi mas Darwin minta di buatkan sop ayam kampung jadi sekalian belanja buat masak sekarang sama
Pagi sekali terdengar langkah kaki menapaki rumah sederhana kami, suara lantang terdengar nyaring dari dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan ibu Marni. Entah sejak kapan beliau terus menerus datang ke rumah sehingga membuat tidak nyaman. Belum lahi cara pandangnya juga penampilan serba pres body membuat pikiran kemana-mana. Begitu di tegur malah marah bukan main. Apa boleh buat dari pada ribur lebih baik diam saja. "Rika....Darwin....di mana kalian?" Marni lantas mencari hingga seluruh ruangan. "Sepagi ini ibu sudah datang ke rumah, memang tidak ada kerjaan lain. Mamang ibu tidak masak untuk pak Dono?" Tanyaku pada ibu Marni. Setelah peringatan dari ibu komplek membuatku sedikit takut, jika benar sindiran mereka tertuju pada ibu tiriku dan suamiku, maka pasti aku akan sangat terluka. Sejak menginjakkan kaki di rumah kulihat kedua matanya seperti mencari seseorang. "Ibu tidak masak nanti beli di warteg saja. Oh iya, di mana Darwin sedari tadi tidak nampak batang hidungnya?" tanya b
Tiga hari kemudian."Darwin, tolong bantu ibu bawakan belanjaan ke depan ya soalnya ibu masih belum begitu kuat" Titah Marni. Sejak pagi sibuk mengatur barang jualan dan mempersiapkan segala sesuatunya."Rika sudah bilang kalau ibu belum begitu pulih, kenapa masih nekat jualan juga. Kalau ibu tidak punya uang katakan saja Rika akan kasih sama ibu. Jangan sampai ibu sakit seperti kemarin lagi, belum lagi ibu baru mendapat perlakuan buruk dari Elis, bagaimana kalau dia melakukan hal lebih parah dari ini....." Entah apa yang ibu tiriku cari. Uang setiap bulan selalu ku sisihkan untuknya, dan lagi Pak Dono juga menafkahi, lalu kenapa beliau ngotot ingin berjualan. Sebenarnya ada maksud tersembunyi apa yang tidak aku ketahui.Ibu Marni terlihat kesal padaku "Memang kamu pikir duit segitu cukup buat ibu? Asal kamu tau uang yang kamu beri nggak cukup buat ke salon. Suami ibu juga paling cuma kasih berapa itu pun kalau pas lagi rame kalau sepi ya nggak ada duit. Lagian kamu kenapa sih ibu mau
"Mas.....duduk dulu sebentar aku mau bicara."Mas Darwin baru saja masuk langsung terduduk di sampingku seraya merangkulku, seolah dia tak punyai salah sama sekali. Terkadang hati tak percaya atas pemikiranku dalam sesaat, akan tetapi setalah mata ini melihat secara langsung hati pun mulai gelisah. Berdosa kah aku jika mencurigai suamiku sendir atas semua tingkah laku mencurigakan suamiku dan juga ibu tiriku? apakah salah jika aku menaruh curiga pada mereka? Dan apakah semua yang ku pikirkan adalah benar ataukah semua hanya kecemasaan semata? Entahlah, hatiku sangat kalut sekali. Pada dasarnya rasa percaya ini telah tiada. Berulang kali ingin ku tanyakan tapi mulut serasa terkunci rapat. Jika tidak bertanya akan tersesat oleh pemikiranku sendiri."Kamu mau bicara tentang apa, sayang? Katakan saja suamimu siap mendengarnya...." Sembari melebarkan senyum. Seperti biasa mas Darwin masih memperlihatkan sikap manisnya padaku. membuat lisan seolah tak sampai berucap.Tiba-tiba saja tercium